JAKARTA BIENNALE XIV 2011: “Survive or Escape?”
Submitted by humasdkj on Fri, 03/25/2011 – 09:39
JAKARTA BIENNALE XIV 2011: “Survive or Escape?”

Jakarta Biennale XIV 2011 akan kembali hadir akhir tahun ini. “Jakarta Maximum City: ‘Survive’ or ‘Escape’?dipilih sebagai tema besar perhelatan akbar seni rupa dua tahunan itu. Mendukung perhelatan tersebut, Dewan Kesenian Jakarta menurunkan seri tulisan mengenai Jakarta Biennale XIV.

Dinamika kota menjadi inspirasi para pengamat pilihan kurator Jakarta Biennale 2011; Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri dan Seno Joko Suyono. Dan ‘maximum city’ menjadi pilihan judul.

Tarik menarik yang terjadi antara berbagai kepentingan sosial ekonomi dan budaya menjadikan kota Jakarta menjadi penuh paradoks, pernah dibahas dan menjadi dasar pemikiran bagi Jakarta Biennale XIII, 2009 yang lalu; saat Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) penyelenggara Jakarta Biennale (JB), menganggap situasi Jakarta dapat dinyatakan sebagai AreNa

[1], satu ruang yang menjadi tempat perebutan dan pertarungan berbagai kepentingan.

Namun meski tetap diinspirasikan dari kota, kurator JB XIV melakukan pendekatan yang berbeda, Jakarta ditengarai dengan cirinya yang terus tumbuh menjadi penuh, maximum. Serta sikap penghuninya yang cenderung untuk escape dan survive, untuk melakukan ‘pelarian’ atau ‘berhasil lolos’ dalam dinamika Jakarta. Kedua kata yang menjadi subjudul, walau berseberangan arti secara harafiah namun bisa diartikan sama bila melihat dengan kritis. Ada ambiguitas dari situasi yang paradoks.

Dari situasi dan gejala ini para kurator; Bambang Asrini Wijanarko, penulis seni rupa, Ilham Khoiri wartawan harian Kompas dan Seno Joko Suyono dari majalah Tempo, menengarai adanya cara cara megekspresikan diri dan berkesenian yang khas dan melalui pendekatan kuratorial akan tampak bentuk bentuk kerja dan karya seni ini, yang akan dihadirkan kembali bagi masyarakat luas penghuninya, dari semua kalangan.

The Maximum City: Provokasi Estetika Urban
Di mata para kurator, melalui pengamatan dan studi Jakarta dianggap sebagai kota yang sesak (the maximum city). Penghuni kota Jakarta saat pulang kantor dikendaraan umum ataupun pribadi, dihunian baik di pusat maupun 4 wilayah kota yang lain tentu tidak banyak bertanya saat mendengar kota yang maximum. Serba penuh dan cenderung tumpah.

Namun berbeda dengan Mumbay [2] kota tempat penamaan maximum city itu berasal. Jakarta meski sama sama tumbuh dan menjadi penuh dan melebihi kapasitas, memiliki berbagai persoalan yang menyajikan fenomena menarik, terutama karena hadirnya bermacam paradoks yang walau dikotomis tetapi kompromistis. Dalam arti, banyak hal yang sebenarnya bertentangan, tetapi ternyata bisa hidup bersamaan, bahkan berdampingan, di kota ini. Budaya kampung yang bisa berdiri sejajar dengan budaya kota. Warga kaya di gedung mewah hidup bersebelahan dengan kaum miskin di tenda-tenda kumuh pinggir sungai. Budaya modern-rasional berdiri sejajar dengan yang tradisional-mistis. Begitu pula antara semangat komunal dan individual, paham sektarian-fundamentalis dan multikultursalis-liberalis, atau kesumpekan kawasan miskin dan kota-kota mandiri yang ditata nyaman. Kenyataan akan situasi yang dikotomis dan antagonistis, namun sering hidup berdampingan dan seolah mengambil keuntungan dari situasi yang ada .

Bergelut dengan paradoks Jakarta, niscaya bakal menemukan cara pandang berbeda tentang kehidupan. Paradoks kerap menghadirkan jurang (disparitas) yang dalam antara satu kutub dengan kutub lain yang bertentangan.

