Ini merupakan program pertama Komite Teater DKJ kepengurusan 2016-2018, bagian dari program “Lintas Media”. Acara dibuka oleh Adinda Luthvianti dari Komite Teater DKJ. Dilanjutkan sambutan Ketua DKJ, Irawan Karseno dan moderator Ferdi Firdaus. Notulen dibuat oleh Heru Joni Putra (sastrawan).
MELATI membawa kursi kayu ke tengah panggung dan satu botol air mineral. Ia duduk dengan punggung tegap, mengenakan busana hitam, kedua kakinya agak menggantung. Beberapa saat ia diam saja. Pandangannya menghadap lurus ke depan. Suasana hening. Melati mulai bicara, mengenalkan dirinya, pelan-pelan:
1969 saya lahir di Solo, kampung kecil di tengah kota Solo, kampung Kemalayan. Kalau orang-orang yang percaya dengan Esoterisme di Jerman, mengatakan bahwa kitalah yang memilih orang tua. Selama ini yang saya tahu — bagaimana menjadi orang tua bagaimana menjadi anak — itu seolah-olah kita membela bahwa kita lahir ke dunia tidak memilih siapa orang tua kita. Suatu saat, setelah kira-kira 40 tahun berikutnya, saya mulai berpikir bahwa saya untung memilih orang tua saya. Saya lahir di lingkungan kesenian dan lumayan tradisional. Bapak saya Suprapto Suryodarmo.
Ibu saya Siti Nurianti. Bapak saya dan ibu saya bertetangga di satu kampung. Bapak saya dari keluarga pedagang, saudagar berlian dan batik. Ibu saya keluaga penabuh gamelan. Ibu saya anak kedua dari tiga bersaudara, dirawat dan dididik oleh seorang Ibu yang tahun 50-an memutuskan untuk menjadi single mother. Ia bercerai dari suaminya. Ia bekerja memproduksi batik. Itulah yang saya ketahui tentang nenek saya, seorang Ibu yang merawat tiga anaknya sendiri.
Ayah saya sudah yatim piatu semenjak umur 17 tahun. Kematian orang tuanya memporak-porandakan struktur ekonomi keluarga. Ia anak tertua dari 8 bersaudara yang kemudian dibagi-bagikan kepada bibinya.
Sejak kecil saya melihat bagaimana ayah saya bekerja di PKDT (Pusat Kesenian Djawa Tengah). Sampai sekarang saya masih ingat suasana bagaimana orang belajar menari, berkegiatan, bertemu, diskusi, bertengkar, bahkan pementasan.
Beberapa waktu lalu saya bertemu Sardono dan saya mengatakan, “Om, saya masih ingat bagaimana dulu saya waktu kecil melihat Mbak Sukma naik kepala Reog, telanjang, rambutnya panjang menutupi, matanya melotot dengan pipi yang tebal.”
Saya pikir hal-hal seperti itu menjadi semacam tanda. Ingatan saya semakin kuat 40 tahun sebelumnya, terutama bila dihubungkan dengan kegiatan saya dalam berkarya. Bagi saya selama ini saya belum apa-apa. Mudah-mudahan masa depan jauh lebih panjang.
MELATI meletakkan botol minuman ke lantai dan kembali ke posisi semula. Ia lanjut berbicara:
Saya ingin bercerita sedikit bagaimana orang tua, yang keduanya seniman, bisa menjadi semacam idola saya pada waktu itu, karena ketika saya remaja saya menginginkan orang tua yang berbeda. Ini saya pikir lagi, karena saya sendiri juga punya anak. Ibu melahirkan saya saat usia 18 tahunan, Ayah saya waktu itu 23 tahun. Masih muda. Saya SD dan Ibu saya kuliah lagi di ASKI. Ibu saya juga seorang penari. Beliau belajar pada empu, S Condro Ngaliman. Pak Ngaliman kemudian menjadi guru saya menari. Ia pada tahun 70-an dilarang mengajar di tempat umum, karena diduga anggota Lekra. Jadi, anak-anak di Kemalayan dikumpulkan di Pendopo, bertembok besar tinggi, yang bisa ditutup gerbangnya. Saya belajar dengan Pak Ngaliman umur 8 tahun. Ia mengajarkan gaya Solo dengan style-nya sendiri. Ia juga menciptakan gaya baru berbasis tradisi. Dengan tema yang lebih aktual di zamannya. Ada semangat untuk mengangkat tema-tema keseharian. Saya belajar sampai SMA tapi saya hampir tidak pernah diajak mentas. Alasannya karena tubuh saya tidak seperti gadis. Saya terlalu gemuk. Padahal saya rajin sekali latihan.
