Obituari

Foto: Eva Tobing

Jika kita menyebut Abduh Azis sebagai budayawan, maka ia menyempal dari pemahaman tradisional tentang seorang “budayawan”. Ia bukan tipe “budayawan” yang berkutat dengan kata dan makna untuk memproduksi wacana tentang kebudayaan atau kesenian melalui tulisan di media massa. Ia lebih banyak bekerja untuk kesenian dan kebudayaan Indonesia dengan jalur aktivisme dan advokasi.

Abduh masuk kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) pada 1986. Di situlah ia menjalin persahabatan dengan para mahasiswa aktivis yang kritis pada Orde Baru, a.l. Hilmar Farid. Hingga 1990-an, suasana kampus UI memang bagai persemaian berbagai jenis gerakan mahasiswa. Pengalaman sejak masa kampus itu memberi corak aktivisme yang kuat pada Abduh saat terjun ke bidang kesenian. Corak berupa sikap kritis terhadap sistem, dan kecenderungan bergerak untuk membuat perubahan sosial dan politik di Indonesia.

Abduh lulus pada 1992, dengan skripsi berjudul “Cerita di Balik Layar Perak: Industri Film Hindia Belanda tahun 1926-1945”. Sejak itu, tampak bahwa ia akan menapak di jalur seni film. Tepatnya, ia menekuni jalur produksi film. Selepas kuliah, ia mengajar dan bekerja di rumah produksi GEM, membuat iklan dan film-film dokumenter. Pada 1996, ia dipercaya Garin Nugroho sebagai desainer produksi dan manajer produksi film TV Angin Rumput Savana.

Pada 1997, Abduh jadi manajer produksi Daun di Atas Bantal. Ini menandai sebuah kerjasama intens dengan Garin hingga ikut jadi pengurus Yayasan SET pada awal 2000-an, dan mengukuhkan posisi Abduh sebagai “orang film” dengan visi “film adalah produk budaya”. Selepas SET, ia mendirikan rumah produksi Cangkir Kopi, yang banyak memproduksi film dokumenter maupun film cerita di bioskop dengan tema sosial-politik yang tajam.

Langkah penting Abduh dalam perfilman Indonesia adalah pilihannya untuk juga berjejaring di dunia film komersial. Pada 1998, misalnya, ia menjadi produser seri TV Ali Topan Anak Jalanan yang dibintangi Ari Sihasale. Jejaringnya di dunia film meluas baik ke wilayah komunitas maupun ke wilayah industri. Demikian juga portofolio karyanya sebagai produser dan semacamnya semakin beragam, walau memang core karya-karyanya lebih banyak didominasi karya dokumenter.

Dari tangan dinginnya sebagai produser, lahir salah satu film feature terbaik Indonesia, Impian Kemarau/The Rainmaker (2004), dan sekaligus membuka jalan bagi seorang sutradara unik: Ravi Bharvani. Ia juga banyak bekerjasama dengan Nia Dinata untuk film-film dokumenter bertema perempuan seperti Pertaruhan/At Stake (2008). Pada 2014, ia memproduksi Sebelum Pagi Terulang Kembali dengan sutradara Lasja F. Susatyo, sebuah kerjasama dengan KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) untuk mengampanyekan gerakan anti-korupsi. Sebagai tontonan, film ini pun dipujikan di ajang Festival Film Indonesia (FFI). Inilah salah satu corak khusus Abduh sebagai produser film: ia percaya bahwa pesan sosial, capaian tematik, dan capaian estetik bisa padu dalam film yang ia produksi. Ketika terlibat produksi Banda: The Dark Forgotten Trail (2017) bersama produser Sheila Timothy dan sutradara Jay Subiyakto, Abduh sering ngomong pada kawan-kawannya, “Gue pingin bikin film dokumenter yang nggak biasa saja!”