Disparitas yang menunjukkan ketegangan tetapi sekaligus dinamika urban di kota, yang menjadi sumber kajian-kajian seni-budaya, dan inspirasi bagi para seniman berkreasi seni. Selain disparitas fisik material yang diisi oleh disparitas budaya yang sesungguhnya kontrovesial, misalnya orang kaya baru dengan budaya kampung dan orang baru (setengah) miskin dengan budaya kota, semua kenyataan kenyataan yang menambah kompleksitas kehidupan. Karenanya sebagai inspirasi, kota (dengan segala paradoksnya) adalah sumber provokasi yang menjanjikan ketidakterdugaan dalam karya seni rupa, terutama seni kontemporer dengan estetika urban.

Kecenderungan kegiatan dan pernyataan seni(rupa) di kota besar seperti Jakarta di mana bidang-bidang yang sebelumnya tidaklah dinyatakan sebagai bentuk senirupa (yang unggul), menjadi salah satu ciri.

Tidak urung pada perhelatan kali ini selain karya-karya para seniman, maka karya karya perancang grafis, pecipta mainan, perancang busana dan disain yang lain menjadi menaraik dan penting ut dihadirkan sebagai karya seni.Hal yang tentunya akan menjadi pertanyaan bagi banyak pecinta seni, namun mungkin tidak demikian bagi masyarakat umum yang telah lama menikmati karya karya popular ini sebagai satu hal yang indah sekaligus bermanfaat.
Cair tetapi tetap tidak menyatunya berbagai unsur yang ada sebagai air dan minyak yang saling mendesak dalam kepadatan kota. Perbedaan antara seni yang dihadirkan diruang publik dan galeri, yang seolah diterima tetapi tidak saat menghadapi pasar. Begitu juga saat membicarakan mana yang lebih ‘jujur’ dan dapat dinyatakan sebagai pernyataan seni, ketegangan kembali terjadi.

Namun diatas segalanya seni rupa urban sendiri kini menjadi tren global. Para seniman yang umumnya hidup di tengah kota, menyerap dinamika serta berbagai masalahnya, dan menyajikannya dalam bahasa visual terkini berdasarkan khazanah seni rupa yang melingkupinya. Tak terpaku dengan ruang-ruang galeri, seni jenis ini sudah melebar masuk ruang-ruang publik kota sehingga sebagian termasuk seni jalanan (street art).

Seni kemudian punya semangat melebur dalam denyut kehidupan masyarakat. Seni bukan lagi sesuatu yang sudah selesai, tetapi juga sebuah proses. Penyajiannya cenderung lintas media, memadukan teknologi terkini, dan bersifat interaktif. Sebagian seniman bergerak dengan basis komunitas. Dan kehadirnannya bukan semata mata untuk menghadirkan karya seni, tetapi lebih pada pernyataan akan kehadirannya di satu kota sebagai, individu ataupun kelompok. Tidak ada yang ingin dimarjinalkan dikota besar, yang di mana-mana mendengungkan kata be your self atau you are special tetapi sekaligus menghadirkan budaya masa yang menghilangkan satu orang dalam kerumuman masa. Kembali satu paradoks.

Walau situasi mutakhir Jakarta ada di kota-kota besar lain di Asia Tenggara seperti Manila, Bangkok, Singapura, Ho Chi Minh, Pnom Penh. Namun para kurator menganggap problem kota Jakarta yang sesak ini berbeda dan memiliki ciri khas yang akan menarik untuk direfleksikan dalam perhelatan seni rupa Jakarta Biennale 2011. Setidak tidaknya lahir pertanyaan; apakah ‘Maximum City’ di Jakarta berkonotasi positif atau negatif?

Lima sub Tema
Tentunya Biennale seni rupa, merupakan tolok ukur dari perkembangan seni rupa yang sedang berlangsung. Ia bersifat independen dan mengacu kepada standar kualitas tertentu. Melalui biennale seni rupa, DKJ mencoba memberikan pernyataan kepada publik tentang situasi mutakhir perkembangan seni rupa Indonesia, terutama terkait dengan perkembangan seni rupa dunia. Biennale juga menjadi salah satu cara kita untuk mengenali tren-tren terbaru seni rupa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di sekitarnya.

DKJ telah menyelenggarakan biennale seni rupa sejak 1974 sebagai ajang pameran besar seni rupa dua tahunan. Untuk kali pertama kegiatan Biennale bertajuk “Pameran Senilukis Indonesia”. Kemudian berubah menjadi “Pameran Besar Senilukis Indonesia” (1976, 1978, 1980), lalu menjadi “Pameran Biennale” (1982), dan “Biennale” (1984, 1987, 1989, 1993—1994, 1996, 1998, 2006). Terutama pada 1993-1994, kata “senirupa” sempat menjadi keterangan judul. Sebelum dan sesudahnya memakai kata “senilukis” atau “lukisan”. Sejak 2009 menjadi “Jakarta Biennale”, tanpa embel-embel “pameran” dan “kompetisi” dan mulai berskala internasional—meskipun cikal-bakalnya sudah dimulai sejak Biennale Jakarta XII 2006.

