Pada tahun 2024 ini, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan sayembara kritik sastra dengan tema “Satirisme A. A. Navis” untuk merayakan 100 tahun A. A. Navis. Hingga penutupan Sayembara, terkumpul 166 naskah kritik sastra. Jumlah tersebut mengindikasikan antusiasme para penulis kritik sastra di Indonesia untuk membaca dan membahas karya A. A. Navis yang buku-bukunya terus dibaca dan relevan hingga kini.
Pembahasan dalam naskah kritik sastra yang dikirimkan peserta sangat beragam. Karya Navis yang dibahas atau dijadikan sebagai korpus penelitian atau kritik juga bervariasi. Akan tetapi, cerpen “Robohnya Surau Kami” sebagai karya Navis yang paling populer tetap mendapat perhatian terbesar dan paling banyak dibahas. Secara umum, karya lain Navis yang juga menjadi pusat perhatian peserta adalah cerpen “Man Rabuka”, “Kucing Gubernuran”, “Datangnya dan Perginya”, “Anak Kebanggaan” serta novel Kemarau dan Saraswati Si Gadis dalam Sunyi. Karangan-karangan Navis dibahas sebagai karya mandiri, sebagai bagian dari kumpulan (dalam kasus cerpen), atau sebagai bahan perbandingan.
Sejumlah kecil puisi A. A Navis juga dibedah oleh peserta Sayembara. Karya non-fiksi Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, mendapatkan perhatian pula dari beberapa peserta. Sebagian peserta bahkan tidak berfokus pada karya sastra Navis, melainkan pada biografi sang sastrawan. Tidak adanya pembatasan genre karya dalam Kriteria dan Ketentuan Sayembara tampaknya menyebabkan cakupan objek kritik menjadi terlalu luas, seluas bentang khazanah karya Navis yang meliputi berbagai genre yaitu cerpen, novel, puisi, dan esai.
Beragamnya objek pembahasan tersebut dibarengi dengan beragamnya pendekatan yang digunakan oleh peserta dalam menganalisis. Pendekatan mereka bergerak dari unsur intrinsik hingga ekstrinsik. Pisau analisis mereka menggurat dari gramatologi hingga materialisme. Sejumlah pertanyaan mendasar dan penting diajukan oleh para peserta untuk menelisik karya-karya Navis. Sejumlah naskah cukup baik dan kritis dalam berargumentasi untuk menjawab hipotesis dengan dukungan data, pengetahuan, penelusuran, perbandingan, dan teori yang digunakan.
Tentang Naskah
Dalam melakukan penilaian terhadap naskah peserta, diberlakukan “pembacaan buta” sehingga Dewan Juri hanya berhadapan dengan naskah kritik tanpa mengetahui siapa penulisnya. Dari pembacaan terhadap naskah-naskah itu, kami memberikan beberapa catatan umum sebagai berikut:
- Sebagian naskah ditulis dengan mengikuti secara naif Kriteria Sayembara tentang jenis-jenis pembahasan yang diharapkan, yaitu pembacaan dekat, pembacaan jauh, kajian bandingan, pembacaan lebar, dan kajian tematik. Jenis-jenis pembahasan tersebut hanya panduan umum yang dapat dipilih dan harus diolah lebih lanjut secara matang dan kreatif untuk menghasilkan kritik sastra yang bermutu. Namun, sejumlah naskah memperlakukan jenis-jenis pembahasan yang diharapkan itu sebagai persyaratan formal untuk membicarakan karya Navis sehingga menghasilkan analisis yang dangkal, ala kadarnya, dan tidak jelas arahnya. Bahkan ada naskah yang menuliskan begitu saja semua jenis pembahasan itu dalam satu tulisan ringkas.
- Pemaparan hasil kritik sastra membutuhkan penanganan serius dan cermat dalam hal penyajiannya. Keperajinan dalam menulis kritik sastra terlihat dari misalnya, kejernihan bahasa untuk menyampaikan pemikiran atas pembacaan karya, atau kecermatan dalam logika kalimat hingga ejaan atau kata serapan, termasuk juga studi pustaka yang rajin. Kekurangan umum yang sangat banyak dijumpai dalam naskah peserta Sayembara adalah kesalahan ejaan dan penulisan yang kurang sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik (kecuali memang disengaja untuk menemukan bentuk baru). Sejumlah besar naskah tampak dikirimkan tanpa melalui proses penyuntingan kembali. Kekurangan ini berpengaruh besar menurunkan tingkat keterbacaan naskah, menjadikan karya kritik sulit dipahami dan mudah disalahpahami. Perihal sumber pustaka sebagai rujukan, ada kekeliruan yang lebih substansial. Contohnya, keliru menulis judul karya Navis dengan judul yang tidak ada dalam bibliografi karya Navis, atau keliru menyebut nama tokoh dalam karya Navis dengan tokoh dalam karya pengarang lain. Dan yang juga sama fatalnya, sekadar mengganti nama penulis lain dengan nama Navis sehingga pembahasan sama sekali tidak nyambung.
