Workshop ini merupakan rangkaian acara pra-FTJ 2012 di mana pada FTJ 2012 tahun in mengangkat sub-tema “Membaca Tradisi” dan tema “Membaca Aku, Membaca Laku”. Workshop tersebut disajikan oleh Afrizal Malna yang mengupas tuntas seputar ‘membaca tradisi’.
SINTESA Jakarta Selatan 14-16 Mei 2012, 15.00-21.00 WIB, GRIS Bulungan
INDRAJA Jakarta Barat 5-7 Juni 2012, 18.00-23.30 WIB, GRIB Grogol
ATAP Jakarta Pusat 8-10 Juni 2012, 14.00-20.00 WIB, Sasana Krida Kelurahan Cempaka Putih
IKATAMUR Jakarta Timur 12-14 Juni 2012, 15.00-21.00 WIB, GRIT Otista
ITERA Jakarta Utara 15-17 Juni 2012, 14.00-20.00 WIB, GRIU/ BLK Jakarta Utara
Teater kini cenderung kian berorientasi sebagai tontonan atau pertunjukan. Kian bergerak menjadi pertunjukan media, peralatan. Bahkan narasi diperlakukan sebagai tontonan. Perkembangan yang mengabaikan dramaturginya sendiri: teater membatalkan dirinya sendiri justru di tengah-tengah pertunjukan yang terjadi. Investigasi kembali terhadap dramaturgi yang hidup di sekitar kita menjadi penting untuk dilihat kembali. Dramaturgi di sini lebih dipahami sebagai bagaimana teater membangun jembatan hubungan-hubungan antara aku ke aku, aku ke kamu. Salah satu dari investigasi terhadap dramaturgi ini adalah melakukan investigasi terhadap aku, tubuh, tradisi dan realitas yang mengelilinginya. Ketiga hal ini merupakan medan dramaturgi dari bagaimana teater membaca hal-hal yang mengelilinginya.
Pengantar: Teater dalam Urban Miskin
Sebagian seniman teater hidup di kantong-kantong kemiskinan di Jakarta. Urban miskin yang kian menjadi minoritas untuk hak-hak mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hak untuk mendapatkan akses atas pengetahuan, keahlian, informasi, pekerjaan maupun lapangan untuk bermain dan mengembangkan kreatifitas. Masyarakat Betawi merupakan bagian dari minoritas ini. Kemiskinan menjadi sub-etnik baru dalam kehidupan di Jakarta.
Teater dalam urban miskin seperti ini, bisa menjadi tempat persembunyian baru untuk menunda atau membatalkan kenyataan bahwa kami sebenarnya hidup dalam kemiskinan. Teater, bersama dengan berbagai imaji bahwa kesenian merupakan bagian dari highlight kebudayaan, yang pernah ditanamankan oleh generasi para modernis sebelumnya, merupakan sihir yang bisa mengatasi realitas kemiskinan yang kami hadapi. Rendra pernah mengatakan tentang teater melarat sebagai basis penciptaan. Bahkan kemiskinan adalah performance: seniman proletar yang rela menderita untuk kesenian. Dan borjuasi adalahngehe.
Proletariat dalam kesenian seperti ini, dalam perkembangannya kian kehilangan substansinya. Agenda yang lebih banyak muncul kemudian adalah tema di sekitar begitu sulitnya mencari dana untuk produksi teater. Tidak adanya infrastruktur yang memiliki mekanisme yang tegas dan terbuka untuk persoalan kurasi hingga anggaran negara maupun kelompok-kelompok sosial lainnya dalam produksi dan pendanaan teater. Dan proletariat sebagai kegagahan dalam berkesenian, kian sekarat bersama dengan kian menguatnya ekonomi dan agresi pasar memimpin gerak kebudayaan. Proletariat dalam teater kian berbalik menciptkan imij yang melawan dan membatalkan teater itu sendiri: bahwa teater itu kumuh, menakutkan dan gokil. Teater proletar berubah menjadi proletariat teater.
Sementara dalam urban Jakarta, kemiskinan juga kian bergerak menjadi multi-kemikiskinan dalam arti nilai yang tumbuh caruk-maruk: Hancurnya halaman belakang sejarah kota dan tumbuhnya urban baru yang menguasai halaman muka perkembangan kota; serta modernisme yang masih dipertentangkan dengan tradisi, setiap muncul pembicaraan di sekitar identitas nasional.
