Pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 17 Desember 2020 silam. Pencapaian ini mendorong pegiat seni untuk melestarikan dan mempopulerkan pantun ke seluruh dunia. Bahkan, ada semangat untuk belajar dari Haiku, puisi khas Jepang, yang telah menggobal dan punya komunitas pencinta di berbagai negara.

Hal tersebut dibahas dalam diskusi publik Belajar dari Haiku Jepang: Memasyarakatkan dan Mengglobalkan Pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang digelar Komisi Sastra, Dewan Kesenian Jakarta, di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Kamis sore (17/3/2025).

Penyair dan praktisi pantun, Heru Joni Putra, percaya seniman pantun dapat belajar dari struktur dan pakem haiku tanpa harus menghilangkan kreativitas lokal. Terlebih di era modern ini yang menuntut seni harus lebih adaptif, tak terkecuali pantun.

“Haiku punya kaidah atau pakem yang menantang, dan dari situ kita bisa kembangkan pendekatan baru dalam menulis pantun, meskipun enggak harus saklek, dan tetap bisa pakai kreativitas atau pemikiran masing-masing,” kata Heru.

Hanya saja, lanjut dia, Indonesia belum memiliki formula menulis pantun. Terlebih, Indonesia memiliki berbagai macam jenis pantun. Pantun tak melulu soal irama yang sama.
“Tak apa-apa, pantun Indonesia jadi makin beragam,” ujar Heru menambahkan.

Staf Ahli Menteri Kebudayaan, Nissa Rengganis, menyampaikan kolaborasi antara pendekatan tradisional dan modern dapat memperkuat posisi pantun dalam kehidupan masyarakat. Dia mengusulkan agar pantun dimasukkan dalam kurikulum pendidikan atau dijadikan kegiatan ekstrakurikuler.

“Tidak semua masyarakat memiliki akses terhadap tradisi yang menjaga keberlangsungan pantun. Ini bisa jadi langkah konkret,” ujar Nissa.

Dia pun mengajak DKJ untuk membuat formula pantun yang nanti akan dibukukan dan menjadi pedoman.

Menurut Nissa, Kemenbud telah melakukan sejumlah upaya untuk melestarikan pantun.

Pertama, mendigitalisasi pantun di Tanah Air. Pantun dituliskan dan dimasukkan dalam database, seperti di Padang, Kemenbud menuliskan 5.000 pantun Mak Katik (Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto).
Ia menyebut digitalisasi merupakan langkah penting dalam pelestarian pantun. Pemerintah sedang mendorong kerja sama dengan Lembaga Kearsipan Nasional untuk mengarsipkan pantun secara digital. Sebab, selama ini, pantun hanya lah seni bertutur, bukan tertulis.

Belajar dari Cinta dan Rangga di Ada Apa dengan Cita

Nissa mengatakan pantun tidak lagi harus ada dilantunkan oleh penutur aslinya di masyarakat tertentu. Pantun, lanjut dia, harus keluar dari kelompok masyarakatnya agar lebih populer.

Cara mempopulerkannya pun ada banyak. Salah satunya dengan alih wahana.

“Kalau tadi ada usulan untuk melakukan medium baru. Pantun enggak cuma jadi pantun, tapi dia juga bisa masuk di film misalnya. Sekarang kan lagi musim alih wahana, dari sastra ke film. Nah, sastra kan jadi lebih banyak dikenal publik karena film dianggap medium yang cukup efektif. Pantun juga harus memasuki area atau medium baru itu,” tutur Nissa.

Menurut dia, contoh sederhana, pantun dapat membuka acara atau kontennya dengan pantun. Konten kreator pun bisa menyematkan pantun dalam unggahannya.

“Sama seperti zaman saya, puisi itu enggak keren, tapi setelah dibacakan oleh Rangga di Ada Apa dengan Cinta untuk si Cinta, mendadak semua orang pengen jadi penyair. Perempuan-perempuan merasa keren kalau pacar atau cowoknya bisa nulis puisi. Cara-cara itu sih yang menurutku efektif. Sebenarnya platform medsos itu kan sudah banyak ya,” ujar dia menambahkan.

“Saat Dian Sastro membaca puisi, kemudian tiba-tiba puisi yang dibaca Dian Sastro booming banget padahal itu puisi lama lho. Atau misal Najwa Shihab baca puisi Joko Pinurbo, tiba-tiba orang cari Jokpin, apa puisinya. Kenapa harus orang populer dulu, ya oke-lah itu fakta yang harus kita terima bisa dimulai viral bisa dilakukan,” lanjut dia.

Kekuatan Haiku

Penyair sekaligus haijin dari komunitas New Haiku Indonesia, Fauzul el Nurca, menyampaikan kesederhanaan dan kekhasan bentuk haiku menjadi kekuatan utama puisi Jepang itu hingga dikenal dunia.

“Haiku klasik tetap lestari, sementara haiku modern terus berkembang. Kuncinya, biarkan orang menyukai karya kita dengan caranya sendiri,” ujar Fauzul.

Dia menjelaskan haiku menembus batas budaya karena bentuknya yang ringkas dan universal. Hal ini dinilai bisa menjadi inspirasi bagi pelestarian pantun Indonesia agar lebih relevan di masa kini.

Ketua Komite Sastra Fadjriah Nurdiarsih menyampaikan, dari diskusi ini, diharapkan ada langkah lanjutan untuk para praktisi, pegiat, dan pencinta pantun merumuskan formula pantun Nusantara serta melakukan upaya nyata untuk membuat pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda lebih dikenal di dunia.