- Banyak naskah menyodorkan analisis yang sumir dan terkesan buru-buru. Hanya kalimat-kalimat pernyataan atau asumsi semata tanpa didukung argumen yang meyakinkan. Kerja penulisan kritik sastra membutuhkan kesabaran (dan keperajinan di atas) dalam mengerahkan seperangkat pengetahuan, baik dari korpus atau objek kajian, teori dan pendekatan, sumber dan pembanding, data dan argumentasi, serta interpretasi yang mendukung gagasan utama. Objektifikasi analisis diperlukan untuk mendukung pandangan subjektif kritikus.
- Selain kebaruan gagasan, kedalaman analisis yang ditawarkan dalam kritik sastra memerlukan penanganan yang saksama. Kedalaman analisis bukan berarti kritik harus disajikan secara panjang lebar. Analisis yang mendalam adalah upaya untuk membuktikan kebenaran gagasan yang ditawarkan dengan argumentasi yang kuat. Sejumlah naskah memaparkan analisis yang “ingin tampak mendalam” dengan tulisan panjang puluhan halaman, tetapi justru menghasilkan pembahasan yang longgar, berlarat-larat, juga penyajian teori atau data yang tidak relevan hanya dalam rangka memperbanyak halaman. Akibatnya kepaduan dan konsistensi tema bahasan tidak terikat dengan baik.
- Cukup banyak naskah menawarkan gagasan segar, menarik, berani bahkan provokatif dalam membaca karya Navis dengan perspektif kekinian. Konsep “satirisme” yang lazim digunakan untuk membingkai khazanah karya Navis pun tidak luput dibongkar pasang dan diganggu gugat. Sayang, banyak ide kritis dan kreatif tidak dielaborasi secara jernih. Upaya untuk menampilkan kecanggihan analisis sering hanya membuahkan kerumitan jalan pikiran, keruwetan berbahasa, dan kerimbunan jargon bergaya ilmiah yang tidak perlu.
Naskah Unggulan
Sesuai dengan ketetapan dalam maklumat Sayembara, Dewan Juri memilih lima Naskah Unggulan dan tiga Naskah Juara. Kami mengganggap beberapa pilihan ini sebagai naskah yang “relatif lebih baik” di antara naskah yang ada.
Berikut lima Naskah Unggulan yang diurutkan berdasarkan nomor naskah dan tanpa peringkat:
- Naskah nomor 63 berjudul “Membaca Ulang ‘Robohnya Surau Kami’ dan ‘Man Rabuka’”. Naskah ini berusaha mengungkap strategi penceritaan dalam dua cerpen Navis, yang menggunakan secara beragam tokoh “aku” sebagai pencerita untuk menyampaikan isi cerita. Interaksi bentuk dan isi menjadi fokus kajian dengan menyoroti pilihan penggunaan cerita berbingkai sebagai strategi bercerita, khususnya untuk tema-tema yang berpotensi kontroversial, misalnya tema keagamaan pada cerpen yang dibahas. Bentuk cerita berbingkai ditelaah untuk mencari tafsir baru atas resepsi pembaca. Naskah ini juga membandingkan karya Navis dengan berbagai karya sastra dari Indonesia dan mancanegara. Telaah intertekstualitas diperkaya dengan perbandingan antara karya sastra dan film. Ada pula upaya melihat relevansi karya Navis dengan konteks historis maupun konteks kekinian. Lingkup pembahasan dalam naskah ini terlalu luas melebar sehingga mengaburkan fokus telaah bentuk dan isi karya Navis. Pembahasan lebih banyak berpijak pada pendapat orang lain ketimbang pemikiran sendiri, juga lebih banyak menyodorkan deskripsi ketimbang tafsir.
- Naskah nomor 108 berjudul “Risalah tentang Teks ‘Angkatan 00’ dan Spekulasi (dari) Masa Lalu”. Naskah ini menawarkan tafsir menarik tentang cerpen esaistik Navis yang berjudul sama. Angkatan merupakan sebuah gejala yang sering dibicarakan dalam sastra Indonesia. Dalam pembicaraan umum, kemunculan suatu angkatan sering disandarkan pada peristiwa sosial politik. Naskah ini menelusuri bagaimana Navis merespons pembicaraan tentang angkatan, dan menunjukkan secara rinci asal-usul dan relasi wacana yang terkait dalam tema Angkatan 00. Penulis naskah ini menunjukkan keseriusan menelusuri sejarah teks karya yang dibahasnya, baik dalam kaitan dengan hipogram tekstualnya maupun pandangan Navis terhadap tema yang direspons. Gagasan spekulatif naskah ini tentang “Angkatan 00” membumikan fantasi Navis ke konteks historis, secara kreatif menunjukkan keterkaitan rumit antara imajinasi, sastra, dan sejarah. Sayang, tawaran tentang keterkaitan rumit tersebut menjadi kurang meyakinkan karena disampaikan dengan cara yang juga rumit dan melelahkan, dapat lebih ringkas tanpa perlu berpanjang-panjang. Selain itu, ada pernyataan keliru tanpa argumen ataupun riset memadai perihal kontribusi cerpen terhadap kehidupan nyata.