Investigasi Aku-Tradisi
Dari berbagai sumber, tradisi lebih banyak dipahami sebagai “kebiasaan”, “adat-istiadat yang diturunkan turun-temurun”. Berarti kita tidak bisa hidup di luar tradisi, atau tanpa tradisi. Tradisi selalu menyertai dan bersama kita. Tradisi bagian dari pelembagaan kebiasaan-kebiasaan. Kita tidak mungkin hidup di luar kebiasaan. Proletariat dalam urban miskin berarti jadi bagian dari kebiasaan itu. Kebiasaan berarti merupakan salah satu mesin yang menciptakan kenyataan kita setiap hari.
Lalu ada masalah apa dengan tradisi? Setiap kita membaca tradisi, kita selalu meletakkan tradisi jauh di halaman belakang kita, harus melalui berbagai konstruksi kekuasaan dalam sejarah dengan berbagai versinya: versi nasionalisme, versi militerisme, versi kolonialisme, versi suku-suku maupun versi agama-agama. Sejarah dengan berbagai penandaannya yang memang telah dibuat cacat. Dan memori kita telah dilumpuhkan untuk melacak kembali jejak-jejaknya. Kita kehilangan jembatan antara tubuh-animistik kita dengan tubuh-ladang, tubuh-urban dan tubuh-kemiskinan kita di masakini.
Tubuh yang kita hadapi adalah tubuh-kolonial. Tubuh dalam arti penguasaan yang luas di tengah agresi pasar, pergeseran modal dan kekuatan politik yang berlangsung terus-menerus. Tubuh yang tidak punya ruang untuk bertemu dengan tubuh-aku dalam tatanan kehidupan bersama sebagai visi bersama di antara berbagai perbedaan. Tubuh-aku selalu dibaca menempel sebagai tubuh-keluarga, tubuh-agama, tubuh-buruh maupun tubuh-posisi (kedudukan, jabatan). Tubuh-aku yang oleh konstitusi kini dijadikan sebagai ladang komersial, sebagai suara politik dalam pemilu. Tubuh-kolonial ini, kini kita sendiri yang menjlaninya. Munculnya perda-perda syariah, kian membuka ruang untuk menanam tubuh-yang-dikuasai, dan berbagai peraturan lainnya yang menanam ketakutan dan mengancam perbedaan.
Isu di sekitar anti liberalisme merupakan bagian dari bagaimana kita sebenarnya tidak bisa memahami kenyataan kita sendiri yang hidup dalam akar perbedaan. Perbedaan tidak hanya dalam arti kebudayaan maupun kepercayaan, tetapi juga dalam arti geografis. Dari Jakarta Utara bergerak ke Jakarta Selatan, secara geografis kita sudah melalui banyak perbedaan, dan juga watak masyarakatnya yang berbeda.
Tubuh-kolonial itu dibuat terus bermimpi tentang masadepan yang lebih baik melalui berbagai guncangan-guncangan perubahan yang datang dari luar. Setiap guncangan, kian dipahami bahwa kendaraan perubahan itu masih terus berjalan ke arah masa depan yang lebih baik, walau tidak tahu kendaraan itu akan menuju kemana. Perubahan yang kian mendesak tubuh-internal kita menjadi tubuh-eksternal melalui berbagai perkembangan media komunikasi, transportasi, mobilisasi pasar dan nilai-nilai yang terus dipaksakan dari luar. Tubuh yang tetap merasa nyaman walau di jalan, bahasa Indonesia kian berganti dengan berbagai bahasa asing. Kita merasa lebih gagah dengan menggunakan bahasa Inggris, atau merasa lebih syariah dengan menggunakan bahasa Arab.
Kita masih tetap merasa nyaman dalam berbagai guncangan politik identitas ini, melalui imaji-imaji bahwa di latar belakang kita masih ada tradisi yang bisa digali. Yaitu tradisi yang telah dipasifkan. Tradisi yang telah dimuseumkan. Kita menggunakan kesenian sebagai salah satu media dari bagian “memuseumkan” tradisi itu. Militerisasi atas bentuk-bentuk tradisi ini, merupakan sasaran utama dari memuseumkan tradisi. Yaitu bentuk-bentuk tradisi yang telah diseragamkan. Setiap kita membaca tradisi, yang muncul adalah pakaian seragam, warna-warni, megah, berkilauan. Menggunakan senjata, keris, tombak, badik, rencong, parang atau senjata tajam lainnya. Gerak yang seragam dan petatah-petitih yang diulang-ulang. Mantra atau kesurupan. Kita tidak tahu apakah tradisi seperti ini merupakan fiksi dari antropologi atau etnografi.