Jakarta Biennale XIV 2011 mengangkat tema besar “Maximum City: Survive or Escape?” Dengan tema ini, kurator selain memilih karya-karya yang diinspirasikan oleh hal diatas, mengajak para seniman untuk merespon fenomena ‘sesak’ Kota Jakarta. Sebab di saat yang bersamaan masyarakat Jakarta juga menempuh jalannya sendiri dalam mencoba bertahan atau malah kabur dari semua kesesakan ini. Dari tema besar ini kurator membagi karya-karya ke dalam lima sub tema, yaitu: Violence and Resistance; Narcisism, Voyeurism, and Body; Game, Leisure, and Gadget Victim; Metro-Text Seductions; dan Citizen and Homo Ludens.

Kelima tema ini dianggap merupakan problem yang cocok untuk dan telah menjadi bahan refleksi dan ruang saluran bagi potensi-potensi radikal estetika urban. Dari situasi ini para perupa telah dan diharapkan akan menampilkan berbagai karya-karya yang bertumpu pada kekuatan ide-ide yang subversif dan juga kekayaan eksplorasi bentuk berbagai medium, dan meluas ke masyarakat.

Violence and Resistance
Refleksi provokatif dan berani fenomena tentang kekerasan dan daya tahan manusia urban. Kehidupan metropolitan yang penuh persaingan dan kompetisi. Diperlukan stamina yang kuat untuk tinggal di Jakarta. Kemacetan, krisis air bersih, harga perumahan yang mahal, banjir, demonstrasi harus dihadapi sehari-hari.

Di mana-mana juga terjadi ancaman kriminalitas. Kekerasan di Jakarta yang menggelisahkan dan makin variatif bentuknya. Kita lihat mutilasi misalnya—suatu bentuk pembunuhan yang mungkin di dunia barat hanya ada pada zaman lampau,tiba-tiba marak dilakukan di Jakarta beberapa waktu ini.

Tingkat bunuh diri di Jakarta juga meningkat. Mereka yang melakukan itu meloncat dari mal, apartemen, sampai gantung diri di kamar kontrakan. Angka penembakan di siang bolong hingga aksi intimidatif berbau agama yang juga terhitung tinggi. Kekerasan berupa perubuhan patung-patung yang dianggap tidak senonoh dan penolakan pembangunan rumah-rumah agama oleh oknum-oknum tertentu termasuk di antaranya.

Negara seolah tidak bisa melindungi warganya. Namun warga kota bertahan dan melakukan resistensi dengan caranya sendiri-sendiri.

Narcisism, Voyeurism, and The Body
Topik ini mencermati fenomena narcisism dan voyeurism di kota besar. Narsisisme bukan hanya fenomena yang terjadi di kalangan artis. Namun sudah menjadi bagian dari psikologi warga Jakarta.

Masing-masing komunitas di Jakarta menampilkan citra tubuh idealnya sendiri-sendiri. Citra-citra tubuh itu disajikan dan dikomoditikan dengan berbagai cara. Melalui acara-acara gathering yang eksklusif maupun masal, eksibisi di mal-mal dan interaksi maya internet.

Terjadi fenomena mengagumi, memanjakan, memuji, menyayangi, mengkasihani, mengagung-agungkan tubuh sendiri-sendiri. Ada kecenderungan tubuh yang tadinya sangat personal menjadi dipublikkan. Karakter tubuh menjadi eksibisionis. Tubuh ditampilkan ke publik dengan cara sangat erotis terbuka dan berorientasi libidinal atau sebaliknya justru ditampilkan sangat tertutup seperti yang terjadi di kalangan para jamaah agama.

Tubuh personal beberapa pesohor, katakanlah seperti Luna Maya dan Ariel Peterpan, oleh kekuatan industri media disodorkan ke publik. Publik akhirnya dipaksa menjadi masyarakat voyeurism—masyarakat yang mengintip tubuh personal orang lain.

Para agamawan dan politisi yang seharusnya melakukan pencermatan yang kritis atas fenomena ini justru ikut larut. Para agamawan justru tidak lagi kuat berada dalam lingkungan esoterik di mana tubuh yang alamiah, sakral dipertahankan namun turut tergoda muncul dan menonjolkan diri dalam panggung-panggung televisi bahkan mimbar-mimbar iklan. Apalagi para politikus dan pejabat.

