oleh Akbar Rafsanjani

Terma kamp di Aceh identik dengan pos militer yang tersebar hampir di seluruh wilayah. Dibawa ke kamp militer saat konflik, berarti berhadapan dengan pilihan hidup atau mati. Demiliterisasi adalah gagasan utama dari pameran ini. Ide ini dilatari oleh pengalaman pribadi saya menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor dari Sigli ke Banda Aceh. Di Indrapuri saya berpapasan dengan sebuah truk TNI, spontan saya menutup mata dan menghindari agar tidak mendengar suaranya. Sebelumnya, saya tidak pernah mengakui trauma-trauma terhadap unsur militer.

Di lain waktu saya menyuruh seorang teman untuk menulis cerita tentang sutradara yang direpresi oleh militer saat konflik bersenjata berlangsung. Dia menolak dan berujar, “Saya tidak ingin lagi ditendang dan diinjak pakai sepatu PDL”. Trauma-trauma terhadap unsur militer ini ada dalam pikiran banyak warga Aceh.

Setelah penandatanganan MoU Helsinki, keberadaan komando teritorial (koter) sebagai basis kekuatan angkatan darat (AD) di wilayah bawah merasuk secara birokratis dalam kehidupan masyarakat sipil. Hasil studi yang dilakukan Institute for Research and Empowerment (2001) menunjukkan bahwa bentuk militerisasi yang paling nampak di tingkat kecamatan adalah keterlibatan militer dan polisi dalam struktur kekuasaan pemerintah daerah kecamatan sebagai Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) yang melibatkan tiga elemen pimpinan di tingkat kecamatan (Tripika), yaitu Camat, Kapolsek dan Danramil. Keberadaan Tripika sebagai warisan pemerintah Orde Baru ini masih dominan dalam mengatur roda pemerintahan di tingkat kecamatan.

Percakapan-percakapan selanjutnya berlangsung antara saya dengan Idrus bin Harun  di warung kopi berbeda di Banda Aceh selama hampir setahun lebih. Idrus kerap mengolok-olok dengan santun dalam karya-karyanya setiap akronim yang digunakan oleh militer sebagai caranya untuk memulihkan kekerasan harfiah. Dalam beberapa kesempatan dia bercerita tentang latar belakang penamaan Bivak Emperom, tempat berkumpul seniman Komunitas Kanot Bu. Pasukan Belanda mendirikan banyak bivak di Aceh ketika perang Aceh. Pemulihan makna terhadap terma-terma yang sudah termiliterisasi menjadi proyek panjang dari pameran ini.  Disini kemudian pameran Kamp dimulai.

Bivak Emperom merupakan pameran pertama di Banda Aceh sebagai pusat, dimana seterusnya perang Aceh dimulai dan terus menerus. Selanjutnya akan dibangun Kamp Biawak di bantaran Krueng Aceh yang diteruskan dengan pendirian kamp-kamp selanjutnya di kabupaten-kabupaten di Aceh. Penamaan kamp dengan nama binatang buas ini meniru penamaan yang dilakukan oleh militer untuk batalion atau kompi mereka. Kamp dijadikan sebagai warung kopi aktif sebagai bagian dari perebutan ruang-ruang sipil dengan memamerkan karya-karya kriya berbentuk senjata milik militer yang dibuat dari nuga-nuga (dahan-ranting kayu) yang merupakan antitesa dari unsur logam yang menjadi bahan dasar pembuatan senjata api.Proses demiliterisasi memang tidak singkat, oleh karena itu proyek Kamp ini merupakan proses panjang. 

Pengunjung kamp bisa bersosialisasi juga bermain-main serta berswafoto dengan senjata api yang terbuat dari nuga-nuga tersebut. Kedekatan warga dengan berbagai bentuk unsur militer ini memulihkan keberjarakan mereka dengan benda-benda yang membuat mereka trauma dan menjadikannya sesuatu yang liyan.

 


Akbar Rafsanjani
Setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas,  “saya menjadi orang asing sepenuhnya. Saya tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena berniat masuk pesantren. Tetapi niat tersebut tidak pernah terwujud. Saya hanya belajar di balai pengajian di kampung tempat saya tinggal. Dari sana saya merasa seperti seorang eksil, tidak berani menyebut diri sebagai santri karena tidak mondok, pun tidak sebagai mahasiswa karena tidak pernah ngampus.” Rasa ingin tahu Akbar dipupuk oleh almarhum bapaknya–seorang supir angkot Sigli-Garot, yang kerap bertanya apa kepanjangan dari PDI, Golkar, PPP, setiap melewati bendera-bendera partai itu di jalan. Bapaknya juga yang memberitahu kepanjangan dari NBA dan USA, dua akronim yang sering muncul di Dunia Dalam Berita, Televisi Republik Indonesia. Bapak juga bertanya (sebelum memberikan jawaban), kenapa Israel dan Palestina berkonflik terhadap jalur Gaza? Setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas, Akbar rutin ke perpustakaan daerah di Sigli-Aceh, juga perpustakaan Training Center yang dibangun oleh NGO dalam program bantuan korban Tsunami. Ketertarikannya terhadap seni, justru hadir saat belajar sejarah agama Kristen. Akbar  kagum dengan nama-nama besar seniman Renaisans. Dari sinilah, ia memulai petualangannya hingga ke zaman kontemporer. Akbar menemukan bakatnya sebagai sutradara film dokumenter saat berpetualang itu. Akbar juga mendalami kritik film dan kemudian ditawarkan posisi sebagai film programmer untuk Aceh Film Festival.