Abstrak

Tulisan ini mengkaji bagaimana seni rupa, khususnya melalui pameran, menjadi alat untuk mengangkat isu-isu hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Berfokus pada karya-karya patung dari Dolorosa Sinaga yang ditampilkan pada pameran “Patung dan Aktivisme,” tulisan ini juga mengeksplorasi efektivitas pameran dalam menyampaikan pesan sosial di era digital, di mana media sosial memegang peranan penting dalam penyebaran informasi.

Seni dan mereka yang ditindas

Seni telah lama berubah dari sekadar medium estetika menjadi sarana untuk menyuarakan isu-isu sosial. John Berger (lahir 1926; wafat 2017), dalam “Keeping a Rendezvous” (1991) menyampaikan bahwa seni membela mereka yang tidak bersalah dan menunjukkan kepada masa depan apa yang diderita masa lalu, sehingga tidak pernah dilupakan. Dalam “Ways of Seeing” (1972), Berger menyiratkan bahwa gambar dan seni memiliki potensi untuk menyampaikan perspektif tertentu yang dapat mempengaruhi kesadaran kita terhadap isu-isu sosial dan politik. Pemikiran ini sejalan dengan yang disampaikan oleh S. Sudjojono (l. 1913; w. 1986) jauh sebelumnya. S. Sudjojono, yang dianggap sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, mengedepankan pentingnya menggambarkan kehidupan nyata masyarakat sebagai bentuk kritik sosial.

Pematung Dolorosa Sinaga (l. 1952) telah lama berada pada jalan yang ditunjukkan S. Sudjojono ini: membuat karya seni yang menunjukkan penderitaan dan memberikan suara kepada mereka yang tertindas. Lebih dari dua puluh tahun lalu Dolorosa membuat “Resistante” (1996), patung perunggu yang menampakkan figur perempuan dengan satu tangan mengepal di belakang tubuh  sembari tangan satunya meremas dadanya. Patung tersebut menggambarkan rasa sakit dan rasa marah menyatu dalam ekspresi wajahnya, menunjukkan posisi dan sikap Dolorosa bahwa perempuan harus dibela.

Mei lalu, Dolorosa berkontribusi dalam pameran seni yang melibatkan sejumlah seniman lintas generasi dan disiplin, “Duka dalam Dekade” di Taman Ismail Marzuki. Patung perunggu berwujud penyair Wiji Thukul yang sedang mengepalkan tangan karya Dolorosa menyambut pengunjung dalam pameran yang digelar untuk mengingatkan publik tentang peristiwa-peristiwa kelam HAM di Indonesia, khususnya mengenai isu penghilangan orang secara paksa.

Dengan pandangan dan berbagai karya sebelumnya, tidak aneh jika Dolorosa bersama pematung Budi Santoso mengangkat kembali persoalan ketidakadilan, perang di Gaza, dan pelanggaran HAM saat Orde Baru dan paska Orde Baru dalam pameran “Pematung dan Aktivisme” di Galeri Nasional Indonesia, Juli – Agustus lalu.

Bisakah suatu pesan tersebar luas melalui pameran? 

Kemudian, pertanyaannya adalah, jika pameran karya seni termasuk patung digunakan untuk mengangkat persoalan ketidakadilan, sejauh mana pesan tersebut akan tersebar – diperhatikan, menyentak, dan mendorong perubahan ? Di zaman di mana perhatian akan suatu hal sangat pendek dan yang penting adalah eksis di media sosial, apakah suatu pameran akan mencapai tujuannya?

Tulisan ini berargumen bahwa sementara pameran seni memiliki potensi besar untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana pesan tersebut disampaikan dan diperkuat melalui media sosial. Kurator dan seniman perlu lebih memanfaatkan media sosial sebagai bagian integral dari proses kurasi untuk memperluas jangkauan dan dampak pesan mereka.

Dalam pameran “Pematung dan Aktivisme,” karya-karya Dolorosa yang berbentuk buku dan sosok yang telungkup “Monumen Pembantaian Masal 1965” (2024), manusia-manusia yang membopong mayat “Monumen Tragedi Semanggi 1998” (2024) dan sepasang sosok memeluk pigura yang kosong “Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia” (2024) di halaman Galeri Nasional adalah obyek favorit berfoto – mungkin karena ukurannya yang besar. “I, Witness” (2024) di ruang dalam pameran juga menjadi favorit untuk berfoto. Patung tersebut berwujud perempuan berkebaya encim berwarna emas yang sedang berdiri di depan podium dan merupakan representasi dari almarhum Ita Marthadinata (l. 1980; w. 1998).

Ada pengunjung yang membaca catatan kecil di depan atau di dinding di belakang patung, namun sepertinya banyak pengunjung yang menghabiskan waktu untuk berfoto daripada memperhatikan karya-karya serta memahami konteks dan pesan dari karya-karya tersebut. Seringkali plakat informasi tidak diperhatikan dan pengunjung yang berfoto tidak mengambil waktu panjang untuk memperhatikan karya-karya tersebut. Padahal, dengan membaca informasi di papan pesan atau plakat maka konteks dan patung menjadi lebih jelas. Tiga patung besar di halaman dan patung Ita Marthadiana merupakan penanda tiga peristiwa pelanggaran HAM besar di Indonesia. Pada banyak percakapan, saya temukan bahwa kisah-kisah tentang pembantaian 1965, penculikan di masa Orde Baru dan kerusuhan Mei 1998 tidak diketahui oleh mereka yang lahir sesudah 1998, anak-anak dan para remaja yang saat ini berusia kurang dari 26 tahun.

