Oleh: Erni Adjalai
Tak pernah melintas di benak Maulida, jika rumah Maria hanya punya satu jendela. Jendela depan. Dan tanpa pekarangan. Kiri, kanan, dan belakang, hanyalah dinding-dinding rumah tetangga dengan cat yang muram lantaran telah mengelupas bertahun-tahun. Pertamakali ke Jakarta, Maulida tinggal di rumah Maria—kawannya dulu di taman kanak-kanak. Tak jauh dari rumah Maria, sebuah kanal dengan air kehitaman, sampah-sampah yang keterlaluan mengambang di sana. Sampah yang bukan hanya kantong-kantong plastik, namun kadang-kadang Maulida melihat bangkai tikus hanyut di sana.
Empat belas hari Maulida di rumah Maria, dia merasa seperti sedang berada di sebuah gudang penyekapan. Maulida yang terbiasa tinggal di desa, dengan pekarangan yang luas dan ditumbuhi pisang ambon, jambu air, sebatang sirsak belum dewasa juga bunga-bunga lonceng sangat memuja rumahnya di desa.
Kota bagi Maulida tak ubahnya dandanan yang terlalu menor. Suatu pagi dengan ledakan tangis bayi tetangga, Maulida membuka pintu depan. Kebetulan, di depan pintu Maria adalah punggung rumah Encim Mursanih yang memikili selokan menghadap pintu depan rumah Maria.
Pagi itu Maulida menemukan, Encim Mursanih sedang membersihkan selokan itu. Setelah selokan itu bersih, Encim Mursanih menyiramnnya dengan air sabun. Maulida menghirup wangi sabun deterjen.
“Tiap pagi selokannya dibersihin, ya Cim?” tanya Maulida.
“Iye, kalau kagak dibersihin, selokannya bisa bau. |Pintu depan Maria berhadapan ama ni selokan, bisa-bisa kalian megap-megaplah kalau aye kagak bersihin,” jawab Encim Mursanih.
Maulida tersenyum. Dia tidak mengira, di kota sebesar ini, ada seseorang seperti Encim Mursanih yang membersihkan selokannya tiap pagi agar tetangganya bisa bernapas santun. Tanpa gangguan bau tak sedap dari selokan.
Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing