oleh Triyo Handoko
Dari monitor rusak, layang-layang, tanaman hias, hingga video game interaktif. Pameran Asana Bina Seni Biennale Jogja 2020 menyediakan ruang jeda reflektif aneka-ragam hubungan manusia yang sudah terjalin lama.
Berbeda dengan pameran pada tahun sebelumnya, acara tahunan Biennale Jogja 2020 menyesuikan situasi pandemi. Lenggang dan bermasker, kesan saya melihat pengunjung yang hadir. Tidak hanya protokol pameran yang menyesuaikan situasi pandemi, tema pameran juga demikian.
“Your Connection was Intrupted” adalah tema yang diajukan pada publik pada pameran tersebut. Ketika pandemi menjalar ke seluruh bumi, semua jenis hubungan yang yang sudah lama kita bangun dan lakoni diintrupsi seketika. Sehingga, mengganti pola hubungan adalah keharusan untuk tetap menjalani keseharian.
Berawal dari kondisi tersebut, pameran ini membuat ruang jeda untuk merefleksikan bentuk dan pola hubungan yang sudah lama kita miliki. Ruang jeda tersebut berupa 15 karya seni dari 11 seniman dan 4 kolektif seni.
Diselenggarakan selama seminggu, pada 11 – 18 November 2020 di Taman Budaya Yogyakarta. Aneka raga permasalahan diangkat, mulai dari ekologi hingga media masa. Tidak terbatas pada medium lukisan dan patung, permasalahan juga diangkat melalui medium monitor rusak hingga jaringan internet.
Tiga karya hadir menggunakan jaringan internet sebagai mediumnya. Melalui kode pemindai yang disediakan, pengunjung tinggal memindai kode tersebut. Hadirlah tiga karya yang dipamerkan di layar gawai.
Mulai dari informasi grafis perjalanan Komunitas Sakatoya semenjak 2011 hingga 2020. Di mana setidaknya terdapat 436 ragam rekam peristiwa seni komunitas tersebut. Karya ini menarik, karena memberikan pengalaman berinteraksi dengan arsip yang melimpah ruah hanya dengan layar gawai.
Hingga karya berbentuk video permainan interaktif. Riyan Kresnandi adalah orang dibalik karya yang ia beri nama “Reconnected Access Memory”. Karya ini berbentuk museum seni virtual dengan pelibatan aktif pengunjung di dalammnya.
Museum ini berisi karya dan peristiwa seni yang pernah mendapat perlakuan sensor hingga perusakan baik dari negara maupun ormas reaksioner. Karya ini bentuk protes Riyan terhadap narasi dominan terhadap karya dan peristiwa seni. “Penggunaan teknologi multimedia internet memberikan angin segar bagi mereka yang terpinggirkan oleh otoritas,” jelasnya.
Intrupsi untuk Protes
Kaya bertema protes, pada pamaeran tersebut, tidak hanya dituangkan dalam medium jaringan internet saja. Bodhi IA menyampaikan protesnya dengan medium yang cukup purba, yaitu layang-layang.
Manusia modern mengenal layang-layang sebagai mainan belaka. Tidak lebih dan tidak kurang. Padahal awal mulanya layang-layang digunakan Tionghoa sebagai medium komunikasi kerajaan. Sementara di nusantara untuk mengusir hama persawahaan. Ketidaktahuan terhadap hal tersebut karena abainya kita terhadap hal-hal yang dekat dengan keseharian.
Ketidaktahuan dan sikap abai juga saya alami. Ketika mengawali langkah memasuki ruang pameran, saya disambut layang-layang yang menggantung di langit-langit. Saya kira layang-layang tersebut hanyalah ornamen belaka, ternyata bagian dari 15 karya yang ditampilkan.
Lewat karya instalasi layang-layang yang diberi nama “Demonstrasi Langit”, Bodhi juga menyampaikan ihwal protes warga terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tengah pandemi. Melalui bisingnya suara dari layang-layang yang mengudara yang banyak dimainkan warga selama waktu isolasi mandiri berlangsung.
