MANDIRI, ADUH DAN KEGAGALAN PERTUMBUHAN INDIVIDU *)
_______
Oleh : Halim HD.

Saya ingin berusaha mengorek-orek serpihan ingatan saya, dari suatu rentang waktu di mana saya menyaksikan dan mendapatkan pengalaman menonton teater. Pengalaman saya menonton teater inilah yang mungkin bisa saya jadikan suatu babakan dari penyerapan saya tentang teater yang mengantarkan saya kepada pemahaman – suatu dugaan pikiran yang sering saya bongkar di sana sini sesuai dengan perkembangan waktu dan pengalaman lainnya yang saling mengisi – tentang posisi dan kondisi manusia. Teater mengajak saya untuk selalu bertanya-tanya kepada diri sendiri yang berbenturan dan sekaligus juga saling menyapa antara saya dengan lingkungan sosial di mana saya merasakan getaran kehidupan, dari yang remeh temeh sampai dengan hal-hal yang membuat saya memasuki berbagai impian, dan tak jarang saya memasuki sejenis kondisi sonnambulisme: batas ambang antara adakah sesuatu benar- benar ada dan ketiadaan.

Lenong dengan serial lakon si Jampang dan Bang Rebo dan Ubruk dengan lakon-lakon kerakyatan yang penuh dengan humor, serta Wayang Golek yang selalu dimainkan oleh paman-kakek saya dari Cikande, walaupun tak sepenuhnya saya mengerti tapi selalu ada sosok yang mengisi kepala saya dan saya yakini itu ada di sekitar saya, selalu saya anggap sebagai kenyataan yang ada di depan saya, menjadi milik diri saya, tanpa perlu saya bertanya-tanya. Semuanya nampak selalu tersedia, untuk kembali disaksikan dan menjadi bagian dari obrolan sehari-hari, sejenis reproduksi ingatan, di kampung kelahiran di Serang-Banten.

Akhir tahun 1960-an, sekitar 1968-1969 ketika saya memasuki Yogyakarta, sampai awal tahun 1970-an sampai dengan pertengahan 1970-an menjadi babakan waktu bagi saya, suatu pengalaman menonton yang tak mudah bagi saya. Jenis tontonan yang namanya ‘drama’ atau ‘teater’ yang saya saksikan selalu membuat saya diajak ke dalam ruang pertanyaan, membuat saya tidak jenak untuk menikmati waktu menjelang tidur. Satu-satunya cara saya untuk menikmati waktu istirahat saya setelah menonton ‘drama’ atau ‘teater’, adalah dengan cara bahwa apa yang saya saksikan hanyalah suatu ‘peristiwa panggung’, dan bukan kenyataan yang perlu saya jadikan sebagai bagian dari kehidupan pribadi saya: di sana, di atas panggung hanyalah ‘orang-orangan’ yang menirukan orang lain yang seolah-olah mirip, seolah-olah benar-benar terjadi.

Tapi, nampaknya tak mudah pula bagi saya untuk melupakan atau memupus yang seolah-olah itu. Dia selalu menggoda pikiran saya: ada ruang tersedia untuk dipertanyakan. Mungkin hal itulah yang membuat saya, kenapa selalu ingin menonton ‘teater’ atau ‘drama’ yang sering setelah bertahun-tahun setelah saya saksikan saya baru bisa – sedikit banyak –

Dalam konteks ingatan seperti itulah, salah satu pengalaman menonton yang membuat saya memasuki ruang pertanyaan yang kian rumit namun selalu merangsang perasaan-pikiran saya, di mana saya merasa berada di sana, memasuki arus persoalan, merasa simpati-empati dan dibarengi dengan kejengkelan serta rasa marah dan sekaligus tak berdaya, rasanya seperti sia-sia, namun juga terbuka kepada berbagai kemungkinan yang masih entah……ADUH.