Keinginan untuk menyatakan kehadiran individu dalam kehidupan kota dinyatakan dalam cara cara pemujaan yang khas.

Game, Leisure, and Gadget Victim
Bisa dibilang, Jakarta menjadi tempat sampah bagi berbagai “gadget” dan industri entertainment dunia. Jakarta menjadi sasaran empuk uji coba pemasaran, para kapitalis dari Amerika sampai Cina. Produk-produk berbagai barang life style asli atau palsu, jasa hiburan dari segala penjuru dunia tiap harinya menyerbu kota ini. Anehnya, warga kota-kota ini sangat suka sekali menyerap apapun barang dan jasa ini tanpa pandang bulu.

Band era 70-an yang di negara asalnya Amerika atau Eropa sudah tak laku sampai band indie mancanegara yang tak dikenal luas pun berdatangan dan laris di sini. Gaya busana terbaru yang sebenarnya tak cocok dengan ukuran tubuh manusia Jakarta pun dikonsumsi menjadikan ada yang menilai bahwa anak muda kita adalah korban fashion (fashion victim). Mainan-mainan yang aneh-aneh, boneka-boneka seks dan robot eksprimen juga makin digemari. Warga kota-kota ini tak diragukan lagi juga menikmati berbagai eksprimentasi spa dan karaoke.

Seniman membuat parodi, satir atas fenomena ini atau juga membuat gadget-gadget atau obyek-obyek eksprimental dari game, boneka, robot dan sebagainya. Di sini, kami mengundang para perupa, seniman toy, seniman game, pematung, dan fashion artist. Mereka bisa memainkan topik dengan semangat penyadaran, asyik bermain, sekaligus tetap kritis.

Mengingatkan kita pada kredo kritik pada konsumerisme Barbara Kruger dulu; ‘I shop there for I am’.

Metro-Text Seductions
Pada bagian ini kurator secara khusus mengundang para perupa, desainer, sineas independen merefleksikan berbagai teks karya pengarang kita yang bertema metro-pop. Pasalnya, akhir-akhir ini banyak para pengarang kita mengolah dunia urban sebagai materi karya mereka. Mereka menghasilkan novel, cerpen, puisi, buku harian, catatan-catatan sampai naskah teater yang menampilkan tema metro-pop.

Para perupa membuat karya bertolak dari tafsir bebas atas buku-buku karya: Djenar Mahesa Ayu, Clara Ng, Dewi Lestari, Andrei Aksana, Binhad Nurrohmat, Dinar Rahayu, Ayu Utami, Bre Redana, Ugoran Prasad, Eka Kurniawan dan sebagainya. Mereka semua adalah para pengarang yang bergelut dengan dunia urban. Para perupa bebas menafsirkan karya seorang penulis. Melalui karya Djenar Maesa Ayu, perupa dapat menafsirkan kumpulan tulisannya yang berjudul: 1 Perempuan 14 Laki-laki. Melalui karya novel Andrei Aksana yang berjudul: Janda-Janda Kosmpolitan, begitu pula karya novel Clara Ng yang berjudul: Barbie, kumpulan puisinya Binhad Nurrokmat: Kuda Ranjang, atau dari kumpulan cerpennya Bre Redana: Urban Sensation.

Bisa juga bertolak dari cerpen dan novel kita tahun 70-an yang temanya berlatar kota, misalnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha, atau novel-novel erotis Motinggo Busje atau cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Khusus naskah teater yang akan kami tawarkan di antara lain: Opera Kecoa karya Riantiarno (Bercerita tentang para waria ibu kota), Opera Ikan Asin karya Riantiarno (Bercerita tentang para preman ibu kota), Dor karya Putu Wijaya (bercerita tentang busuknya dunia peradilan), Republik Reptil karya Radhar Panca Dahana (bercerita tentang korupsi dan suap di kepolisian.

Para perupa lah yang kemudian memilih novel, cerpen atau naskah teater (yang telah diterbitkan) dari pengarang Indonesia mana pun, dengan catatan bahwa karya tersebut berkaitan dengan problem dunia urban. Pilihan dan tafsir itu tetap dilandasi semangat yang bebas dan kritis, termasuk merekam berbagai resposn masysrakat atas kesesakan kota dan berbagai problemnya.

Interpretasi dari interpretasi tentang Kota.

Citizen and Homo Ludens
Berbeda dengan karya-karya yang ditampilkan di atas, karya-karya di tempat publik adalah hasil kerja sama perupa dengan komunitas-komunitas yang ada di Jakarta.