Eksperimentasi visual dalam Banda memang lantas menghasilkan sebuah penilaian baur –ada yang memuji, ada yang menganggap itu sebuah kegagalan dalam dokumenter. Tapi, film itu toh berhasil menyatakan diri sebagai sebuah percobaan estetika yang menarik untuk sebuah tema sejarah yang penting: memahami bagaimana rempah turut membentuk nasionalisme Indonesia. Hal ini konsisten dengan kiprah Abduh sebagai pembuat film: ketika film adalah sebuah produk budaya, ia bisa diberdayakan jadi media pendidikan untuk perubahan sosial-politik.

Seperti kata Lisa Bona Rahman, aktivis film dan ahli restorasi dan pengarsipan film serta manajer Kineforum yang pertama di akun Instagramnya: “Jarang ada orang seperti Mas Abduh, yang meninjau film atau seni bukan hanya dari sisi produksi, tapi dari soal kebijakan.” Ini sebuah kesadaran penting: film sebagai karya seni, tak bisa abai sifatnya sebagai bagian dari sebuah ekosistem kesenian. Itulah persoalan budaya mutakhir yang ditelusuri aktivisme Abduh. Lanjut Lisa, “Dari Mas Abduh saya bisa lihat sendiri bagaimana seni bukan cuma perlu seniman, tapi perlu pendidikan, hukum, duit, politik, ruang dan jaringan yang mesti dibangun selangkah demi selangkah.”

Seiring mapannya posisi Abduh sebagai produser, ia risau melihat ekosistem perfilman Indonesia. Bersama Riri Riza, Mira Lesmana, dan banyak sekali pembuat film angkatan 2000-an, Abduh jadi salah satu penggerak penting Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang menggugat penyelenggaraan FFI dan juga menuntut pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tuntutan itu gagal, tapi terjadi konsolidasi di kalangan angkatan muda perfilman Indonesia itu.

Salah satu buah konsolidasi itu adalah kesertaan mereka mengubah proses penyelenggaraan FFI hingga sekarang agar lebih memenuhi kebutuhan ekosistem perfilman yang lebih sehat. Corak aktivisme dengan membangun langkah-langkah advokasi demikian tetap dilanjutkan Abduh ketika ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dua periode. Ia memang masuk ke Komite Film di Dewan, tapi ia muncul jadi pengurus. Pada periode 2006-2009 jadi direktur program DKJ. Pada periode 2009-2012, ia menjadi Sekjen DKJ. Artinya, ia harus menangani masalah kesenian yang lebih luas: seni rupa, teater, tari, musik, sastra, selain film.

Di titik ini, posisi Abduh sebagai budayawan-aktivis telah terbentuk. Kedekatannya dengan Hilmar Farid dan kawan-kawan aktivis sejak masa kampusnya dulu pun semakin mengkristal dalam membangun gerakan kultural yang lebih terstruktur. Pada 2013, setelah rapat kerja pembentukan koalisis Seni setahun sebelumnya, Abduh turut mendirikan Koalisi Seni Indonesia dan terpilih sebagai ketua pengurusnya. Hingga Mei 2019, Koalisi Seni beranggotakan seniman, komunitas, serta organisasi seni berjumlah 225 anggota dari 19 propinsi di seluruh Indonesia. Lewat Koalisi Seni inilah, Abduh semakin intens dalam mengadvokasi masalah kebudayaan bersama Hilmar.

Pada akhir 2015, Abduh dan Hilmar bersama Koalisi Seni secara aktif turut memfasilitasi Kongres Kesenian III di Bandung. Dalam kongres yang merupakan prakarsa Direktorat Kesenian Kemendikbud itu, Koalisi Seni (termasuk DKJ) memfasilitasi gagasan-gagasan programatik yang dirumuskan dari usulan seluruh peserta kongres dari semua propinsi bagi pengembangan kebudayaan Indonesia. Seusai kongres itu, Hilmar dilantik sebagai Direktur Jenderal Direktorat Kebudayaan Kemendikbud.