Ketika remaja saya mulai menarikan tarian yang tidak halus. Kalau “Tari Buru Kijang”, saya yang jadi pemburunya. Saya menjadi agak dibedakan, tapi mungkin Pak Ngaliman sudah benar. Sewaktu saya SD kelas 5, karena saya terlalu aktif, Bapak mengirim saya belajar Taichi, agar saya tenang melalui pernapasan. Sebulan pertama saya tidak betah. Tapi Bapak terus menyuruh saya kembali ke Pak Narso. SMP kelas 1 saya kembali belajar Taichi.
MELATI mengubah posisinya, dari posisi duduk di atas kursi, ia kemudian berdiri. Tapi pijakan kaki masih pada posisi semula. Ia kembali bicara:
Pak Narso adalah guru Taichi yang paling hebat di Solo. Menurut saya ia adalah guru yang istimewa. Ia mengajarkan Taichi dengan iringan musik gamelan.
MELATI bergeser ke kanan sambil bicara.
Ia belajar Taichi di penjara—ketika ia dituduh anggota PKI. Gurunya adalah teman tahanannya.
MELATI bergeser ke kiri. Ia kembali bicara:
Ia belajar di ruangan 2 x 2 Meter. Gurunya itu keturunan Tionghoa. Ahli jamu dan pengobatan akupuntur China.
Selain mengajar Taichi, Pak Narso membuka praktik pijat. Sakit sekali. Ia sering mengajar Taichi sambil memijat orang. Dari jarak jauh saya mendengar orang yang dipijat teriak-teriak. Walaupun ia keras, tapi saya waktu itu senang belajar dengannya.
Pada tahun yang sama, 1983, adik saya paling kecil lahir. Setahun kemudian Ibu saya sakit. Bapak saya ke luar negeri. Mengajar Movement Art, yang ia kembangkan sendiri. Yang saya lihat sendiri ke candi-candi. Kita bulan purnama menggelar tikar di pelataran candi. Saat pagi ia meditasi, mencari gerakan sendiri, begitulah piknik keluarga kami.
Ia ke luar negeri, mendapatkan murid, dan membawa ke Solo. Kemudian konstelasi keluarga menjadi sangat berubah. Akhirnya, sebagai seorang remaja, melihat orang Eropa yang datang ke rumah, dengan gaya pakaian mereka, semuanya itu memukau saya.
Ayah saya selalu melarang saya berhubungan dengan muridnya. Ayah selalu bilang, “Ndak usah ikutan, nanti kamu jadi pengen seperti mereka, pengen ke Eropa.” Mungkin maksudnya baik, untuk proteksi. Tapi saya penasaran.
Saya terus belajar Taichi. Ketika usia 15 tahun saya beralih
MELATI memindahkan kursi ke tepi area performatif yang dilakukannya. Ia kembali ke tengah dan melanjutkan pembicaraan.
Saya ingin mengingat kembali bagaimana saya meminjam dari Laura. Bukan meminjam aerobik. Tapi saya banyak belajar untuk beradministrasi cara Italia. Hitungan sekali dan disiplin. Jadi Italia campur Jawa gitu, karena ia juga sudah lama di Jawa.
Setelah itu saya pindah ke Bandung. Seolah-olah saya menjadi orang baru lagi. Saya dari kampung pindah ke Bandung karena PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Semua teman saya dari Jakarta. Jurusan HI (Hubungan Internasional), semua pintar bahasa Inggris. Saya disebut sebagai ‘anak Jawa’.