- Naskah nomor 110 berjudul “Cerita Selipan sebagai Pusat, Antropomorfisme Malaikat sebagai Alat: A. A. Navis dan Konstruksi Satire”. Naskah ini menafsirkan cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” dengan melihat tokoh-tokoh yang kontroversial, terutama dari pandangan agama. Tokoh-tokoh kontroversial yang menggerakkan cerita dalam dua cerpen Navis itu menjadi contoh bagaimana tokoh cerita dibangun untuk mendukung kompleksitas masalah; tak hanya tokoh utama, namun juga tokoh-tokoh pendukung lain dalam alur penceritaan. Naskah ini juga menelisik strategi Navis dalam menggunakan teknik cerita berbingkai yang menawarkan lapisan-lapisan cerita yang menambah kompleksitas struktur narasinya. Dengan penalaran runut dan jelas, didukung penggunaan teori yang relevan, naskah ini berhasil menghubungkan analisis teks sastra dan konteks sejarah sastra. Namun, pembahasan cukup menjelimet dan bertele-tele sehingga mengurangi keterbacaan. Analisis juga memberat ke gaya ilmiah akademis yang kental dengan jargon teori. Selain itu, analisis kerap bersandar pada pendapat penulis-penulis lain, juga cenderung otobiografis dengan keterangan dan justifikasi pengarang tentang karyanya yang sering dikutip, sehingga posisi dan pandangan penulis itu sendiri menjadi samar.
- Naskah nomor 139 berjudul “Mengupas Lapisan Satire Sang Pencemooh dalam Risalah Kemarau”. Naskah ini menelusuri bentuk naratif yang dibangun oleh pengarang, dengan menggunakan ukuran moral para tokoh yang dihadirkan. Naskah berupaya memahami kemunculan para tokoh (tokoh utama dan tokoh figuran, protagonis dan antagonis) serta unsur pembangun seperti latar dan konflik yang menggiring cerita. Moral tokoh dalam novel Kemarau tampil cukup rumit dalam penceritaannya. Penelusuran naratif menunjukkan betapa masing-masing tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh-tokoh lain, memiliki sisi manusiawi, baik dan buruk sekaligus, dan tidak terbebas karena posisinya sebagai tokoh protagonis atau antagonis. Naskah ini menawarkan analisis moral berdasarkan naratologi dan membeberkan dampak pengisahan narator pada representasi alam dan perempuan dalam karya Navis. Bahasannya menyiratkan sikap kritis terhadap ideologi pengarang. Seperti banyak naskah lain, naskah ini juga memuat data yang tidak perlu ataupun relevan, misalnya data pembacaan mesin tentang frekuensi kemunculan tokoh yang dihubungkan dengan peran antagonis-protagonis tokoh dalam situasi kalah dan menang, padahal statistik kemunculan dan karakterisasi dalam pengisahan adalah dua perkara berbeda yang tidak paralel ataupun saling bersebab-akibat.
- Naskah nomor 160 berjudul “Tahun-tahun Kesunyian Minangkabau”. Naskah ini mengaitkan karya Navis dengan biografi pengarang dan latar budaya serta latar sejarah Minangkabau dalam berbagai dinamikanya, kemudian menautkannya pada motif kesunyian dalam sastra dan kondisi pascakolonial. Kajian ini berusaha membaca karya sastra dalam konteks kultural-historisnya. Kesan suasana kesunyian dan kemuraman dalam karya Navis, misalnya dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, dipandang memiliki hubungan dan paralel dengan situasi psikologis masyarakat. Naskah ini berupaya memberikan bukti bahwa nuansa dan situasi dalam karya Navis mencerminkan realitas historis. Didukung studi pustaka yang cermat, kajian ini juga memperlihatkan jaringan intertekstualitas antara teks sastra Navis dan teks non-sastranya serta teks-teks penulis lain. Masalahnya, penafsiran karya sastra berdasarkan biografi pengarang dan konteks historis dalam naskah ini cenderung sangat spekulatif, determinatif, dan bisa membekukan makna karya Navis pada ranah kelampauan belaka.