Plakat informasi patung “I, Witness” menjelaskan tentang Ita Marthadinata, seorang remaja perempuan korban kekerasan Mei 1998 yang dibunuh seminggu sebelum berangkat memberikan kesaksian di gedung Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Patung yang dipamerkan tersebut adalah pengulangan karya dengan judul yang sama yang dibuat pada 2002, dibuat oleh Dolorosa untuk mewujudkan harapan Ita untuk bersaksi kepada dunia.

Pengabaian terhadap informasi (papan pesan) menunjukkan bahwa meskipun karya seni dapat menjadi alat peringatan dan pengingat sejarah, penyampaian pesan yang efektif masih menjadi tantangan, terutama ketika dihadapkan dengan perhatian pengunjung yang terbatas.

Strategi baru untuk menyampaikan pesan tentang Hak Asasi Manusia

Pameran semacam “Patung dan Aktivisme” memerlukan strategi yang lebih efektif untuk menyampaikan pesan. Tulisan-tulisan pendamping perlu diperbesar dan ditempatkan sedemikian rupa agar tidak terlewatkan oleh pengunjung. Lebih jauh lagi, kurator harus memastikan bahwa pesan-pesan penting dari pameran dapat tertangkap dalam foto-foto yang kemudian dibagikan di media sosial. Hal ini tidak hanya memperkuat dampak karya tetapi juga memperluas jangkauan pesan ke khayalak yang lebih luas.

Agar pesan tersebar lebih luas, perlu ada kurasi pendamping untuk memilih dan menyebarkan karya dan pesan melalui media sosial. Pesan-pesan kunci yang tertulis atau terucapkan harus muncul bersama foto atau video tentang suatu karya, menjadi pendorong untuk memahami karya yang disajikan dan pesan yang ingin disampaikan. Para kurator perlu mengakrabi kekuatan media sosial, memanfaatkannya sebagai bagian dari proses kurasi. Saya belum melihat bahwa Dolorosa dan banyak seniman lainnya memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ide dan pesannya selain untuk menyebarluaskan bentuk (foto) dari karya mereka.

Sebagai perbandingan, kita telah terbiasa melihat karya Banksy, seniman mural anonim asal Inggris, tersebar di media sosial dan seringkali dengan pesan yang dibuat oleh si pemilik akun. Karya-karya mural Banksy mencubit dengan isu-isu sosial dan politik, termasuk opresi, perang, dan ketidakadilan.

Di Indonesia, para kurator bisa belajar banyak dari sejumlah akun yang telah ada. Akun Instagram @ottodjaya.stories mengkaji dan menyebarkan pesan dari lukisan karya Otto Djaya (l. 1916; w. 2002) merupakan contoh yang bukan hanya bagus dan baik tetapi juga menyenangkan. Follower (pengikut) dan yang membaca post (pesan) bukan hanya diajak memahami tetapi juga menjadi terlibat. Jika kita terlibat dengan satu karya, maka membangun kesadaran dan gerakan tidak menunggu langkah yang jauh.

Seni rupa memiliki potensi besar sebagai alat untuk mengangkat isu-isu HAM. Namun, efektivitasnya sangat tergantung pada bagaimana pesan tersebut disampaikan dan diperkuat melalui media sosial. Dengan strategi kurasi yang tepat, seni rupa tidak hanya dapat menyentuh hati tetapi juga menggerakkan aksi sosial yang lebih luas.

***

Ali Aulia Ramly

Email: ali.aulia.ramly@gmail.com

Ali Aulia belajar dan mendalami foto esai di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) pada 1995. Dengan dukungan dari Pusat Kebudayaan Prancis dan GFJA, Ali belajar fotografi kontemporer dari Mathilde Delahaye (1999). Ali mendalami kuratorial dalam bidang fotografi (2019) dan penulisan fotografi (2020) dibawah bimbingan Zhuang Wubin, seorang penulis, peneliti dan kurator fotografi, melalui lokakarya yang diselenggarakan oleh PannaFoto Institute.

Ali terlibat dalam pameran foto “Putaran Asa” (GFJA, 1996), karya seni visual-musik-tari “Lalu” dan “Api” (Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998), berkontribusi dengan karya-karya foto “Batee Atjeh” dalam Kongres Kebudayaan Aceh (2007). Ali sempat bekerja sebagai fotografer komersial dan berkontribusi untuk iklan dan buku, antara lain “The Light of Taman Surapati” (Pemda DKI Jakarta, 1996).

Ali Aulia bekerja untuk lembaga kemanusiaan dan badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk isu perlindungan anak, hak asasi manusia dan gender di berbagai daerah terdampak konflik dan bencana di Indonesia dan di berbagai negeri (Sudan Selatan, Papua Nugini, Afghanistan) sejak 2000.

Saat ini, selain menjadi peneliti dan fasilitator independen untuk isu HAM dan hak anak, Ali Aulia kembali mendalami fotografi dan seni rupa.