Tapi saya menemukan ruang baru, seperti GSTF (Gelanggang Seni Teater dan Film) di kampus UNPAD Dipatiukur. Banyak bacaan, diskusi, ikut demo.
Waktu itu saya lupa diri. Saya mulai pacaran. Saya mengubah semua sketsa hidup sesuai suasana di Bandung. Saya bertemu Maritan Sirait. Ia mengajak saya ke Goethe. Di sanalah pertama sekali saya melihat film Joseph Beuys, pertama kali saya melihat dokumentasi performance “I Like America and America Like Me”.
Saya tak bisa tidur memikirkan film itu. Saya bertanya-tanya apa itu teater? Maritan menjelaskan bahwa itu ‘performance art’.
Saya ingin membawa sedikit memori tubuh saya sebelum saya pindah ke Bandung, yang saya bawa dari guru-guru saya dan saya pelajari.
MUSIK Jawa diputar.
(MELATI memainkan sebuah tarian Jawa dan silat. Sekitar 10 menit. Musik sesekali terdistorsi, karena masalah teknis pada sound sistem.)
MELATI kembali bicara:
Itu tadi potongan tari seingat saya.
Saya lupa menyebutkan. Ketika remaja, dikenalkan Laura juga, saya pergi meditasi “Sumarah”. Saya tidak tahu sejarah tentang Sumarah dan manfaatnya. Tapi bagi saya waktu itu adalah situasi yang menyenangkan. Saya diajak Laura hanya untuk ikut dulu agar kondisi lebih baik. Guru saya namanya Pak Suwondo. Saya belajar di pendopo yang banyak kursi. Kebanyakan yang belajar di sana orang biasa dari berbagai profesi.
Meditasi Sumarah ini pada waktu itu saya pahami sebagai teknik relaksasi. Setelah itu ada sesi curhat semacam konsultasi di depan umum. Itu pula yang sesungguhnya mengikat paguyuban itu.
Itu pula kemudian yang saya rindukan ketika saya pindah ke Bandung. Sedikitpun tak ada Solo-nya di Bandung. Saya juga belajar masuk Islam. Sebenarnya karena pacar saya.
Tahun 1994. Setelah putus dengan pacar yang orang Padang itu, saya bertemu dengan seorang Jerman, pertukaran mahasiswa di ITB. Karena dia, saya ingin ke Jerman. Ayah saya tidak setuju, tapi saya tetap ingin dan mengatakan bahwa akan berangkat sendiri, nggak mau pisah dengan pacar saya.
Setelah lulus UNPAD, saya berangkat ke Jerman. Sampai di Jerman, musim dingin. Saya datang dengan pakaian musim panas. Saya merokok Gudang Garam di kereta. Orang melihat saya dan menuduh saya merokok drug.
Bulan pertama saya tidak bisa bahasa Jerman. Saya tinggal di apartemen kecil, di lantai kecil. Kami hanya punya pemanas ruangan dengan kayu bekas yang ditemui di pinggir jalan.
Pada musim semi saya baru keliling kota. Saya bertemu seorang Asia. Kami berbincang menggunakan bahasa Inggris. Dia dari Jepang. Dia profesor di sekolah seni. Mengajar seni pertunjukan, tapi di sekolah seni rupa. Ia koreografer butoh, Anzu Furukawa.
Saya mengatakan bahwa saya ingin sekolah di HI di kota itu. Tapi profesor itu menawarkan untuk datang ke kelasnya hari Senin. Sejak itu saya sekolah. Saya tidak pernah berencana menjadi seniman lulus sekolah seni.
Dari dia saya banyak belajar. Belajar displin. Saya belajar 8 jam sehari. Dari jam 8 pagi sampai 6 sore. Saya dan siswa lain bergiliran membersihkan studio, termasuk menyiapkan kopi untuk beliau.
Profesor itu selalu mengajarkan bagaimana cara membuat tari. Hal paling penting dari dia adalah bagaimana membuat tari melalui riset. Yang dipelajari bukan pada bentuk, tapi pada bagaimana kita memilih pementasan kita sendiri. Memang basic.