Kalau tidak keliru antara tahun 1973-74 Teater Mandiri memanggungkan lakon ADUH di bioskop Yudonegaran, sebelah Timur Alun Alun Utara, simpang tiga ke arah jalan Sawojajar dan Wijilan, Yogyakarta. Lakon itu digelar bukan di atas panggung bioskop di depan layar seperti biasanya kebanyakan grup-grup teater Yogyakarta jika mementaskan garapan mereka. ADUH di panggungkan di bagian dalam lobi, di balik pintu utama masuk ke dalam bioskop, dan sebagian kursi di balik-putar arahnya, dan sebagian kursi di singkirkan, penonton menyaksikan dengan cara lesehan.

Menyaksikan ADUH garapan sutradara Putu Wijaya dengan Teater Mandiri di bioskop Yudonegaran sesungguhnya bukan yang pertama kali. Melalui Teater Gama dengan sutradara Suharyoso, saya beberapa kali menyaksikan lakon itu juga. Dan setelah itu, selama beberapa tahun, sekitar 3-4 tahun Teater Gama memanggungkan lakon ADUH – sekitar 12-13 kali – dengan gonta ganti sutradara dan di panggungkan di beberapa kota, selain di Yogyakarta (berulang kali, sekitar 7-8 kali pentas di kampus UGM), juga Semarang (Kampus Undip), Jakarta (Kampus Fakultas Psikologi UI, Salemba), Malang (Kampus Unibraw).

Dalam garapan Teater Gama, di mana saya selalu diajak untuk menyaksikan latihan mereka, dan selalu ada diskusi setelah proses latihan itu, saya hanya bisa mendengarkan para pemain merasakan pengalaman melalui lakon, yang saya anggap, lakon ini penuh dengan tanda tanya: tak ada si ‘A’ atau si ‘B’ atau si ‘C’. Yang ada ‘orang-orang’, tapi bukan ‘orang-orangan’, seperti ketika saya menyaksikan ‘Waiting for Godot’ yang digarap oleh Bambang Darto dan Widodo Asmara, atau oleh Genthong HSA, juga bukan seperti ‘Prometheus’ garapan Azwar AN bersama Teater Alam di sport hall Kridosono, Kotabaru, Yogyakarta. Juga bukan seperti ‘Mastodon Dan Burung Condor’ Bengkel Teater garapan Rendra yang penuh sesak dijejali oleh publik selama beberapa malam di sport hall Kridosono pada Oktober 1973, setelah hiruk pikuk media massa meliput perdebatan larangan pementasan di Kampus UGM, dan setelah pertemuan antara Rendra dengan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro di Gedung Agung Yogyakarta.

Gambaran pengalaman itu – di mana hiruk pikuk berbagai hal ‘di luar’ teater yang saya anggap sering membingungkan, tapi juga kian menarik, makin membuka diri saya kepada ruang pertanyaan yang saling tumpang tindih – mengantarkan saya ke dalam pengalaman baru tentang posisi dan kondisi teater dalam kaitannya dengan, apa sebenarnya jenis tontonan ini, dan bagaimana saya mesti memahaminya. Kenapa tontonan ini makin menciptakan tanda tanya yang tak pernah saya – jangankan tuntas – bisa menjawabnya. Dan untuk sekedar menghibur diri, bahwa saya menggantungkan semuanya ke dalam ruang ingatan, sambil sesekali saya mengoreknya kembali. Di antara itu, rasanya saya mesti bersyukur bahwa saya punya cukup sikap untuk mendengarkan berbagai opini dari berbagai lingkungan penonton, teman-teman kongko saya, yang selalu saya dekati dan di sana saya mendapatkan opini dan ulasan mereka, dan saya hanya bisa mencatatnya, sebagaimana orang yang tertarik untuk menuliskannya ke dalam bundel buku harian saya.

