Pada tahun 2024, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menginisiasi sebuah forum diskusi terbuka bertajuk Kineforum di Persimpangan Jalan, sebagai respon atas kondisi kritis yang dihadapi Kineforum—sebuah ruang pemutaran dan diskusi film alternatif yang telah menjadi bagian penting dalam lanskap sinema Jakarta sejak awal 2000-an. Dalam forum ini, para mantan anggota Komite Film DKJ, pengurus dan kolaborator Kineforum lintas generasi, serta pengamat dan praktisi sinema alternatif berkumpul untuk merefleksikan nasib dan masa depan Kineforum sebagai institusi maupun sebagai gagasan.
Ruang Fisik dan Gagasan Programatik
Diskusi dibuka dengan pemaparan dari Ketua Komite Film DKJ 2024–2026, Sugar Nadia Azier, yang menyampaikan bahwa Kineforum saat ini tidak lagi memiliki program reguler maupun tim kerja aktif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan ruang bioskop yang pengelolaannya kini berada di bawah kewenangan BUMD Jakpro, bukan lagi DKJ. Ruang bioskop yang sebelumnya bisa diakses untuk kepentingan program publik kini berubah menjadi ruang dengan jadwal terbatas.
Muncul konsensus bahwa Kineforum seharusnya tidak dipersempit hanya sebagai “ruang fisik”, melainkan dimaknai sebagai “program dan visi”. Program sinema yang terkurasi, berorientasi pada literasi audiovisual, dan membuka ruang diskusi adalah inti dari keberadaan Kineforum—apa pun bentuk fisiknya.
Isu Struktural dan Tata Kelola Ruang Publik
Diskusi berlanjut dengan mengupas relasi kuasa antara lembaga seni seperti DKJ, pengelola ruang (Jakpro), dan pemerintah daerah. Para pembicara seperti Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan, dan Alex Sihar menyuarakan bahwa ada krisis tata kelola dalam pengelolaan ruang publik di Taman Ismail Marzuki (TIM). Penyerahan pengelolaan ke Jakpro sebagai BUMD berorientasi profit menciptakan ketegangan antara logika bisnis dan kebutuhan ruang kultural non-komersial.
Kineforum menjadi korban dari situasi ini. Dulu memiliki ruang tetap dan program harian, kini kehilangan kepastian ruang dan bergantung pada diplomasi atau negosiasi jangka pendek. Para pembicara menyatakan perlunya membangun kembali struktur kelembagaan yang lebih tahan krisis—baik melalui badan hukum independen, sindikasi antar ruang alternatif, atau bentuk tata kelola baru yang melibatkan publik secara lebih luas.
Alternatif Model: Bergerak , Sindikasi, dan Literasi Audiovisual
Banyak gagasan muncul dari peserta diskusi lintas generasi. Masukan dari Marselli Sumarno dan Adrian Jonathan menyoroti pentingnya menciptakan jejaring micro-cinema di berbagai kota dan ruang kolaborasi komunitas Beberapa menyoroti bahwa kini saatnya membayangkan Kineforum sebagai model sindikasi program, yang bisa diadopsi oleh ruang-ruang lain di Jakarta dan kota-kota lain, tanpa bergantung pada satu gedung.
Diskusi juga mendorong agar Kineforum memperluas fungsi sebagai pusat literasi audiovisual, tidak hanya tempat menonton, tapi juga tempat membincangkan makna dan pengalaman sinema. Ruang-ruang alternatif, komunitas seni, dan bahkan universitas bisa menjadi mitra dalam membangun jaringan ini.
Arah Strategis dan Peluang Kebijakan
Masukan dari Agni Ariatama dan Hikmat Darmawan menekankan pentingnya merumuskan langkah strategis jangka panjang, termasuk melalui Peraturan Pembangunan Kebudayaan Daerah (PPKD) dan pengajuan kebijakan dalam kerangka yang sedang dikembangkan. Kineforum sebagai Citra Kawasan yang telah menjadi Keputusan Gubernur dapat menjadi perhatian pemerintah, apalagi dengan adanya rencana kerja kebudayaan pemerintah daerah disebut sebagai peluang strategis yang harus dimanfaatkan DKJ, khususnya Komite Film, untuk memperjuangkan keberlangsungan ruang dan program film alternatif.
Kesimpulan: Menjaga Visi, Menemukan Bentuk Baru
Diskusi ini menegaskan bahwa Kineforum adalah sebuah warisan intelektual dan kultural yang tidak boleh dibiarkan padam. Meski kehilangan ruang, Kineforum masih memiliki kekuatan sebagai gagasan—dan kini saatnya membayangkan ulang bentuknya sesuai dengan tantangan zaman.
Baik sebagai platform sindikasi, jejaring ruang alternatif, atau program literasi audio-visual, Kineforum tetap relevan jika mampu beradaptasi dengan perubahan budaya menonton dan ekosistem kebijakan. Yang dibutuhkan bukan hanya nostalgia, tetapi visi dan keberanian untuk menjadikan sinema alternatif sebagai bagian dari hak budaya publik Jakarta.