Pengalaman pertama saya tampil di hadapan 400 orang. Saya tanpa baju, membawa butoh. Tadi saya mengira tidak apa-apa tanpa baju, karena butoh biasanya memakai bedak putih. Ternyata saya tidak, dada saya harus telanjang tanpa bedak putih. Awalnya saya merasa malu … malu sekali, tampil dengan dada telanjang. Tetapi setelah itu saya merasa mendapatkan pengalaman yang sangat berharga.
Setelah profesor itu selesai kontrak di sekolah kami, ia pindah ke Berlin. Lalu datanglah Marina Abramovich.
Untuk masuk ke kelas dia, Marina melakukan seleksi. Dari 80 menjadi 20. Waktu itu saya tidak tahu, siapa Marina itu. Dalam seleksi, saya katakan saya tidak tahu apa itu performance art. Saya menjawab pertanyaan Marina sambil menatap matanya. Dan saya mengatakan kepadanya sambil tetap menatap matanya: “Saya percaya Anda sebagai profesor saya.” Akhirnya saya lulus.
Sejak itu adalah satu episode baru dalam hidup saya. Waktu itu saya hamil 4 bulan. Ia keras pada saya untuk memilih menjadi seniman atau mengurus keluarga.
Metode yang saya pelajari adalah Cleaning The House. Metode paling keras dari Marina. Kami disuruh puasa 2 minggu dan hanya minum teh, serta tak boleh bicara. Kami berlari mengelilingi danau dengan cepat dan selanjutnya dengan sangat lambat.
MELATI menutup mata dengan kain hitam.
Kami berjalan setengah hari ke hutan dan menutup mata lalu berdiri selama berjam-jam. Pagi hari Marina membangunkan kami semua, disuruh telanjang dan berlari di atas salju. Berlari di salju membuat kaki saya sangat sakit. Sakit. Hari berikut berjalan bersama-sama kawan-kawan dan berhenti dan menutup mata. Kemudian diajak berjalan olehnya kemudian diputar tujuh kali lalu disuruh mencari jalan pulang.
Kami tidak takut karena memang ada tim pengaman. Kalau ada nyasar maka akan digiring kembali. Saya butuh waktu 3,5 jam untuk mencari jalan pulang.
Kehidupan di Jerman banyak mengubah saya. Saya menjauh dari diri saya sendiri. Menjauh dari asal, akar, kebiasaan lama.
Kemudian semakin belajar banyak sama Marina, semakin saya dikembalikan ke diri saya sendiri. Kekagetan saya pada bacaan, teori, cara melihat karya, termasuk mengetahui mengapa saya melakukan performance.
Dari Marina saya belajar bagaimana menempatkan diri di lingkungan kesenian. Di seni rupa terutama. Tanpa mengetahui performance art di seni rupa, saya pikir performance hanya jadi karya eksperimental. Hanya orang-orang yang melakukan secara bebas.
Saat itu saya belajar tubuh tanpa terpengaruh oleh teori dan fakta sejarah yang ada. Karena memang Marina ingin kita mencari jalan kita sendiri dalam berkarya. Ia tak ingin muridnya menjadi seperti dia.
Dan banyak sekali pengetahuan tentang manajemen. Seniman harus bisa memanage dirinya sendiri. Seniman kalau tidak bisa memanage diri maka itu artinya membunuh struktur sosial seniman itu sendiri.
Selain itu ada juga semangat untuk mempertahankan genre. Tema yang diangkat dalam kerja kami sangat bebas, tapi bagaimana kami bekerja, prosesnya, yang lebih penting. Kami saling menghujat dan saling mendukung. Semuanya bersamaan. Tidak hanya belajar dalam membuat karya, tetapi bagaimana di balik proses itu semua—seperti pemotretan dokumentasi perfomance yang berbeda dengan pemotretan sebagai pertunjukan. Bagaimana performance di berbagai tempat teater, galeri, outdoor, indoor, semua kita coba. Kami juga bekerja dengan mahasiswa Art History.
Kami diajak Marina tampil di tempat-tempat yang sudah established di Eropa. Pada waktu itu kebetulan juga diminta menjadi asistennya, mengurusi proyek mahasiswa, dengan Marina. Pengalaman yang luar biasa. Walau gajinya rendah sekali.
Tahun 2003 saya bertemu Boris di Koeln, seorang tokoh performance Art, aliran avant-garde, marjinal. Ia sangat keras menentang semua ruang yang established, termasuk seperti Marina. Saya bertemu dengan orang yang sangat ekstrim berkebalikan dengan Marina.
Ia melakukan performance art gaya Black Market. Melalui dia saya mengikuti festival marjinal. Semacam pertemuan yang sangat berarti. Orang datang dari mana-mana dan hanya berbicara dengan karya secara langsung. Meski mereka tidak mendiskusikan apa yang mereka lakukan.
Saya kembali ke Indonesia tahun 2005. Tahun 2007 saya meyakinkan diri untuk melakukan sesuatu di Solo dan Bali.
Saya membuat PALA (Performance Art Laboratorium Project) bersama Boris Nielsony. Pertemuan saya dengan Boris cukup unik. Tahun 2000 saya perform Butter Dance, ia datang memeluk saya, meski saya berlumuran butter. Sejak itu kami saling kontak dan bekerja sama. Ia banyak merekomendasikan saya di festival lain. Akhirnya jaringan yang selama ini saya pelihara jadi tambah besar.
Ia sangat kritis terhadap sejarah Jerman. Ia selalu mengingatkan bahwa tubuh kita tak boleh lepas dari sejarahnya. Karyanya sangat menyakitkan, karena ia selalu mencari sisi gelap Jerman, terutama pada zaman Hitler. Ia mudanya seorang punker. Ia pengagum heavy metal. Ia sarjana filsafat yang sangat canggih.
Sebenarnya kehadiran saya di sini, dengan gagasan PINJAM, mengembalikan saya kembali ke awal pembicaraan saya: Saya memilih orang tua saya sebagaimana saya memilih hidup ini. Saya meminjam hidup ini sebagaimana saya meminjam tubuh, gagasan, teknik mereka—guru-guru saya—dalam berkarya. Saya tidak pernah berani mengatakan bahwa karya saya original, asli. Itu saya pelajari selama proses saya bekerja.
Suatu peristiwa yang lucu, ketika saya melakukan Butter Dance, saya ditanya wartawan apakah saya mengambil gagasan dari lukisan Kazimir Malevich. Saya tanya kepada Marina, “siapa itu Malevich?” Marina berkata kepada publik bahwa ia mohon maaf bahwa mahasiswanya (saya) kurang pengetahuan, tidak tahu siapa Malevich. Setelah itu saya kemudian mengetahui, sebuah karya Malevich, yang seluruh bidangnya berwarna kelam, di bagian tengahnya terdapat warna putih. Ternyata inilah yang dimaksud dengan pertanyaan wartawan itu, butter (mentega) yang saya gunakan dalam performance saya itu dianggap sama dengan warna putih pada lukisan Malevich.
Itu jadi hantaman cukup keras untuk saya. Bahkan sesuatu yang tidak saya tahu, saya merasa telah meminjam mereka juga. Artinya, ada seniman menggunakan material yang sama di waktu lain yang tidak saya ketahui, pada akhirnya saya menganggap itu sebagai PINJAM.
Saya pikir konsep “meminjam” adalah bagian penting bagi saya. Karena saya ada keinginan untuk mengembalikan. Ketika meminjam kita berusaha menjaga dan berusaha mengembalikan dalam kondisi lebih baik. Demikian, saya banyak menggunakan berbagai hal-hal pribadi, tapi bagi saya berkarya sangat dekat dengan proses pribadi saya. Karya adalah bagian dari spiritual. Saya ingin mengembalikan apa yang saya PINJAM dengan keadaan lebih baik.
TANYA-JAWAB DENGAN MODERATOR FERDI FIRDAUS
Ari J. Purwawidjarna:
Bagaimana dengan pinjaman yang tidak kita sadari bahwa itu telah dpinjam? Ketika ada pihak yang mengatakan bahwa kita telah meminjam sesuatu tanpa kita sadari, apakah itu mengubah cara menempatkan diri dalam berkarya atau bagaimana?