Jenis layang-layang yang Bodhi gunakan adalah sadranan—di beberapa daerah disebut sawangan. Bentuknya tidak seperti layang-layang biasa: diagonal dua dimensi, melainkan seperti burung dan berrongga. Layang-layang tersebut memiliki warna dan corak yang beragam. Keragaman yang hadir dalam satu bingkai yang sama, yaitu: protes.
Tidak hanya Bodhi yang menjadikan karyanya sebagai protes, Arief Budiman dengan monitor rusaknya juga demikian. Arief memprotes berita-berita hoax dari beragam media online soal Papua. Tangkap layar dari potongan berita hoax tersebut, ia tampilkan dalam monitor rusak.
Ditambah perpaduan suara noise dan monitor yang mati-hidup, karya Arief terartikulasi dengan baik. Keresahannya pada pemberitaan soal Papua selama ini tersampaikan ke pengunjung dengan tepat.
Karyanya tersebut ia beri nama, “Bising-bising Media Bodong”. Ide karyanya bermula dari pengalamannya berselancar mencari tahu soal kondisi sosial-politik di Papua. “Hasil dari pencaharian soal Papua bikin saya bingung dan pusing karena hoax dimana-mana,” terangnya.
Karya Arief mendapat apresiasi dari FX Harsono, seorang perupa senior dari Blitar. Menurutnya karya “Bising-bising Media Bodong” berangkat dari realitas yang benar-benar terjadi. “Menurut saya ini menarik karena karya ini menggambarkan disrupsi yang terjadi. Begitu riuh, sama seperti orang yang membuat hoax hanya untuk menipu dan membuat keributan,” jelas Harsono.
Kembali ke Alam
Tema ekologi menjadi menarik karena situasi pandemi yang sedang kita hadapi kini. Hal itulah yang dipamerkan Dyah Retno melalui karyanya, “Generasi Mutasi”. Mengambil medium pot kramik dan tanaman hias, ia mengangkat permasalahan daya adaptif makhluk hidup menghadapi perkembangan alam.
Karya ini akan kita temui pertama kali ketika melangkah ke ruang pameran. Menampilkan tanaman hias dalam pot kramik yang menempel pada dinding, Dyah menampilkan percobaan mutasi pada tanaman di medium tanamnya. Ia ingin menunjukan pada pengunjung bagaimana makhluk hidup menyesuaikan lingkungannya.
Pot kramik sebagai medium hidupnya tanaman hias sengaja ia buat khusus. Menggunakan limbah kramik, ia manfaatkan apa yang terbuang agar berguna kembali. Tidak hanya berguna, ia olah limbah kramik jadi pot yang semaksimal mungkin tanaman bisa hidup dan berkembang di dalamnya.
Percobaan tersebut tidak main-main dilakoni Dyah. Ia bahkan menguji lab kandungan apa saja yang terdapat pada olahan limbah kramiknya, beserta kadarnya. Hal itu ia tampilkan dalam lampiran hasil test lab uji cobanya pada dinding dekat karyanya.
Dyah tidak hanya menghasilkan karya seni kramik berdasar nilai estetisnya saja. Namun juga nilai gunanya. Perhitungannya matang terhadap karyanya. “Jika seumpama percobaan tanaman hias ini gagal, sudah ada pertolongan pertama bagi tanaman-tanaman ini,” katanya menanggapi kemungkinan gagal percobaan mutasi dan adapsi tanaman hias dalam pot kramiknya.
Tidak hanya cermat memperhitungkan karyanya. Dyah juga memposisikan karyanya dengan baik. Bukan hanya sebagai “kelinci percobaan”, tapi juga subjek yang hidup. Maksud baik yang ia coba sampaikan ke publik.
Bukankah pandemi dengan Coronavirus-19 hadir karena manusia terlalu mendominasi dan mengobjektifikasi alam sedemikian rupa? Hingga virus yang harusnya hanya terdapat binatang di hutan bisa menyerang manusia.