Seniman dan pegiat lintas bidang prihatin dengan kondisi demokrasi di Tanah Air pada saat ini. Upaya pembungkaman kebebasan berekspresi di bidang seni budaya tetap terjadi. Sebut saja pertunjukan Wawancara dengan Mulyono oleh kelompok teater ternama, Teater Payung Hitam, yang batal digelar pada 15-16 Februari 2025 di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung karena mengalami berbagai kendala.

Keresahan itu diungkapkan masyarakat lintas elemen dalam Sarasehan Gerakan Kebudayaan dan Demokrasi yang diselenggarakan Komisi Simpul Seni, Dewan Kesenian Jakarta. Termasuk mengidentifikasi apakah UU TNI dan RUU Polri berpotensi mengekang kebebasan berekspresi. Diskusi tersebut dihadiri oleh sejumlah seniman dengan lima pemantik. Kelima pemantik itu adalah Muhammad Isnur (YLBHI), Iwan Hermawan (Wartawan CNN), Yati Andriani (Kontras), Bivitri Susanti (Pakar Tata Negara), Havez Gumay (Koalisi Seni).

Salah satu seniman yang hadir adalah Asra Cantsaynotohope, pemain keyboard Efek Rumah Kaca. Asra mengatakan seniman berusaha merespons kegelisahannya sendiri dengan karya. Namun, untuk itu, seniman harus bersiasat.

“Bersiasat dengan kata-kata tidak langsung. Seperti lagu Di Udara milik Efek Rumah Kaca. Lagu ini bercerita soal Munir Said Thalib (aktivis hak asasi manusia Indonesia yang meninggal di pesawat saat terbang melintas di wilayah udara Eropa, akibat diracun dengan arsenik). Namun, terdengar seperti lagu cinta,” ujar Asra, Kamis (17/4/2025).

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk periode 2017-2020, Yati Andriyani, mengatakan di tengah demokrasi saat ini, kebudayaan punya kelenturan yang baik dalam menghadapi represi. Beda dengan dunia advokasi seperti KontraS yang lebih frontal.
“Kebudayaan memunculkan jalan. Ini yang saya lihat dari jauh,” kata Yati.

“Bagaimana cara menghadapinya, jawabannya tidak ada di saya dan tidak ada jawaban yang solid. Pemaknaan kebudayaan/kesenian yang integral mampu menjadi alat untuk memperjuangkan demokrasi. Karena dia lebih punya imajinasi, lebih luwes,” lanjut dia.

Butuh Ruang Publik untuk Seni Budaya

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengingatkan, ada baiknya tidak fokus ke UU TNI dan RUU Polri saja. Sebab, selama ini banyak lubang kecil yang dimasukkan dalam kebijakan lainnya. Sebut saja UU Cipta Kerja yang menyisipkan kewenangan kepolisian untuk memberi izin usaha pengamanan. Aturan tersebut dinilai potensi pelanggaran hak asasi manusia.

“Tapi kita ga sadar,” kata Isnur.

Menurut dia, ada pertanyaan yang penting untuk dipikirkan, yakni “Bagaimana langkah konkrit kita ketika ada represi ke DKJ?” Oleh karena itu, masyarakat seni butuh ruang pertemuan untuk membaca potensi ancaman demokrasi secara menyeluruh.

Ketua Umum Yayasan Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Remmy Novaris DM, mengungkapkan seniman di Ibu Kota tidak punya ruang publik untuk seni.
Suara Ibu Indonesia, Avianti Arman, mengusulkan Taman Ismail Marzuki jadi ruang publik budaya.

Dia pun yakin seni budaya jadi alat efektif untuk merebut ruang publik bagi masyarakat seni. Dia mencontohkan, Suara Ibu Indonesia membuat totebag untuk memperjuangkan aspirasinya dalam menolak RUU TNI dan RUU Polri. Totebag itu bertuliskan “Lawan” dan “Tolak”.