Oleh: Dwi Ramadhona

Coba kita berpikir apa reaksi kita saat melihat  di sungai yang di pinggirannya berjejer jamban-jamban MCK atau saat menyebrangi jembatan lalu di bawah ada benda aneh kuning yang mengapung-apung, pasti kebanyakan orang memaki-maki, mengumpat atau berceletuk, berkomentar yang aneh-aneh dan orang-orang memang cenderung seperti itu, lebih sering melontarkan kritik yang tidak berguna dari pada menawarkan solusi.  Bisa jadi yang dikomentari adalah perilaku orang-orang yang tinggal di sana, sungainya atau benda asingnya. Saya jadi kasihan, bukan sama orang yang memperoleh rezeki melihat penampakan tadi, tapi kasihan sama sungainya. Andai sungainya hidup, dia akan juga bersedih. Sungai kan ciptaan Tuhan juga dan dia tidak punya salah apa-apa lalu tiba-tiba dikutuk dan dimaki-maki. Disini saya punya solusi bagaimana sungai ini berharga di mata kita karena limbah yang ada di sungai, khususnya limbah rumah tangga memang tidak bisa dibasmi. Kalau orang-orang tidak boleh buang di sungai, lantas dimana lagi?

Solusinya saya ambil dari pengalaman saya kos di Padang. Tempat kos-nya sebetulnya lumayan bagus dan di belakangnya ada aliran sungai kecil, tapi jadi tidak terlihat bagus lagi semenjak semakin banyak orang yang buang limbah rumah tangga di sungai, ditambah lagi aliran air dekat kos-an saya tersumbat, sehingga airnya terkadang menggenang disana sini hingga di belakang pekarangan. Saya coba untuk membersihkan tapi nihil dan jijik juga, akhirnya saya sabar dan cuek saja. Seminggu setelahnya, rumput yang ada di pekarangan saya tumbuh subur dan genangan airnya berkurang. Seminggu seterusnya saya melihat tanaman di dalam pot tumbuh subur sampai akarnya menjalar kemana-mana. Ternyata tanaman saya subur karena asupan genangan limbah tadi, yang ternyata banyak mengandung unsur hara sehingga aroma limbahnya pun semakin berkurang.

Melihat fenomena ini saya jadi mendapat ide bagaimana kalau permasalahan limbah yang saya jelaskan di awal tadi diantisipasi dengan cara ini, barangkali salah satunya kita bisa buat taman hidroponik di sepanjang pinggir sungai. Jadi, ada simbiosis mutualisme: kita senang, tanamannya pun juga senang. Pemandangan jadi asri, polusinya berkurang dan yang penting, orang-orang yang lewat tidak ngomel-ngomel lagi, sehingga kebiasaan mengutuk yang tadinya mungkin 70 persen bisa berkurang menjadi 50 persen. Fokus saya dalam tulisan ini sebenarnya bukan mengarah pada bagaimana kita mengatasi polusi, tapi bagaimana kita mensiasati kerusakan yang sudah ada dan tidak kita perparah dengan kekejaman lisan kita karena menurut saya sikap ini sama dengan menghina karunia Tuhan.

Catatan:
Mungkin solusi tragedi kos-kosan saya masih belum tepat mengingat kandungan limbah di kota-kota besar – apalagi kandungan limbah sungai Jakarta – yang lebih beragam dan lebih banyak kandungan zat kimianya. Mungkin harus dicocokkan dulu sungai tercemar di daerah mana yang tepat dengan tragedi kos-kosan saya.

Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing