Oleh: Sartika Dian Nuraini

Berpikir tentang masa depan teater, mau tidak mau kita harus berpikir lintas generasi. Pertama, kita mungkin telah menyadari bahwa apa yang akan terjadi pada 30 tahun mendatang adalah apa yang dipegang oleh anak-anak yang mungkin duduk bosan di bangku sekolah dasar. Kedua, harus ada semacam pendidikan ‘kepenontonan’ di Jakarta. Dan ini menurut saya, harus terjadi sejak kecil. Tesisnya adalah anak-anak sebagai kunci alternatif membuka sebuah ‘dunia baru’ dalam teater kita.

Sebagai otokritik di Indonesia, anak-anak tidak masuk dalam peta teater. Kehadiran teater anak cenderung jadi semacam ‘kegiatan waktu senggang’. Umumnya anak-anak bertemu di sanggar-sanggar seni, kegiatan ekstrakurikuler sekolah atau mengikuti kursus teater pada sutradara-sutradara teater yang menyediakan fasilitas kursus. Karya-karya mereka mungkin sebatas showcase di festival—dengan sistem perlombaan/penjurian—yang setelahnya, belum ditemukan alternatif baru untuk grup teater anak bisa menyapa penonton dengan cakupan yang lebih lebar dan mencipta pasar. Di titik ini, masih ada tugas besar dan ruang kosong yang perlu digarap: perbaikan infrastruktur dan penciptaan infrastruktur baru yang belum pernah ada, platform teater anak yang secara independen mengkurasi tema-tema yang terus bergerak di seputar anak, dan pemasaran teater anak-anak untuk pedagogi. Mirisnya, ini belum banyak disadari oleh pegiat teater kita karena mereka menganggap ini tidak penting.

Kita mungkin bisa melihat kembali demografi Jakarta. Jumlah anak dengan usia 0-14 tahun di DKI Jakarta pada tahun 2014 sebanyak 2.576.899. Dengan usia 10-14 tertinggi mencapai sekitar 868.104 remaja. Sementara jumlah penduduk dengan usia anak mahasiswa (19-24 tahun) berkisar 713.641 (jumlah yang jauh lebih rendah jika dibandingkan jumlah anak remaja di DKI Jakarta). Anak-anak remaja yang jumlahnya lebih banyak ini menjadi sebuah tawaran tersendiri baik dalam hal regenerasi maupun ‘pasar’ teater. Jika dalam lima tahun kedepan kita bisa bergerak dalam teater anak dan mendapatkan tak kurang dari 5% saja dari total seluruh anak remaja di DKI Jakarta, dalam 30 tahun mendatang, kita tak lagi berpikir tentang publik teater, regenerasi dan pasar. Bahkan dalam hal tertentu, kita bisa membayangkan yang lebih dari itu: teater bisa masuk dalam medan produksi yang sama sekali tidak kita bayangkan sebelumnya. Disini pedagogi teater dapat terwujud dengan sendirinya.

Jakarta telah menjadi kota kembar (sister city) Berlin sudah sejak 1993. Sudah sepantasnya, Jakarta memberi terobosan kebijakan kesenian yang mirip dilakukan oleh Berlin. Untuk itu, beberapa contoh yang terjadi di Berlin dapat hadirkan sebagai cerminan atas pertanyaan mengapa teater kita belum sampai menjawab persoalan-persoalan ekosistemik dalam kesenian (atau bahkan ekosistem tersebut belum terbentuk). Di Berlin, teater anak tidak hanya tumbuh di lembaga dan sekolah. Banyaknya grup teater anak merupakan kerja-kerja teater yang terjadi bukan hanya di sekolah-sekolah, melainkan karena munculnya gedung pertunjukan (blackbox) yang merata di setiap distrik dan pusat-pusat kesenian yang diinisiasi oleh pegiat teater. Blackbox tersebut memiliki semacam kebebasan menentukan ‘tema kuratorial’ atau ‘isu’ yang sesuai dengan perhatian dan keahlian pendirinya. Semakin beragam keahlian dan multi-disiplin pendirinya, semakin banyak pula perhatian atau tema kuratorial yang ditawarkan. Kita tentu dengan mudah bisa mengatakan munculnya blackbox ini tidak terjadi di Indonesia. Seluruh kegiatan berpusat pada satu atau dua lembaga tertentu yang memegang kuasa kesenian dan pemegang kebijakan. Tidak ada pula misalkan, Dewan Kesenian Anak, atau Forum Kesenian untuk anak, atau lembaga penting yang bisa menegosiasikan kegiatan berkesenian dari dan untuk anak-anak.

Perlu diketahui, teater anak disini tidak diartikan sempit sebagai teater yang semua aktornya adalah anak-anak, atau yang melulu disutradarai anak-anak, melainkan teater yang memang dipertunjukkan untuk penonton anak-anak. Seluruh perkerja yang terlibat bisa jadi dari kalangan orang tua, guru, atau orang-orang yang memiliki perhatian pada anak-anak. Teater anak bisa juga hadir sebagai media yang diproduksi atas inisiasi anak-anak. Keduanya pemahaman ini benar karena teater anak pada dasarnya menjadi bagian dari sistem pendidikan.

Sebuah blackbox yang dikelola oleh praktisi-praktisi multidisiplin akan memberikan sebuah tawaran yang lain pada masyarakat apabila ditopang oleh beberapa ahli yang bekerja dan memberi perhatian pada anak-anak. Ia tak cukup dikelola oleh disiplin tertentu dalam teater. Blackbox yang dikelola oleh beberapa orang dari berbagai disiplin akan memperluas tema kuratorialnya. Seorang dari teater yang kemudian bekerjasama dengan psikolog, misalkan, bisa memberikan warna lain terhadap sajian tematik kuratorialnya.

Gambaran singkat tentang kuratorial untuk Teater Anak di Berlin:

GRIPS Theater Berlin Moabit

GRIPS adalah sebuah blackbox teater di Berlin yang menemukan ‘emancipatory teater’ untuk anak-anak. Menawarkan teater-teater kritik sosial dalam kehidupan anak-anak dengan range usia yang disesuaikan. Pertunjukan-pertunjukan yang dihadirkan didesain untuk memberi keberanian pada anak-anak untuk mengenal dunia di sekitarnya, mengenal skala besar atau kecil, yang terus-menerus berubah.

Penontonnya terbuka untuk semua kategori usia. Tanpa membedakan asal-usul, generasi, kelas dan budaya masing-masing penonton. Mereka memberi klaim ‘anti-elite’ dan ‘anti-pompous’ pada blackbox ini. Sebuah hal yang mutlak untuk teater modern dan teater anak yang politis. “Children Awareness” menjadi jargon utama blackbox ini. Seluruh stafnya berasal dari beberapa disiplin: Ahli pendidikan Anak, Psikolog Anak, Musisi untuk Anak. Mereka semua aktif bekerjasama dengan kindergarten (sekolah dasar), Perkumpulan guru dan wali murid.

Konten pertunjukan mengajarkan nilai-nilai modernitas: kemandirian, kedisiplinan, kerja keras, blokade terhadap konsumerisme, bahaya rokok dan narkoba. Nilai-nilai sosial-demokratis yang melatari Berlin menjadi isu sentral untuk GRIPS teater.

Blackbox ini menawarkan pertunjukan, performing art, pedagogi untuk regenerasi dan edukasi penonton teater anak-anak, dan kamp-kamp teater yang memberi berbagai lokakarya, kegiatan libur musim panas.

Lichterfelde Theater Berlin

Berbeda dari GRIPS Theater yang memiliki misi intelektual terhadap anak, teater ini lebih memberikan nuansa hiburan dan memberi lokakarya-lokakarya yang menyenangkan. Ada juga program-program khusus untuk ulang tahun, kelulusan/kenaikan kelas, dan acara-acara penting buat anak-anak.

Lichterfelde teater menawarkan nilai-nilai konservatif pada konten-kontennya yang terbatas pada wilayah pedagogi saja. Tiketnya dijual dan dipasarkan dengan cara online. Memang sebuah blackbox dengan misi lokalitas. Sepertinya belum menjadi sebuah platform untuk pertumbuhan ekologi teater anak.

ATZE Berlin

ATZE merupakan pusat kecil untuk kehidupan teater musikal di Berlin. Kuratorial programnya berfokus pada semaian kreatifitas, imajinasi, dan impian anak. Nilai-nilai yang diajarkan adalah banyak tentang arti perdamaian, anti-perang, tradisi kritis yang membangun, dan memberi rangsangan terhadap anak agar mengetahui minat dan bakatnya sejak kecil. ATZE adalah sebuah panggung-studio dengan kapasitas penonton sebanyak 150 orang. Sudah memiliki penonton subscriber dan tercatat merupakan studio teater yang memiliki penonton terbanyak untuk kategorinya. Walaupun banyak menampilkan repertoar dan teater musikal, ATZE menarik karena tema yang dihadirkan adalah tema-tema besar dalam sejarah kota, isu politik dan sosial yang melatari pertumbuhan antar generasi. Seiring waktu, pertumbuhannya semakin bagus karena mulai mempertunjukkan tema-tema besar yang terjadi pada generasi Z (gadget generation).

Yang menarik dari teater ini adalah keterlibatannya dalam “TUSCH” dan “TUKI”, yang mengurusi tentang pendidikan teater untuk anak-anak. Ini adalah semacam forum besar di Berlin yang mengumpulkan semua pegiat teater, psikolog, dan lembaga perlindungan HAM terhadap anak dengan konsentrasi pada isu-isu perkembangan anak dan pendidikan untuk orang tua.

Kota Kembar Jakarta selain Berlin adalah Rotterdam (Belanda). Kita bisa menengok beberapa website untuk memberikan gambaran tentang pedagogi teater yang terjadi di Rotterdam.

Cultuur Barbaartjes.

Theater Decibel Huis

Theaternetwerk Rotterdam (website jaringan teater di Rotterdam)

Kindertheater Plineke Rotterdam