Selasa, 25 Juni 2024, Aula PDS HB Jassin di Perpustakaan Jakarta dipenuhi oleh para aktivis seni dan pegiat hak asasi manusia dalam acara peluncuran laporan “Situasi Kebebasan Berkesenian 2023: Persimpangan Politik Penuh Ketakutan”. Acara yang diselenggarakan oleh Koalisi Seni bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, UNESCO, dan Remotivi ini menghadirkan berbagai narasumber dari berbagai latar belakang untuk membahas kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia.

Acara dimulai dengan sambutan dari Aristofani Fahmi, Direktur Koalisi Seni. Ia menegaskan bahwa laporan tahunan ini telah menjadi agenda rutin sejak 2020, dimulai dari studi pustaka tentang kebebasan berkesenian di Indonesia. “Judul yang diambil merupakan hasil kerja dari tim advokasi Koalisi Seni selama setahun terakhir dengan harapan apa yang dilakukan dapat membangun ekosistem seni yang lebih baik dan dapat menyentuh hingga ke daerah-daerah,” ujar Aristofani.

Felencia Hutabarat dari Dewan Kesenian Jakarta, yang juga menjadi moderator diskusi, menambahkan bahwa sejak pandemi dan masa pemilu, banyak pelarangan terhadap kebebasan berkesenian yang dianggap kritis dan mengganggu penguasa. Menurut dia, Koalisi Seni telah melakukan pemantauan kebebasan berkesenian sejak 2020 dan laporannya dapat diakses di website resmi mereka.

Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, memaparkan bahwa sejak 2020, Koalisi Seni telah memulai riset kecil mengenai kebebasan berkesenian melalui pemantauan media. “Pada waktu itu, belum ada organisasi yang khusus melakukan pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian,” ungkap Ratri. Ia menjelaskan bahwa kasus-kasus yang terjadi biasanya dimasukkan dalam kerangka kebebasan berekspresi, padahal kebebasan berkesenian memiliki arti yang lebih luas seperti hak atas remunerasi, jaminan sosial dan ekonomi, hak untuk berpindah tempat, berkumpul, dan mengakses kehidupan kebudayaan.

Ratri juga menyoroti bahwa selama satu tahun terakhir, ada delapan laporan yang masuk melalui website, namun datanya tidak bersedia dipublikasikan karena risiko yang tinggi. “Tahun ini, negara menjadi aktor pelanggar terbanyak,” tegas Ratri. Data dari laporan menunjukkan bahwa 37 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian terjadi, dengan 27 di antaranya berkaitan dengan musik, sebagian besar terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Pelanggaran tersebut termasuk hak berkarya tanpa sensor dan intimidasi, dengan unit pelaku total mencapai 49.

Anis Hidayah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) menegaskan bahwa hak kebebasan berekspresi tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari 12 hak dasar yang dijamin oleh negara. “Mungkin pelaku seni tidak menyadari bahwa pekerjaannya tidak masuk dalam pekerjaan hak asasi sehingga jauh dari pantauan,” kata Anis. Ia menambahkan bahwa laporan ini sebaiknya diaudiensikan ke Komnas HAM untuk menjadi bagian dari laporan tahunan mereka dan untuk memastikan tindak lanjut.

Bhena Geerushtia dari Remotivi mengkritik RUU Penyiaran yang baru karena dinilai akan membatasi praktik kebebasan berekspresi dan kreativitas di ruang digital. “RUU Penyiaran ini dibangun atas dasar ketakutan terhadap stabilitas nasional dan upaya pengkotak-kotakan budaya,” jelas Bhena. Menurut dia, perluasan definisi penyiaran dalam RUU ini akan membuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berperan seperti Lembaga Sensor Film (LSF), yang akan mengancam kebebasan pers dan kebebasan berkesenian.

Daryl Neng Wirakartakusumah, penyunting QPR Indonesia untuk Konvensi UNESCO 2005, menambahkan bahwa Indonesia wajib melaporkan situasi kebebasan berkesenian berdasarkan konvensi UNESCO. “Mekanisme pelaporan akan berubah dari yang biasanya empat tahunan menjadi tiga tahunan,” ujarnya. Daryl juga mengusulkan adanya MuNas (Musyawarah Nasional) lintas sektor terkait hal ini untuk mengembangkan kebijakan yang informatif berbasis data.

Daniel Awigra dari Human Rights Working Group menekankan pentingnya kebebasan berekspresi sebagai jantung dari demokrasi. “Aktor-aktor yang mencoba mengurangi kebebasan berekspresi adalah pelaku pelanggaran,” tegasnya. Ia berharap laporan ini bisa diaudiensikan ke KOMNAS HAM untuk menjadi bagian dari laporan tahunan mereka dan memastikan adanya tindak lanjut.

Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang interaktif, di mana para peserta mengajukan pertanyaan dan memberikan masukan konstruktif. Irene, seorang desainer grafis dari SEJUK, menanyakan tentang pemetaan lebih lanjut terkait pelanggaran kebebasan kesenian. Ratri menjawab bahwa Koalisi Seni akan melakukan jemput bola dari hasil analisis media monitoring dan workshop bersama seniman untuk mitigasi risiko.

Acara diskusi ditutup dengan sesi foto bersama, mengabadikan momen kolaborasi dan komitmen bersama untuk memajukan kebebasan berkesenian di Indonesia. Semangat dan antusiasme yang terlihat dalam sesi foto ini mencerminkan harapan besar untuk masa depan kebebasan berkesenian yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia.

Dengan terselenggaranya acara ini, Koalisi Seni dan Dewan Kesenian Jakarta berharap bahwa laporan ini dapat menjadi fondasi bagi langkah-langkah konkret selanjutnya dalam menjaga dan mengembangkan kebebasan berkesenian di Indonesia. Melalui kolaborasi, inovasi, dan dukungan berkelanjutan, ekosistem seni Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang, menjadikan seni sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat.

***

Penulis: Andika Firmansyah

Editor: Fadjriah Nurdiarsih