Yang sering menjadi tanda tanya dalam diri saya, kenapa pula di dalam ADUH justeru saya menemukan ‘orang-orang’ walau dan bahkan tak bernama sekalipun. Mungkin saya kira, setelah sekian tahun ingatan menonton lakon itu, membawa saya kepada kondisi yang paling dekat dengan lingkungan kehidupan sekitar saya dengan berbagai kondisinya. Saya juga masih tertarik, sampai sekarang dengan perasaan tak jemu, dengan ‘Waiting for Godot’ namun rasa-rasanya di dalam banyak garapan teman-teman yang saya kenal, saya tak menemukan ‘seseorang’. Yang saya dengar hanya lontaran pikiran, seperti juga ‘Prometheus’. Keduanya, lakon itu sangat monumental, seperti batu granit legam megah menjulang yang ditatah dengan kepiawaian seorang pematung dan di sana inskripsi tentang impian dan kehidupan ditorehkan, dan saya hanya bisa memandang, karena tak semuanya bisa saya pahami.

Dalam konteks ADUH dengan beberapa lakon yang saya coba bandingkan di dalam pengalaman saya menonton teater, rasa-rasanya di dalam ADUH saya seperti menemukan diri saya yang agak mirip, atau saya memirip-miripkan diri dalam rasa sakit yang tak saya ketahui sumbernya, seperti juga kebingungan dan kekacaubalauan, situasi dan kondisi chaos yang tak seorangpun bisa menjawabnya. Saya seperti menemukan sesuatu yang – di antara lupa dan ingat – tentang situasi dan kondisi kampung ketika peristiwa 1965-67, di mana begitu banyak orang bertanya-tanya, mengalami kebingungan, sementara tetangga ada yang tak mampu melakukan apapun juga, di sisi lainnya begitu banyak orang tergesa-gesa, lalu hilang, dan muncul yang lain dengan cara yang lain pula, dalam kerumunan dan gerombolan yang gemuruh dengan kesibukan yang sulit saya ketahui arahnya, dan di sana sepertinya saya tahu seseorang, tapi sulit untuk dikenali kembali. Di dalam situasi dan kondisi seperti itu, nama rasanya begitu berarti dan sekaligus tak bermakna.

Lintasan ingatan di kampung dengan berbagai peristiwa menjejali saya pada saat menyaksikan dan mengingat dan merasakan lakon ADUH, yang juga sekaligus mengantarkan saya ke dalam berbagai peristiwa yang banyak saya temui di dalam kehidupan perkotaaan: saya baru saja belum selesai untuk mengingat dan memahami apa makna ‘gotong royong’ yang begitu menderu di dalam kehidupan sosial politik di jaman Bung karno, dan di antara upaya memahami kata itu, saya diserimpung oleh gelombang lain dari bahasa dan kata-kata yang membuat saya begitu cemas, takut dan tak berdaya: sejumlah tudingan atas nama suatu ideologi atau politik di jaman pos-1965 membuat saya jadi tak jenak untuk bicara, bukan hanya penuh keraguan. Tapi juga selalu takut keliru, salah. Saya hanya bisa berbisik-bisik, dan tak jarang masuk ke dalam kecurigaan yang terus mengepung, dan saya tak cukup mampu untuk menghindarinya. Dan upaya untuk menghibur diri dari sejumlah tekanan itu di antara rasa cemas dan takut dan sekaligus rasa ingin tahu, maka menjadi ‘penonton’ berbagai peristiwa, dan diam- diam menyimpannya.

Dan ADUH membongkar, atau lebih tepatnya membuat lubang, celah dari ruang ingatan saya dari ruang yang sebenarnya saya coba untuk tak mengutak-utiknya dan membiarkannya di dalam ruang kediaman: mengajak saya untuk kembali bertanya-tanya dan mempertanyakan, kenapa saya di sini dan apa yang saya saksikan dan kerjakan.

