‘Mata Perempuan’ sesungguhnya bukan sebuah kelompok baru berkiprah di dunia fotografi. Menurut Firman Ichsan, anggota Komite Seni Rupa, dosen fotografi IKJ dan sekaligus penggagas dari kelompok ini mengatakan bahwa perlunya perempuan yang memiliki perhatian dan bakat di dunia fotografi dikembangkan, karena di Indonesia, dunia bidik-membidik ini masih didominasi kaum adam.

Maka ketika pameran ‘Mata Perempuan, Seharusnya’ dibuka hari Sabtu, 26 Mei yang lalu, terasa berbeda nuansanya dengan beberapa tahun sebelumnya. Berbagai kalangan tua-muda hadir dan sesak memenuhi ruang Galeri Cipta II untuk mengapresiasi ketiga belas fotografer muda perempuan. Jangan harap adanya sebuah tema yang digarap dan kemudian diterjemahkan dalam karya, namun lebih kepada berbagai ekspresi dari dalam yang menguak dari mata dan hati mereka. Barangkali untuk membedakannya, lebih kepada ekspresi yang berat dan dalam, serta lebih ringan namun sarat makna.

Tema yang cukup berat dan mengocok emosi dapat dilihat dari karya-karya yang dibuat oleh Christina Phan, menguak ekspresi dirinya saat harus mengalami kepahitan dalam perpisahan. Kehidupan yang notabene teratur dan ‘sama’ seorang ibu, menjadi gundahan Evelyn Pritt yang tak mungkin dijalaninya. Lestari, pemimpin bekas Gerwani rupanya mengundang Ruth Hesti Utami untuk menilik sosok perempuan tinggal di panti jompo yang masih cerdas dan tajam. Ungkapan bahasa lewat corat-moret di dinding Kusfa, putra fotografer Mila Fadliana mengajarkan kita bahwa keterbatasan anaknya justru menjadi pembelajaran baginya dan bukan sebaliknya. Kekerasa rumah tangga memang tak pernah ‘kering’ untuk disebarluaskan kepada kita semua, menjadi pilihan Trika J. Simanjuntak. Terapi diri dalam ungkapan visual 12 bulan yang dilakukan Stefanny Imelda mempersembahkan karya yang berbeda. Ibarat kita di alam mimpi yang terkadang begitu absurd dan surealis.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, sisi ekspresi-visualisi yang lebih ringan juga terlihat dari beberapa karya. Ayu Isbandi ingin memperlihatkan tokoh perempuan yang menjadi bagian dari sejarah bangsa. Lintas lorong Melawai yang sarat karaoke dan bar untuk ekspat Jepang-Korea, rupanya mengilik sanubari Malahayati. Sindrom kegilaaan perempuan yang terkadang membuat lelaki bingung tujuh keliling akibat mendadak berubah, diungkapkan lewat benda-benda di sekelilingnya dengan warna yang dipoles begitu rupa oleh Keke Tumbuan. Bahkan apel pun jadi bidikannya karena ide diet apel yang dilakukan temannya. Maria Lasakajaya bermain dengan ‘Senyum’ dalam nuansa keabu-abuan memberi ratusan arti pada saat urusan tampilan tubuh jadi tumpuan. Widya S. Amrin memilih mengungkapkan perempuan bak dua sisi mata uang yang bipolar. Apapun dapat dilakukan perempuan tetapi tetap… perasa dan sensitif. Pentas panggung menjadi pilihan Maya Sofian dan Vitry Yuliany. Maya memilih tari Balet sebagai ungkapan jiwa dengan warna-warna cantik dan lembut, sementara Vitry mengungkapkan kehebohan goyang dangdut yang menggelegar dalam berbagai konser.

Diantara para tamu yang memadati, beberapa tokoh datang ke pameran ini. Diantaranya seperti Debra Yatim, Frans Tumbuan dan Davy Linggar. Sebagai fotografer fashion papan atas, Davy Linggar mengatakan pameran ini menarik, terutama ia menyukai karya personal Chritina Phan.”Akan lebih menarik lagi bila foto-foto yang dipamerkan bermain di ukuran, seperti yang terjadi sekarang ini di pameran-pameran di dunia,” begitu pendapatnya.

Rasanya pameran tidak akan lengkap bila tidak diikuti dengan diskusi. Dengan waktu yang terpisah yaitu pada hari Rabu, 30 Mei, diskusi yang mengangkat isu tentang etika foto di media dan pengalaman para fotografer perempuan di dunia fotografi menjadi perdebatan yang cukup seru. Diantara mereka sempat mengalami ‘pelecehan’ ketika harus mengikuti grup band rock selama beberapa bulan. Para personilnya sempat memintanya untuk dibidik tanpa busana dan omongan yang nyerempet-nyerempet yang membuat merah telinga. Meski salah satu media membantahnya, tetapi tetap fakta yang dialami mereka memang belum ramah: foto jurnalistik masih menjadi dunia kaum lelaki.

Diskusi menghadirkan Erik Prasetya (juga kurator pada pameran ini) dan Firman Ichsan sebagai pembicara, dengan moderator Lisabona Rahman. Delapan dari tiga belas fotografer yang berpameran hadir dan mengungkapkan pengalamannya.

Bagaimanapun lensa kamera sebenarnya tak bergender, manusianya lah yang membuatnya! (Vashti Trisawati Abhidana/dkj)

download file Katalog Pameran Foto “Mata Perempuan, Seharusnya”

(cek di folder c:/dimas/download) folder