Melati Suryodarmo:
Tentu saja. Ketika seseorang mengatakan bahwa karya saya meminjam Malevich, maka itu saya menerimanya walau saya tidak tahu. Semakin ke sini, saya semakin membutuhkan waktu banyak untuk berkarya, sehingga orang mengatakan saya terlalu konseptual. Mengapa tidak pakai kata hati saja, padahal berdasarkan kata hati saja adalah merupakan pinjaman juga.
Sobar Budiman:
Apa yang dihasilkan dari semua rangkaian peristiwa yang dikisahkan tersebut? Mungkin ada sebuah refleksi atas semua itu dan menghasilkan sesuatu. Seperti apa itu? Menemukan apa kira-kira?
Melati Suryodarmo:
Sengaja saya tidak membuat presentasi video dokumentasi. Pada akhirnya saya sekarang berkarya dengan batas-batas ruang antar seni yang cair. Saya akhirnya memang memilih untuk melakukan pembebasan-pembebasan serupa itu. Karena ada kekuatan lain untuk membuat kita berubah dengan cara apapun.
Afrizal Malna:
Apakah dalam Performance Art kamu juga bekerja prinsip-prinsip dramaturgi? Karena sikap tubuh Melati sangat berbeda ketika melakukan presentasi dan ketika selesai dan mulai menjawab pertanyaan dari hadirin.Gagasan tentang “pinjam” apakah berkaitan dengan politik identitas yang banyak dimainkan di Performance Art; atau pengalaman hidupmu yang banyak berhadapan dengan nilai-nilai esoterik, kemudian dikeluarkan kembali lewat gagasan “pinjam”?
Melati Suryodarmo:
Ketika memasuki ruang, saya meminjam tubuh-tubuh penari yang bekerja dengan saya, saya meminjam tubuh aktor yang bekerja dengan saya. Suatu “transaksi” yang senstif antar manusia. Itu hukumnya lebih sulit, karena saya meminjam gagasan, dan meminjamkan kembali, sekaligus saya pinjam tubuhnya. Bagi saya menciptakan karya, pinjam-meminjam adalah proses yang harus menyesuaikan pikiran, gagasan, energi, untuk menjadi sesuatu karya.
Performance Pinjam presentasi Performatif Melati Suryodarmo
catatan Ferdi Firdaus
Base
Who is Melati Suryodarmo?
What is performance?
Instrumen pembacaan “Eksperimentasi” bukan sebagai pengayaan dan pendalaman.
Performance yang bergeser dalam ruang. Biografi tubuh yang menjadi peta sejarah.
Komite teater ingin membawa teater ke pergaulan yang lebih membawa bacaan yang beragam.
| The Belonging of Roots |
mencari jalan untuk menemukan struktur asal.
Pointer Diskusi.
Pinjam adalah istilah yang dipakai Melati untuk serangkaian konstruksi kesenian yang seringkali direproduksi ulang sebagai jalan menemukan daya ungkap baru dalam performafitasnya.
Istilah pinjam menjadikan karya performance menjadi sebuah konstruksi yang anti mimetik.
Perjalanan performance Melati Suryodarmo dimulai di Jerman. Diuar itu persentuhan pertama Melati dengan Performance Art pertama kali ia temukan di Bandung saat mengenyam pendidikan di Unpad.
Melati mendalami butoh lewat latihan yang diberikan oleh Yoshito Ono.
Pendidikan Performance Art yang diterima Melati pertama kali di Jerman dilakukan di Universitas Braunschweig, lewat pengajar Anzu Furukawa dan berganti ke Marina Abramovich.
Dibawah pengajaran Marina Abramovich, Melati mengikuti pelatihan Cleaning The House, dimana pelatihan tersebut bertujuan untuk mempertajam fungsi tubuh dan narasi biografi tubuh terhadap performance.
Dasar pengetahuan seni pertunjukan Melati berbasis pada Tari Tradisional dan Taichi yang diperolehnya saat kecil hingga remaja.