Naskah Juara
Tiga Naskah Juara dalam sayembara ini adalah sebagai berikut:
- Juara III: Naskah nomor 37 berjudul “Tinjauan Materialisme Kultural dan Wacana Kekuasaan dalam Relasi Pelik Sosok-Sosok Rekaan A. A. Navis”. Naskah ini berhasil menampilkan kritik teks dari sudut yang jarang dilihat orang ketika membicarakan karya Navis. Bertolak dari renungan tentang ketersambungan antara sosok rekaan dan sosok pengarang, kajian ini mengungkapkan wacana materialisme dan operasi kekuasaan yang tertanam dalam sejumlah cerpen Navis. Pembahasan mengamalkan pembacaan dekat secara mendetail dan saksama untuk membangun tafsir baru yang memadukan telaah atas teks dan biografi pengarang. Bagaikan detektif yang berusaha memecahkan kasus misteri, ia menyelidiki karya Navis selangkah demi selangkah dengan sabar, tidak terburu-buru menarik kesimpulan. Naskah ini memperlihatkan keperajinan dalam bentuk esai yang personal, pemaparan yang menunjukkan penguasaan teori dan penerapannya, argumennya meyakinkan dan berani, serta bahasa yang jernih, rapi, dan relatif bersih dari kesalahan penulisan. Meski demikian, pembahasan atas sejumlah pertanyaan utama yang diajukan dalam esai tampil tidak proporsional: bahasan panjang lebar dan mendalam bersisi-sisian dengan pembahasan ringkas dan cenderung spekulatif yang tidak menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri.
- Juara II: Naskah nomor 134 berjudul “Ing Chitra Lekha”. Naskah ini memberikan upaya baru yang unik dan segar dalam pembacaan karya sastra dan penyajian hasilnya. Interpretasi karya Navis dilakukan dengan menggunakan proses “pengalihwahanaan” teks sastra menjadi teks seni rupa. Melalui pembacaan dekat yang kreatif, naskah ini membawa deskripsi dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” ke ruang pameran lukisan imajiner dengan mentransformasikannya menjadi deskripsi citra visual yang sastrawi dan sarat alusi. Maka kritik sastra pun terlahir kembali sebagai sastra tentang seni rupa. Lewat naskah ini, kita seperti diingatkan lagi bahwa Navis adalah juga pernah seorang perupa, dan jejak rupa itu tampak dalam karya-karyanya yang imajistik. Naskah ini menguakkan semacam “puitika ruang” yang terkandung dalam cerpen Navis; merayakan kekuatan Navis dalam membangun citra deskriptif, baik dalam latar, karakterisasi, ambiguitas, perbandingan, kontradiksi, dan berbagai elemen pembangun cerita. Melalui eksperimen bentuk esai, naskah ini memperagakan secara dramatis bahwa karya sastra adalah teks terbuka dengan potensi tak terbatas untuk ditafsirkan dan dimaknai. Namun, keterbacaan naskah ini cukup menyulitkan karena bahasanya terlalu digayakan ingin memuisi, dan terlampau di-eksotisasi dengan banyak kosakata bahasa Jawa.
- Juara I: Naskah nomor 165 berjudul “Konstruksi Satire dan Transformasi Subjek Feminin Di Lintasan Mendung dalam Pusaran Generasi Femina”. Naskah ini memiliki kekuatan dalam menelusuri jejak tematik yang terpinggirkan dalam sejarah sastra Indonesia, dengan menggunakan novel Di Lintasan Mendung sebagai fokus pembicaraan, novel Navis yang belum pernah diterbitkan sebagai buku. Keunggulan utama naskah ini terletak pada perhatiannya yang sangat besar dan serius terhadap aspek kekaryaan Navis yang kurang populer. Pokok bahasannya langka dalam semesta pembicaraan karya Navis, yaitu subjek feminin di ranah domestik. Dengan studi pustaka yang rajin, naskah ini juga menunjukkan secara meyakinkan tentang pentingnya memperhitungkan secara lebih serius suara yang kerap terabaikan atau diremehkan dalam sejarah sastra Indonesia, seperti karya-karya para penulis di majalah perempuan Femina yang kerap dikotakkan dalam genre novel pop. Telaah sosiologis dan historis yang cermat dan rinci dijahit secara mulus ke dalam pembacaan dekat terhadap karya Navis, tanpa jargon teori yang berlebihan. Naskah ini berhasil menghadirkan kritik sastra yang menawarkan pemikiran out of the box tentang karya Navis dengan berpijak pada penalaran yang tertib. Kelemahannya, gagasan dan topik yang segar itu malah tampil kering, kurang imajinatif, dengan penafsiran yang kurang berani dan normatif saja.
Demikian. Selamat untuk para unggulan dan pemenang.
Dewan Juri:
Arif Bagus Prasetyo
Sudarmoko
Nukila Amal