Ada banyak kota yang dikenal dan terkenal karena seni, aktivitas seninya, senimannya, gedung keseniannya, dan festival seninya. Seni modern atau seni tradisi tak ada bedanya.

Misalnya saja di Venesia, Italia, ada Venice Biennale yang sudah berlangsung sejak 1893. Di Basel, Swiss, ada Art Bassel yang sudah terselenggara sejak 1970.

Di Venesia juga terselenggara salah satu dari lima festival film terbesar di dunia, yaitu Venice International Film Festival, yang cikal-bakalnya sudah ada sejak 1932, sebagai bagian dan pengembangan dari Venice Biennale.

Apa yang bisa kita pelajari dari beberapa contoh di atas? Kami melihat tiga hal, yaitu konsistensi, keberlanjutan, dan pengembangan.

Festival adalah pesta panen. Kalau tidak ada panen, maka tak ada yang jadi alasan untuk berpesta. Kalau panennya buruk, pesta harus diganti dengan instropeksi.

Akan tetapi, panen hanya akan baik kalau kita punya perencanaan dari menyiapkan lahan, memilih benih, mengolah tanah, merawat tanaman, hingga akhirnya menuai hasil itu sendiri.

Sekali lagi festival adalah pesta panen. Festival, apa pun di kota kita, dengan Jakarta sebagai labelnya, harus didudukkan dengan kesadaran itu. Bahwa kerja menyiapkan festival harus didahului dengan kerja menanam dari jauh hari dan terus-menerus.

Tentu saja Jakarta punya potensi besar untuk itu. Kami ikut dalam rangkaian awal diskusi kelompok terpumpun (focussed group discussion/ FGD) tentang bagaimana mendudukkan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara.

Jakarta harus menjadi kota global. Sejak awal, dengan sifat keterbukaan dan multikulturalismenya, Jakarta memiliki potensi untuk itu. Termasuk di antaranya potensi seni budaya yang menjadi salah satu parameternya.

Mari kita bayangkan di Jakarta ada satu festival film international yang ajeg dan jadi perhatian sineas dunia atau festival sastra yang ditunggu oleh para sastrawan dunia.

Mari kita bayangkan Festival Teater Jakarta (FTJ) yang telah berlangsung setengah abad berkembang lebih jauh menjadi festival teater global yang ditunggu-tunggu.

Semuanya sangat mungkin. Sekali lagi karena potensinya ada. Dan semua festival itu disiapkan bukan sekedar untuk melengkapi syarat menjadi kota global itu. Ini harus menjadi puncak pesta panen.

Selama menuju ke pesta itu, senimannya ikut menanam dan ikut memanen kesejahteraan. Tidak hanya itu, seniman juga turut menyumbangkan benih-benih terbaik hasil pergulatannya dari kerja keseniannya. Warganya pun bahagia karena terus-menerus mendapatkan suguhan karya dan peristiwa seni yang memperkaya jiwa.

Kerja ini tak bisa dikerjakan oleh hanya orang seorang. Dulu ada Gubernur Ali Sadikin yang sadar benar bahwa wajah buruk Jakarta harus dibenahi tak hanya dengan pembangunan fisik. Ia membangun ekosistem berkesenian, mendirikan lembaga kesenian dan kebudayaan, serta membangun tempat untuk pertunjukan kesenian.

Ali Sadikin sadar bahwa ia tak paham bagaimana memoles kota dengan kerja-kerja seni. Namun demikian, ia mengajak semua orang untuk mulai menanam kerja seni-budaya. Ia percayakan pekerjaan itu kepada para seniman. Ia dukung dengan regulasi yang kuat dan terutama keinginan untuk “menanam” dan “merawat” tanaman seni-budaya itu.

Ali Sadikin mendirikan Taman Ismail Marzuki, kemudian mendorong kelahiran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Lembaga Kesenian Betawi (LKB). Ia selenggarakan pemilihan Abang dan None Jakarta. Ia minta Bagong Kussudiarjo menggubah tari Yapong menjadi tari khas Jakarta. Itulah yang terus-menerus kita rayakan hari ini. Ikon Jakarta ditampilkan. Hasil kebudayaan lokal ditarik menjadi akhirnya yang disebut sebagai “wajah dan ciri khas” Jakarta.

Ali Sadikin tentu saja tidak bisa dan pernah bisa bekerja sendiri, tapi kehendaknya untuk menggerakkan dan menghidupkan seni dan budaya, memberi warna yang kuat pada wajah Jakarta adalah teladan. Wajah dan kehidupan seni budaya di Jakarta hari ini adalah hasil dari kerja besar dan terus-menerus itu.

DKJ, sebagai bagian dari kerja bersama itu, dan mungkin pada beberapa hal mengambil tanggung-jawab besar, menyadari bahwa kami juga harus mereposisi dan merevitalisasi peran.

Untuk itulah, pada tahun ini DKJ mengambil tema besar Reposisi: Seni, Warga, Kota. Secara garis besar, tujuannya ada tiga:

  1. Mendorong Jakarta menjadi etalase kebudayaan terdepan di Indonesia dan berperan aktif dalam pemajuan peradaban dunia.
  2. Melahirkan produk-produk budaya yang berkualitas dan berkesinambungan.
  3. Bersama pemangku kepentingan seni dan budaya Jakarta menciptakan masyarakat yang bahagia dan sejahtera.

Bersama tema itu, kami membayangkan seni semakin dekat kepada warga. Tak hanya itu, kota sebagai tempat berpijaknya kesenian pun bisa diakses oleh semua warga. Ini mencakup hak akses warga terhadap seni dan budaya sebagai hak asasi manusia serta upaya untuk melibatkan masyarakat dalam menentukan arah seni dan budaya.

Agar kerja besar tak tersendat, apalagi terhenti, tentu diperlukan kolaborasi tidak hanya dari warga, tetapi juga para pemangku kepentingan. Hari ini kami bekerja dengan harapan besar itu. Semoga Jakarta menjadi kota seni dan budaya seperti yang diidam-idamkan.

Penulis: DKJ
Foto/ilustrasi: Andi Maulana