Sekitar 20 lokasi publik yang direncanakan untuk menjadi ajang perhelatan ini. Di antaranya adalah taman-taman kota, kampung (2), areal klenteng (1), stasiun(2), antar stasiun (1), ruas jalan (3), Monas, sungai (1), titik jembatan layang (3), dan titik di Jakarta untuk Punch Line (3). Di sana para perupa akan menghasilkan karya-karya yang sifatnya penuh dengan permainan dan partisipatif.

Karya berangkat dari riset atau kerjasama para perupa dengan komunitas-komunitas hobi seperti komunitas lomografi, komunitas sketsa. Atau dengan warga yang ada di lokasi.

Tema Citizen and Homo Ludens merespon kenyataan bahwa warga jarang sekali dilibatkan dalam perkembangan kota. Mereka nyaris menjadi obyek atas proyek-proyek kota, baik ekonomi, sosial politik, maupun budaya. Dengan mengangkat topic ini, kami berharap bisa mengajak masyarakat untuk memiliki ruang kotanya sendiri, bermain di dalamnya, menentukan apa yang sebaiknya hadir atau dihilangkan dari pemandangan di kotanya sendiri. Masyarakat didorong menjadi subyek dalam ruang kotanya, terutama lewat ekspresi karya seni rupa.

Kesertaaan masyarakat dalam terjadinya satu karya seni.

Bila dilihat sepintas, lima sub-tema ini cenderung berkononotasi pesimis atau negatif, namun bagaimana pun upaya-upaya untuk tetap bertahan, hadir, dan bekerja di kota besar Jakarta adalah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Para kurator mengawali dengan sikap yang kritis pada satu kenyataan akan ‘sesak’nya Jakarta (atau kota besar mananpun di dunia) yang terus menerus tumbuh dan dengan alih-alih sesak dan meledak ia seolah melahirkan ruang-ruang baru yang nyata ataupun maya. Dalam sesak berusaha menghidupi dirinya sendiri; berbagai usaha lahir dalam kepadatan, kreativitas tumbuh dalam berbagai manifestasi, malah seolah kesesakkan ini menjadi pemicu kreativitas dalam segala bidang, positif maupun negatif. Tentu inilah yang menjadi pertanyaan serta harapan dari dan untuk semua penghuni kota besar. Sampaimana dan bagaimana ia dapat terus ‘tumbuh’ dengan konotasi yang positif?

Kota dan Internasional
Selain menghadirkan perupa, seniman nasional (di bawah usia 40 tahun), para kurator juga menghadirkan para perupa internasional (berbagai usia), ini disebabkan agar masyarakat dapat melihat karya-karya perupa yang memang tengah menjadi penting dalam perkembangan senirupa internasional belakangan ini.

Keterlibatan mereka tak pelak berkat dukungan berbagai institusi kebudayaan dan perwakilan asing yang ada di Jakarta, Indonesia maupun tidak.
Namun bagaimana pun implementasi serta keberhasilan rencana perhelatan ini, tentunya selain dari kepiawaian para kurator, juga berasal dari dukungan dan kesertaan dari berbagai pihak dan pemangku.

Sebuah perhelatan senirupa seperti ini, memang telah menjadi bagian dari kegiatan kota (pemerintah kota dan jajarannya) di kota-kota besar di perbagai negeri dalam mengajak masyarakatnya untuk merayakan kotanya sendiri sekaligus berkaca dan mengkritisi diri serta berkontemplasi melalui tontonan dan kegiatan seni budaya serta upaya memperkenalkan kota itu sendiri untuk berbagai kepentingan termasuk pariwisata.

Jakarta Biennale, dengan promoter utama Dewan kesenian Jakarta adalah bagian dari Pemerintah Daerah DKI cq. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Maka dari itu selain acara ini sebagai bentuk perayaan dan kritik (melalui kesenian), tetapi juga merupakan upaya kota Jakarta menjadi bagian dari jajaran kota-kota budaya serta kesenian kontemporer di dunia.

[1] Ade Darmawan, Firman Ichsan dan Abduh Azis dari DKJ serta Irwan (Iwang) mengembangkan judul Area menuju AreNa, dari judul awal The Fluid Zone, tema dari kurator utama JB XIII, Agung Hujatnika Jenong.

[2] Sukethu Mehta, penulis Ameika asal India menulis tentang kota kelahirannya,setelah lama ttinggal di AS dating ke Mumbay, dan melihat serta menuliskan Mumbay mengacu pada ingatannya dimasa kecil, ia member sub judul lost and found.

Firman Ichsan,
Ketua Dewan Kesenian Jakarta