Kemitraan Abduh dengan Koalisi Seni bekerjasama dengan Kemendikbud menemukan momentum penting ketika mendampingi proses perumusan RUU Kebudayaan yang telah berulangkali diajukan di DPR. Setelah dua tahun yang intensif, lahirlah sebuah undang-undang kebudayaan yang progresif di Indonesia. UU no. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini terbilang progresif, karena telah menggeser paradigma Negara sebagai pengatur kebudayaan dengan asumsi menangkal “ancaman” di bidang kebudayaan terhadap masyarakat Indonesia, menjadi paradigma Negara sebagai falisitator untuk memajukan kebudayaan.

Inilah sebuah lakon kekaryaan yang khas dari Abduh. Ia berkarir di bidang film, tapi tak pernah melepaskan watak aktivismenya. Ia mumpuni dalam produksi film sebagai karya seni, tapi selalu dipandu kepercayaan bahwa film adalah sebuah wahana untuk perubahan sosial. Dengan bekal seperti itulah, banyak yang menyambut gembira Abduh saat diangkat menjadi Direktur Utama PFN (Perusahaan Film Negara) pada 2016. BUMN yang pernah besar itu, saat mendarat jadi amanat bagi Abduh, praktis telah lama vakum dari produksi. Abduh nyaris seakan mewarisi puing.

Setelah Abduh menjabat jadi dirut, PFN menggeliat lagi memproduksi dua film komersial. Pertama, film seri animasi 3D Si Unyil dan film bioskop Kuambil Lagi Hatiku (2019) bekerjasama dengan Wahana Kreator yang didirikan oleh salah satu penulis skenario dan sutradara muda Salman Aristo. Di samping terobosan tersebut, Abduh juga mengarahkan PFN agar aktif dalam langkah perbaikan ekosistem perfilman nasional. Boleh dibilang, hingga akhir hayat, Abduh konsisten bekerja secara struktural untuk kebudayaan Indonesia.

Dua hari menjelang wafatnya, tulisan Abduh dimuat di harian Kompas. Judulnya, Kebudayaan Sebagai Dasar Pembangunan Manusia Indonesia (Kompas, 28 Juni 2019). Tulisan ini adalah butir-butir pemikiran tentang makna strategis UU no. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan serta langkah-langkah lanjutan yang diperlukan. “Pembangunan Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh prasyaratnya, yaitu pemajuan kebudayaan,” tulis Abduh. Tulisan itu menjabar secara ringkas, langkah lanjutan yang diperlukan bagi pemajuan kebudayaan.

Apa yang dituliskan Abduh itu sesungguhnya sebuah kerja besar. Abduh wafat di tengah momentum kerja besar itu sedang bergulir. Banyak sekali yang merasa kaget, tak percaya, dan tiba-tiba merasakan sebuah kekosongan besar ketika Abduh pergi pada 30 Juni 2019, Sabtu malam, karena serangan jantung. Goenawan Mohamad menulis di akun Facebook-nya: “Tiap orang yang pergi, meninggal, tak tergantikan. Tapi Abduh meninggal dan saya merasa ada kekosongan yang besar, sangat besar.”

Goenawan bercerita tentang salah satu kerja bersama Abduh dan Hilmar, juga Linda Hoemar dari Koalisi Seni yang telah lama mengadvokasi kebijakan semacam National Endowment for The Arts. “Bersama Abduh, kerja sangat produktif dan menyenangkan,” ujar Goenawan. Mungkin itu yang dirasakan banyak kawan kerjanya juga, saat mengiring kepergian Abduh di TPU Tanjung Barat, Jakarta Selatan, pada Senin siang, 1 Juli 2019. Semacam rasa kehilangan kawan yang bisa membuat kerja-kerja kebudayaan yang ia sentuh menjadi produktif dan menyenangkan.

Abduh wafat, meninggalkan istrinya, Heni Wiradimaja, yang telah jadi mitra luarbiasa pemberi kekuatan bagi Abduh hingga akhir usia. Juga ketiga anak mereka: Erik Agra, Vipassati Varra, dan Karaniya Poeta. **

 

(Hikmat Darmawan, Ketua Komite Film 2016-2019)