Salah satu pekerjaan, sejenis kegiatan yang paling menarik adalah menyaksikan, dan ikut merasakan. Itulah hantaran ADUH ke dalam pengalaman saya ke dalam dunia teater dan hal-hal sekitarnya. Dari ADUH saya bisa memandang bagaimana tarik menarik antara ‘realisme’ yang begitu banyak lorong yang diciptakannya yang membuat saya makin paham tentang kesenian yang memiliki posisi dan fungsi, yang oleh sebagian besar orang menyatakannya, bahwa melalui ‘realisme’-lah kehidupan bisa dipahami. Dan melalui ‘realisme’-lah yang dipenuhi oleh beban ideologi dan sarat oleh pesan politik penonton diajak, dan atau dipaksa, untuk menerima realitas yang lain. Gempita ‘realisme’ – yang ‘sosialis’ maupun yang ‘liberal’ – yang berusaha untuk digunakan atau ditunggangi menjadi saya makin mendapatkan pemahaman, bahwa teater bukan lagi sekedar peristiwa panggung semata-mata. Dia memang menjadi pelatuk bagi upaya untuk melihat dan membongkar sisi lain dari dinding yang setiap hari kita bentuk bersama arus kehidupan.

Menyaksikan ADUH, bukankah itu ‘realisme’ – minimal bagi saya – tentang situasi dan kondisi di mana setiap orang kehilangan diri, mengalami kebingungan dan kekacaubalauan serta kehilangan arah, dan sementara rasa sakit yang tak kita ketahui sumbernya secara terus menerus mengidapi diri kita, sejenis labirin peristiwa, di mana setiap orang tak lagi tahu dan mengenal satu dengan lainnya. Yang ada, situasi dan kondisi. Tak ada ‘siapa’ dengan stempel ‘nama’, sebagaimana lakon-lakon yang selalu memperjelas posisi seseorang dengan karakter yang mesti eksis berkaitan dengan ‘nama’ sebagai pribadi di dalam peristiwa panggung.

Tapi, yang menarik, ADUH sependek pengetahuan saya sebagai penyaksi teater, anehnya mengajak – di antara ke-anonim-an dan situasi-kondisi – justeru secara visioner menantang kepada siapa saja untuk menegaskan dirinya sendiri, di antara berbagai upaya untuk ‘seolah-olah mirip’, sejenis reproduksi dari cara untuk menciptakan sesuatu dari bukan hanya di atas panggung, tapi juga sekaligus mengajak ke dalam ‘realisme’ yang paling riil di dalam kehidupan.
Dalam konteks inilah, bagi saya, ADUH menjadi sejenis ‘teater pembebasan’ dalam genre yang lain, yang mengajak para pekerja teater untuk membebaskan dirinya dari berbagai kungkungan tipologi akting yang ‘seolah-olah’ di dalam permainan panggung. Di dalam ADUH, kesan saya, ‘siapa saja’ bisa menjadi ‘siapa saja’ yang lain, yang menjadi inti dari hadirnya seseorang bukan hanya sebagai aktor tapi sekaligus juga sosok sebagai pribadi di dalam maupun di luar panggung. Tantangan dari ADUH adalah bahwa situasi-kondisi yang disorongkan ke hadapan kita mengingatkan kita kepada lingkungan yang paling akrab: begitu berjejal masalah dan kita tak mampu, dan di sana pula kita dihadapkan kepada realitas yang paling dekat dengan diri kita dalam kaitannya dengan konteks sosial politik dan kehidupan sehari-hari kita: sebagai pribadi dan anggota masyarakat kita lebih cenderung untuk menyatakan diri kita, mengandalkan kepada bahasa atau lebih tepatnya terlalu banyak omong, dan tak ada tindakan yang paling intim dan riil sebagai manusia di mana tubuh dan tindakannya sebagai bahasa yang paling bisa kita rasakan oleh sesame kita. Di antara hiruk pikuk semburan omongan orang perorang, ADUH mengingatkan kita kepada kehilangan diri, dan sekaligus mengajak kita untuk mencarinya: tubuh yang bebas dari beban tipologi dan topologi sistem, tubuh sebagai ruang utopis. Masalahnya tentu saja ada: bagaimana melalui kerumunan massal, gerombolan tak bernama, yang sesungguhnya secara jujur mesti kita akui sebagai milik kita yang paling dekat dari kebudayaan gotong royong dan penyeragaman oleh rejim dan ditunggangi oleh produk yang menjadi lambang keberhasilan ideologi pembangunan. ADUH bagi saya, menyatakan sesuatu secara kasat mata, segamblang-gamblangnya tentang realitas pengelabuan terhadap kondisi manusia, manipulasi dari berbagai sistem dan rejim apapun juga.

