Enam belas komunitas tari yang mementaskan karya dalam Jakarta Dance Meet Up #2019 memperlihatkan, dengan sangat kentara, berada di subgenre tari yang mana masing-masing mereka berkecimpung. Ada empat jenis yang tampak hadir selama penyelenggaraan JDMU tahun ketiga ini, dan sekaligus memberikan gambaran umum mengenai ekosistem tari yang sedang tumbuh kembang di Jakarta: street dance, balet, tradisi nusantara, dan apa yang kita sebut sebagai koreografi kontemporer.
Kehadiran subgenre yang berbeda dalam satu panggung yang sama tersebut bukan lah sebuah kebetulan, melainkan telah dikondisikan sedari awal. Para peserta JDMU 2019 dipilih oleh Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (selaku penyelenggara) berdasarkan keterwakilan masing-masing subgenre, selain pertimbangan kualitas karya sebelumnya dan gagasan karya yang akan ditampilkan tentu saja. Bahkan jadwal pertunjukan pun diatur sedemikian cara agar setiap jenis tari hadir secara proporsional selama tiga hari agenda ini berlangsung.
Karya koreografer Fitri Anggraini berjudul Jeda membuka JDMU 2019 dengan menawarkan gagasan yang unik. Karya ini adalah salah satu contoh kehadiran estetika kontemporer dalam JDMU 2019. Sebagai karya kotemporer, tentu yang ia problematisir adalah tubuh sebagai piranti estetis utama tari. Sebagaimana yang tergambar pada judul, karya ini justru menjadikan jeda sebagai sumber gerak tubuh. Atau dengan kata lain, gerak tubuh hanyalah konsekuensi dari jeda. Ia mengganggu pemahaman umum bahwa gerak adalah pusat dan segala-galanya dalam tari. Pengertian jeda dalam karya ini barangkali bisa dipadankan dengan “bidang kosong dalam kanvas” dalam seni rupa atau “momen hening di antara bunyi” dalam seni musik.
Untuk karya yang mewakili estetika seni tradisi, kelompok Swargaloka mampu memadu-padankan karakteristik seni tradisi seperti ritmisitas dan simetrisitas dengan karakteristik seni modern yang inovatif dan individual. Memang dalam karya berjudul Turn ini berbagai gerak tradisi gandrung banyuwangi, terutama pada bagian paju gandrungnya, masih muncul, namun ia telah diolah oleh koreografer Bathara Saverigadi Dewandoro sedemikian rupa dengan pengembangan gerak dan tempo, alur dan pola lantai, ataupun intensi emosional yang khas modern.
Mudamove adalah komunitas tari yang seluruh anggotanya berasal dari sekolah balet. Unsur balet pun, mau tidak mau, muncul dominan dalam karya mereka berjudul Sajak Tubuh. Namun, kelompok ini pada dasarnya didirikan sebagai wadah lain untuk para penari dan koreografer di luar agenda-agenda kebaletan masing-masing. Upaya untuk menghadirkan karya yang berbeda pun sebenarnya terlihat dalam karya koreografer Anindya Krisna & Nudiandra Sarasvati ini. Konsep mengalih-wahanakan puisi ke dalam tari adalah gagasan yang menarik, dan lagi pula kelompok ini memiliki penari dengan kualitas yang mumpuni. Namun mereka masih terlalu patuh pada pola balet yang bergerak harmonis dengan musik latar, sehingga terkesan lelaku penari hanyalah ilustrasi dari musik.
Sementara karya yang layak mewakili estetika street dance adalah koreografi Abugrey Labubun berjudul Bakabadi. Karya ini tampak mengambil gerak stakato dari khazanah tari yang tumbuh di Amerika dalam medio 70-an. Namun ia hanya mengambil satu saja karakteristik gerak stakato, yaitu, unsur distorsinya dan mengabaikan unsur ritmisitas dan akrobatiknya. Distorsi tersebut kemudian digarap secara intensif dan digabungkan dengan sejumlah gerak tari tradisi Papua. Gerakan patah-patah yang terdistorsi tersebut ditekankan pada beberapa bagian tubuh, seperti jari, pergelangan tangan, dan leher sampai kepala. Dengan bentuk yang demikian, ia hendak merepresentasikan gerak burung cenderawasih yang habitatnya telah rusak.
Ada banyak karya lain yang menarik untuk dibahas, namun empat contoh di atas setidaknya mewakili empat subgenre tari yang hadir di Jakarta Dance Meet Up 2019. Kehadiran karya-karya tersebut mempertegas posisi JDMU sebagai ruang pertemuan yang mengakomodir keberagaman komunitas tari yang eksis di Jakarta. Ruang yang mempertemukan, tidak hanya antar kelompok tari, namun juga para penontonnya. Sistem penomoran pentas, misalnya, mengakibatkan karya yang tampil dengan berpijak pada seni tradisi betawi “terpaksa” ditonton oleh pemirsa yang terbiasa menyaksikan balet, atau karya dengan karakteristik kontemporer mau tidak mau mesti ditonton oleh audiensnya street dance, begitu seterusnya selama JDMU berlangsung.
Ruang pertemuan tersebut menjadi penting mengingat antar komunitas tari di Jakarta beserta penontonnya sebelum ini cenderung tersegmentasi dalam ruang lingkup masing-masing. Sanggar balet berkutat dalam studionya sendiri, sanggar tari tradisi terlampau percaya diri bahwa mereka tengah melestarikan warisan leluhur, begitu pula dengan kelompok street dance, dan bahkan yang melabeli diri sebagai pengkarya kontemporer sekalipun. Tidak banyak yang kemudian berani keluar dari tempurungnya dan lebih betah berkarya atau mempelajari tari hanya dalam satu garis estetika saja. Dengan melihat satu sama lain, penyelenggara JDMU tentu mengharapkan masing-masing komunitas tari saling belajar.