Kita tidak tahu bagaimanakah kenyataan maupun nilai-nilai yang hidup di balik militerisme tradisi seperti itu. Eksotismenya menjadi ladang komoditi untuk turisme. Sebagian dari nilai-nilainya telah diharamkan. Jembatan untuk merajut kembali antara tradisi dengan kenyataan yang telah diciptakannya, pecah menjadi fiksi identitas dan fiksi eksotisme. Ketika kita kehilangan jembatan antara kenyataan dengan tradisi yang telah menciptakan kenyataannya, maka kita pun sebenarnya kehilangan jembatan untuk menghubungkan kembali antara tradisi yang telah dimuseumkan itu dengan tradisi yang terus berlangsung sebagai kebiasaan turun-temurun yang hidup dalam kenyataan hari ini kini.
Kehilangan jembatan itu tidak hanya memutuskan mata rantai kehidupan dan perbedaan-perbedaan kita. Tetapi juga memutuskan mata rantai masalalu dengan masakini kita. Masadepan yang dibayangkan menjadi masadepan yang mengapung tanpa masakini. Masakini yang dihadapi juga merupakan masakini yang mengapung tanpa masalalu. Masadepan dan masakini keduanya menjadi pengertian yang rapuh.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang kita gunakan, menjadi sama rapuhnya dari memori-memori maupun kisah-kisah yang pernah membentuknya. Bahasa yang kian hidup tanpa kenangan. Sebagian dari bahasa itu tertanam dalam konstruksi kekuasaan, politik maupun agama. Kata kontol atau nonok, mungkin sebentar lagi diharamkan berada dalam kamus bahasa Indonesia. Kita kian tidak memiliki durasi untuk mengukur masakini kita.
Investigasi aku-teater, aku-tubuh dan aku-memori
Masakini adalah versi-versi pewacanaan untuk melihat kenyataan kita. Ketika versi-versi pewacanaan ini tidak dilalui, maka masakini kehilangan durasinya. Pewacanaan atas kesenian, merupakan salah satu kendaraan untuk menghasilkan versi-versi pewacanaan itu. Ketika pewacanaan ini tidak dilakukan, maka kesenian, dalam hal ini teater, kehilangan tradisi pembacaannya sendiri. Ia menjadi rutin, menjadi kebiasaan, menjadi reproduksi dan epigonisme. Teater mengalami kesulitan untuk membuat jarak pada dirinya sendiri. Teater mengalami kesulitan untuk berada di luar teater.
“Teater membaca tradisi” kemungkinan besar menjadi “teater membaca dirinya di luar kebiasaan”. Tetapi tunggu sebentar. Ada beberapa pertanyaan. Tradisi sebagai kebiasaan, berarti merupakan mesin utama yang menciptakan kenyataan. Apakah kita mau mempercayai premis ini? Siapakah yang menciptakan kebiasaan itu? Apakah kita memang harus beriman kepada kebiasaan itu? Apakah kebiasaan itu harus kita terima sebagai tradisi? Apakah kita bisa berada di luar kebiasaan?”
Lebih lanjut lagi: Apakah kenyataan yang diciptakan oleh mesin tradisi ini adalah kenyataan yang memang kita ingini. Kalau kenyataan yang kita hadapi merupakan kenyataan yang tidak kita ingini, bagaimanakah kita bisa berada di luarnya? Apakah dengan berada di luar kebiasaan, berarti secara signifikan kita sudah mulai melakukan aborsi terhadap kenyataan yang tidak kita ingini?
Kenyataan seperti apakah yang kita ingini? Kenyataan yang kita ingini tentu saja adalah kenyataan yang lebih dekat dengan diri kita, yang terjangkau oleh tubuh, bahasa, pengetahuan, dan pengalaman kita. Kita tidak mungkin menciptakan kenyataan di luar dari semua yang dekat dengan diri kita. Kenyataan untuk memperbesar aku internal kita. Yang mungkin kita lakukan, dan yang paling dekat dengan kita, mungkin adalah:
– Melakukan investigasi aku sejauh yang bisa dilakukan.
– Menyingkirkan narasi-narasi kekuasaan maupun nilai-nilai kekuasaan.
– Membaca sejarah, tradisi maupun nilai-nilai sejauh tubuh kita bisa menerima dan mengalaminya.
– Kembali ke memori-memori tubuh.