Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 “Modernisme Chairil Anwar”

SENI kita, tentu termasuk seni sastra, memerlukan kritik agar berkembang dengan wajar dan sehat. Rasanya tak perlu dan tak ada lagi perdebatan soal itu. Kita perlu mengerjakan, menghidupkan, terus mengembangkan, dan melembagakan kritik.

Perdebatannya selalu berkisar antara apakah kritik kita sudah cukup atau tidak, apakah telah cukup mendorong atau malah mengekang perkembangan sastra, dan apakah kita perlu mengembangkan teori kritik kita sendiri atau cukup memakai teori dan metode kritik yang sudah berkembang.

Tentang kekecewaan atau ketidakpuasan pada kritik pernah dinyatakan oleh Subagio Sastrowardoyo dalam Seminar Susastra Indonesia di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat, 1988.

“Tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkannya dari kritik sastra adalah satu kritik, yaitu suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi rendah mutu dan berhasil-tidaknya karya sastra yang secara konkret dihadapi penelaah. Harapan itu tidak terkabul….” (Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, Mursal Esten, ed.; Angkasa Bandung, 1988).

Budi Darma, beberapa tahun sebelumnya, juga menyampaikan ungkapan kekecewaan yang sama. Ia mencatat gelagat itu muncul dalam Simposium Sastra 1980, yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), April 1980.

“Akhir-akhir ini ketidakpuasan terhadap kehidupan kritik sastra merajalela….. Di antara sekian pendapat, ada yang menyatakan bahwa kritik sastra di Indonesia tidak akan tumbuh dengan baik karena masyarakat kita agraris dan tradisional.” (“Perihal Kritik Sastra” dalam Solilokui, Kumpulan Esai Sastra; Gramedia, 1983).

Sementara pokok-pokok itu terus dicemaskan, diperdebatkan, ditindaklanjuti, atau terlupakan dan terabaikan, masyarakat sastra terus menghidupkan, mengembangkan, dan mengadakan kritik, dengan berbagai bentuk.

Bila kritik berdasarkan penentuan sikap terhadap objek sastra, maka apresiasi sastra diantarkan oleh enjoyment, penikmatan atas karya sastra. Sebagaimana Budi Darma yang mengatakan hal itu, kami percaya bahwa kritik sastra dan apresiasi sastra adalah dua kegiatan yang meski dasar pijakannya beda, tapi berjalan serentak, dan terus saja dikerjakan dengan berbagai bentuk dan intensitas. Bila hendak ditelaah lebih mendalam, apresiasi dan kritik sastra telah berperan banyak dalam membentuk tradisi sastra kita hingga hari ini.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 2005, telah ambil bagian dalam upaya menghidupkan kritik itu. Pada tahun itu DKJ mengadakan Sayembara Kritik Seni, yang berlanjut pada 2007 dengan Sayembara Kritik Sastra, dan diadakan kembali pada tahun 2009, 2013, 2017, 2019, dan kini untuk yang ke-7 kali, jika dihitung dari 2005, pada tahun ini, 2022.

Upaya DKJ itu dengan sadar kami lakukan dan pertahankan, dengan segala keterbatasan, untuk mengisi kekurangan, menjembatani harapan dan ketidakpuasan masyarakat sastra, dan meneruskan tradisi kritik yang telah tumbuh. Karena itu sejak semula juga diikhtiarkan mengembalikan seluruh hasil kritik itu ke publik lewat penerbitan buku. Telah diterbitkan tiga buku kumpulan kritik hasil sayembara tersebut, berupa kumpulan esai Tamsil Zaman Citra (2007), Dari Zaman Citra ke Metafiksi (2009, gabungan tulisan pemenang tahun 2007 dan 2009), dan Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (2013). Sejak 2020 kami menyiarkan esai-esai kritik sastra, juga esai pemenang sayembara kritik sastra DKJ lewat situs www.tengara.id.

