Ismail Marzuki adalah seorang komponis besar Indonesia yang aktif sejak tahun 1931 hingga wafatnya di tahun 1958. Namanya diabadikan sebagai pusat kesenian Jakarta, yakni Taman Ismail Marzuki.

Ia lahir di Kwitang, 11 Mei 1914. Nama aslinya adalah Ismail dan ayahnya Marzuki, sehingga nama lengkapnya menjadi Ismail bin Marzuki. Akan tetapi, panggilan akrabnya adalah Maing, pelesetan dari Mail (Ismail).

Karya-karya fenomenal Bang Maing, seperti “Halo-Halo Bandung”, “Gugur Bunga”, dan “Indonesia Pusaka” adalah lagu-lagu bersemangat patriotisme, cinta bangsa, dan Tanah Air. Sekilas kita akan mengira bahwa Ismail Marzuki adalah pencipta spesialis lagu-lagu perjuangan, yang memang di masa itu sedang tren.

Bahkan, ada kisah bahwa Ismail sempat berhenti dari RRI di era Perang Revolusi 1946-1949, ketika stasiun radio tersebut dikuasai kembali oleh Belanda. Setelah perang berakhir, Ismail kemudian banyak menulis lagu-lagu bernuansa cinta dan romantisme, seperti “Rindu Lukisan”, “Sabda Alamdan “Juwita Malam”.

Engkau gemilang malam cemerlang, bagaikan bintang timur sedang mengembang. Tak jemu-jemu mata memandang, Aku namakan dikau Juwita Malam” sepenggal lirik yang mencoba menggambarkan cantiknya sosok kekasih idaman dalam bahasa puitis penuh kiasan dan sarat makna.

Di sisi lain, Indonesia Pusaka” bisa menjadi semacam anthem atau lagu kebangsaan bagi para warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Kecintaan pada negara, bangsa dan Tanah Air, diungkapkan dalam penggalan lirik “Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala s’lalu dipuja-puja bangsa. Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan Bunda. Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata..” Siapa pun yang mendengar atau menyanyikan lagu ini tentu akan larut dalam suasana haru dan rindu Tanah Air.

Adapun “Halo-Halo Bandung” mengisahkan perjuangan tentara Indonesia di Bandung yang dengan sengaja membakar sebagian kota agar tidak jatuh ke tangan Belanda.

.. sekarang telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali!” Dengan irama mars yang menggebu-gebu, lagu ini menjadi penyemangat para pejuang mempertahankan kemerdekaan RI yang baru saja diproklamirkan, tetapi ingin direbut kembali oleh Belanda.

Ada yang menarik dari perjalanan musik Ismail Marzuki. Selain karya musik bernada romantis dan patriotik ini, ternyata dia juga sempat menulis sebuah karya komikal, satir dan parodi, yaitu lagu “Hari Lebaran” yang dirilis tahun 1954.

Melalui lagu itu, dengan kocaknya ia seakan menggambarkan kondisi sosial masa itu yang timpang antara pejabat dan rakyatnya. Hari Lebaran adalah hari kemenangan bagi setiap ummat Islam yang telah menyelesaikan puasa di bulan Ramadan, dirayakan dengan bertemu keluarga, makan ketupat, pakai baju baru, pelesiran (bertamasya) dan lain sebagainya. Namun, di tengah keriaan itu dia menyempilkan sentilan. Bang Maing menyoroti tingkah orang-orang kaya dan berada, termasuk pejabat, yang hidup serba ada, sementara rakyat harus bersusah payah.

Minal aidin wal faidzin. Maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin rakyatnya makmur terjamin..” dan “.. Maafkan lahir dan batin, ‘lang taon hidup prihatin. Kondangan boleh kurangin, Korupsi jangan kerjain” Tidak diketahui apakah kemudian lirik lagu ini terkena “sensor” di kemudian hari. Namun, pada beberapa versi baru yang beredar, bagian ini tidak ada.

Dalam kesempatan bahagia menyambut Idulfitri 1445 H, Dewan Kesenian Jakarta merasa perlu mengangkat tema ini. Selain karena nama besar Ismail Marzuki yang telah menjadi “rumah” kegiatan seni dan budaya dan juga markas kerja DKJ, lirik lagu ini sekaligus mengingatkan bahwa kita berada dalam situasi di mana saat ini sedang terjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap para pemangku kebijakan.

Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H, mohon maaf lahir dan batin.

 

Djati Rekso Wibowo
Komite Musik DKJ