Pada Rabu, 20 Maret 2024, Koalisi Seni dengan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Filmku Maju, Filmku Terbelenggu”. Hadir sebagai narasumber sutradara dan penulis skenario film sekaligus anggota dari Koalisi Seni, Riri Riza; Adrian Jonathan, pendiri dari Cinema Poetica dan peneliti Arts Equator. Selain itu, diskusi ini dipandu oleh moderator Sugar Nadia, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta dan juga Direktur Festival Film Madani; dan, hadir sebagai pemantik Ratri Ninditya, yang merupakan Koordinator Penelitian Koalisi Seni.

Kegiatan tersebut diselenggarakan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki dengan jumlah peserta sekitar 60 orang, yaitu mahasiswa dari beberapa kampus, seperti: Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, Mercubuana, Universitas Gajah Mada, Universitas Padjadjaran, dan dari Universitas Muhammadiyah Nasional, juga media dan peneliti. Selain mengikuti diskusi, peserta juga mendapatkan buku Seri Wacana terbitan Dewan Kesenian Jakarta secara cuma-cuma.

Selain diikuti secara luring, diskusi “Filmku Maju, Filmku Terbelenggu” juga disiarkan secara live streaming melalui kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta. Para peserta sangat antusias dalam mengikuti diskusi tersebut. Hal itu terlihat dari banyaknya peserta yang melontarkan pertanyaan kepada narasumber.

Dalam diskusi yang berdurasi sekitar 150 menit ini sejak pukul 15.00 WIB, narasumber berbicara tentang kebebasan dalam berkesenian khususnya di bidang seni film yang menghadapi berbagai tantangan dan ancaman. Menurut data yang dibeberkan oleh Ratri Ninditya dari Koalisi Seni, sejak tahun 2010–2023 total terjadi 40 kasus pelanggaran dalam berkesenian dan film merupakan sektor ke-3 yang paling banyak mengalami pelanggaran. Sedangkan, menurut data dari Arts Equator yang disajikan oleh Adrian Jonathan berdasarkan hasil penelitiannya sejak tahun 2010 – 2022, terdapat 128 kasus sensor seni. Film menjadi sektor nomor 1 yang paling banyak disensor dengan angka 27 kasus sensor. Pada film, biasanya genre-genre tertentu yang selalu mendapat sensor dari pihak pemerintah ataupun pihak sipil, seperti genre dokumenter yang mengangkat isu politik; tema LGBTIQ; konflik agraria; dan tema yang dinilai melecehkan atau menistakan nilai-nilai agama.

Lain hal yang disampaikan oleh Riri Riza, bahwa pedoman dalam sensor film itu tidak pernah berubah sejak tahun 50-an sampai dengan hari ini. Riri Riza juga menyampaikan film Indonesia sebenarnya punya modal sejarah yang bisa dicontoh dan karakteristik yang sangat kuat dalam mencerminkan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya selera penonton juga yang menjadi sebuah tekanan dalam kebebasan berekspresi. Menurut Riri, yang terjadi sebenarnya ketakutan-ketakutan dari banyak produser, penulis, pembuat film yang ingin mendistribusikan filmnya terhadap rambu-rambu yang bisa membuat film mereka tertahan di lembaga sensor film atau dijauhi penonton.

Dari hasil pemaparan narasumber dapat diambil kesimpulan bahwa setiap pegiat film, baik produser, penulis dan sutradara harus tetap berkarya dengan melihat beberapa aspek agar hasil karyanya aman dan tidak disensor, meskipun batasan-batasan itu mungkin tidak begitu jelas.

Diskusi “Filmku Maju, Filmku Terbelenggu” diakhiri dengan foto bersama dan membagikan buku kepada para peserta yang telah hadir. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara untuk menyambut hari film nasional pada tanggal 30 Maret 2024 nanti. Sehingga Dewan Kesenian Jakarta merasa perlu mendukung kegiatan-kegiatan yang memiliki kesamaan visi dan misi berkesenian, khususnya di Jakarta.

Dika