Melihat tanggapan dan antusiasme pembaca atas sayembara dan situs kritik yang diselenggarakan oleh DKJ sejauh ini, rasanya kita punya cukup bahan untuk berbesar hati, meskipun belum pantas rasanya memberi nilai apa pengaruh dan sumbangannya pada perkembangan dan perbaikan sastra kita. Paling tidak dialog menjadi terbentang, perdebatan yang sehat menjadi terbuka, karya sastra menjadi bahan percakapan dengan tulisan-tulisan yang dibangun dengan argumen yang menarik.

Pada tahun ini sayembara kritik sastra bertema khusus, yaitu “Modernisme Chairil Anwar” yang kami kaitkan dengan momentum istimewa peringatan 100 Tahun Chairil Anwar. Kenapa mengaitkan Chairil Anwar dengan modernisme? Bukankah ini pokok yang telah kerap dibicarakan? Benar, tapi kami menilai masih banyak ruang pembicaraan yang bisa dibuka dan dimasuki.

Puisi Chairil bukan lagi hanya puisi dengan bahasa yang mendekatkan perhubungan antara perkataan dan perasaan, sebagaimana puisi baru Pujangga Baru yang rumuskan Sutan Takdir. Jika modernisme adalah kekuatan menumbuhkan akar puisi di tanah kita sendiri seraya menyerap pengaruh seluas-luasnya dari “segala penjuru alam” sebagaimana disarankan oleh J.E. Tatengkeng, maka Chairil telah memberi teladan bagaimana hal itu dilakukan dan ia melaksanakan itu dengan tuntas.

Sosok dan karya-karya Chairil adalah objek kritik yang selalu menarik. Ia bahkan bisa dikatakan menjadi pembentang jalan utama lahirnya Jassin sebagai kritikus. Ketika mengajar di Universitas Indonesia, Jassin mengajarkan mata kuliah “Chairil Anwar”, sebuah kajian tuntas tentang puisi-puisinya, bagaimana dia mengambil dan mengolah pengaruh puisi modern dari Eropa dan Amerika, apa yang kemudian menjadi buku “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 1945”. Chairil menulis sejumlah esai-esai pendek yang kuat yang melengkapi, atau menjelaskan landasan pemahamannya tentang puisi, di mana puisi-puisinya ia kembangkan.

Dari sosok Chairil yang seperti itu, kita berharap Sayembara Kritik Sastra 2022 ini melahirkan telaah baru, pembahasan baru, sudut pandang baru, dan lahir penulis-penulis kritik baru, sebagaimana nama-nama yang muncul dari ajang serupa sebelumnya seperti Manneke Budiman, Arif Bagus Prasetyo, Harry Isra, Geger Riyanto, Sunlie Alexander Thomas, Katrin Bandel, Dewi Anggreini, Bandung Mawardi, Tia Setiadi, Bramantio, dan Martin Suryajaya yang masih aktif menulis kritik sastra.

Dari beberapa kali pe­nye­leng­garaan, kita bisa katakan bahwa kritik kita telah tumbuh wajar dan menggembirakan. Kecemasan yang ditangkap Budi Darma dulu tak terjadi. Esai-esai kritik kita memberi lebih dari sekadar “tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi rendah mutu dan berhasil-tidaknya” suatu karya, sebagaimana yang dulu disinyalir oleh Subagio Sastrowardoyo. Kritik oleh para penulis kita telah masuk jauh, melakukan perbandingan, dan membongkar nilai-nilai yang berharga yang dibawa dan dikandung karya sastra kita. Pada sayembara kali ini, mereka melakukan itu pada puisi-puisi Chairil Anwar.

Dari sisi penyelenggaraan, Sayembara Kritik Sastra DKJ, rasanya masih banyak hal yang perlu kami benahi, agar terlembagakan dengan ajeg, menjadi tradisi yang sehat, sebagaimana sayembara puisi dan novel DKJ yang berumur lebih panjang, dan menjangkau penulis-penulis kritik yang kita yakin besar sekali potensinya, agar bisa mengiringi perkembangan karya-karya sastra bagus, objek kritik yang juga terus berkembang.