Namun poin utama penyelenggaraan JDMU 2019 tidak hanya pada apa-apa yang tampak di panggung. Segala sesuatu yang terjadi sebelum setiap karya hadir di hadapan penonton juga merupakan hal yang penting dalam agenda tersebut secara keseluruhan. Proses pertemuan antar peserta sebenarnya telah dimulai lebih awal. Para koreografer masing-masing komunitas, yang seluruhnya masih muda secara usia dan pengalaman itu, telah dibekali dengan serangkaian agenda yang bersifat pengembangan seperti diskusi terpumpun dan latihan bersama.
Dalam diskusi terpumpun, mereka memaparkan gagasan dan konsep karya yang akan dibawa ke pentas, kemudian dibahas oleh anggota komite tari, tim pengamat, dan peserta lainnya. Pada latihan bersama, masing-masing kelompok mempertunjukkan terlebih dahulu karya mereka ke hadapan pihak yang sama, di sana sesi diskusi sekali lagi terjadi untuk membahas karya yang “hampir jadi” itu. Selain itu, juga ada sesi diskusi dan sharing session di hari yang sama dengan pentas JDMU 2019. Sesi diskusi tersebut membahas lebih pada soal-soal di luar kepenarian namun berkaitan erat dengan ekosistem tari secara lebih luas, yaitu, diskusi mengenai komintas tari, fotografi tari, dan sharing session mengenai posisi perempuan dalam dunia tari Indonesia.
Jakarta Dance Meet Up, dengan demikian, bukan sekadar ajang pentas yang menampung kelompok atau karya yang telah layak pentas belaka. Adanya serangkaian agenda pra-pertunjukan menunjukkan bahwa ia hendak mengupayakan sebuah ruang pertemuan yang sadar wacana dan punya karakteristik inkubatoris, yaitu, sebuah ruang yang membantu para seniman tari muda tersebut untuk mempersiapkan karya baru dan membuka kemungkinan lain pengembangannya. Membantu mereka dalam mengolah gagasan dan konsep karya serta dalam hal bagaimana gagasan dan konsep tersebut diimplementasikan menjadi elemen-elemen koreografi atau unsur-unsur artistik penunjang karya tari.
Satu hal lain yang juga diupayakan oleh penyelenggara JDMU selama proses inkubator berlangsung adalah mendorong para komunitas tari untuk lebih berani mengembangkan atau keluar dari pakem estetis yang selama ini mereka praktikkan dalam berkarya. Pakem yang telah melekat sebagai identitas kelompok masing-masing dan bahkan menjadi dasar pembentukan beberapa komunitas di antaranya. Upaya ini hadir ketika diskusi mengenai gagasan dan konsep karya terjadi, dengan cara membawa pembicaraan ke wilayah diskursus seni: bagaimana seni merespons realitas, bagiamana seni mutakhir hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap pendahulunya, atau bagaimana seni dengan dasarnya yang inovatif mesti berhadapan dengan tradisi yang dianggap baku, dst.
Seperti tertera di awal tulisan ini, karya-karya yang tampil di Jakarta Dance Meet Up 2019 memperlihatkan dengan jelas pakem estetika mana yang mereka pakai dalam berkarya: apakah street dance, balet, tradisi nusantara, atau kontemporer. Meskipun ada beberapa kelompok yang berusaha untuk keluar dari pakem tersebut dengan cara memadukannya dengan khazanah tari lain atau menegosiasikannya dengan kondisi-situasi hari ini, namun lebih banyak lagi kelompok yang sulit keluar dari konvensi-konvensi baku dalam satu subgenre tari. Seolah-olah pakem tersebut adalah hukum yang wajib mereka patuhi.
Dengan demikian, pemilihan komunitas tari yang tampil di Jakarta Dance Meet Up 2019 yang didasari pada keterwakilan subgenre itu hanyalah langkah awal. Penyelenggara JDMU menjadikannya sebagai pijakan untuk kemudian membawanya ke wilayah lain. Capaiannya tentu saja bukan agar masing-masing komunitas tari tersebut meninggalkan identitasnya. Tapi untuk melihat bahwa berbagai subgenre tersebut tidak lagi sebagai aturan yang kaku, ia juga merupakan sebuah produk yang melakat pada konteks-konteks sosial-kultural pada masanya. Dengan demikian, selalu terbuka kemungkinan untuk meninjau ulangnya, merelevansikannya, dan memperluasnya sampai ke batas-batas yang paling memungkinkan.
Dua kali sesi diskusi jelas tidak cukup untuk menggoyang prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh komunitas tari tersebut. JDMU butuh menghadirkan lebih banyak sesi diskusi atau lokakarya yang membahas diskursus seni seputar filsafat seni atau politik seni, misalnya. Atau menyediakan ruang dengan karakteristik inkubator dalam kurun waktu yang lebih memadai. Namun setidaknya Jakarta Dance Meet Up telah mampu mengisi kekosongan dalam dunia tari hari ini: sebagai ruang yang tidak sekadar menyediakan panggung pentas untuk karya yang dainggap “sudah jadi”, namun juga memberi kesempatan pada para kreator muda dalam mengembangkan gagasan dan karya mereka.
Artikel oleh : Fariq Alfaruqi