Marilah sekarang kita mencoba mengingat-ingat isu dan tema tentang ‘tubuh’ yang selama satu setengah dekade terakhir ini, misalnya, menjadi begitu getol dibicarakan oleh kaum pekerja seni panggung, khususnya teater dan tari, seperti sejenis kekenesan kaum OKB perkotaan yang memasuki gaya hidup dengan menyatakan kehadiran dirinya melalui ‘tubuh’ yang telah dipenuhi dan dijejali oleh berbagai produk dari sistem industri, atas nama ‘kehadiran personal’. Adakah sesungguhnya ‘tubuh’ milik penari, pekerja teater, aktor? Benarkah dan adakah sesungguhnya tubuh milik seseorang, ataukah ‘tubuh’ – dan ini sangat mungkin – menjadi ruang bagi sampiran berbagai produk, atas nama kemajuan jaman, dan atas nama kepemilikan sejumlah asesoris sebagai tanda bagi keberhasilan nilai tambah ekonomis.

‘Tubuh’ yang dibentuk dan diciptakan oleh ideologi pembangunan, apapun rejim yang melaksanakannya, dan dengan semangat moderenisme yang tanpa akar, moderenisme cangkokan – modernization without modernism – menjadikan ‘tubuh’ bukan menjadi milik seseorang. Jikapun kata ‘milik’ dan kata ‘seseorang’, sangat mungkin menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan birokrasi dan sistem ideologi, yang telah ikut memanipuasi melalui rekayasa atas nama ‘demokrasi’. Padahal, di dalam ADUH-lah ‘demokrasi itu secara gamblang di mana setiap orang dengan penuh ‘pertimbangan’, dengan penuh ‘kesadaran’ meminta pendapat dan memikirkan masalah yang dihadapainya, dan dengan sepenuh-penuhnya setiap orang menyatakan diri, dan di sana kita menyaksikan sebuah republik mini yang sangat akrab dengan diri kita, the bla bla show. ADUH menjadi reality show yang paling realis yang kita miliki, dengan ketajaman yang menghunjam ke dalam human condition diri kita, bukan sekedar memotret kenyataan. Maka menyaksikan ADUH adalah merasakan rasa sakit siapa saja dalam kondisi peralihan dari suatu masyarakat tradisi ke arah moderenisasi, yang juga tak menjawab permasalahan kehadiran manusia seperti yang kita harapkan.

Menyaksikan ADUH pada sisi lainnya, juga membuat saya dihantarkan dan dihadapkan ke dalam perspektif tentang ruang teater. Sebagai penyaksi teater dengan kerangka berpikir yang sudah distempeli oleh tipologi tentang ruang, di mana ‘realisme’ menjadi ukuran bagi penilaian suatu tontonan, maka ADUH menggeser perspektif saya: panggung pementasan ADUH di bioskop Yudonegaran – dan juga berbagai pementasan Teater Gama di beberapa kota dengan lakon yang sama – membantu saya untuk melepaskan diri dari tipologi panggung teater, sejenis pembebasan ruang, dan sekaligus menciptakan ruang teater yang lain. Jenis ruang teater yang diciptakan oleh ADUH memilikim kebersahajaan yang memukau saya, seperti keterpukauan saya kepada penjual obat di jalanan yang mampu dengan celoteh dan cipoanya menciptakan ruang dan peristiwa keseharian yang demikian dekat dan mudah dirasakan. Bukan suatu keanehan, rasanya, jika ADUH mengajak saya kepada ingatan tentang Lenong dan Ubruk yang selalu saya saksikan di kampung kelahiran saya, suatu tontonan yang bisa main di mana saja.

Dua sisi utama dari ADUH saya temukan, melalui tema yang mengingatkan saya tentang kerumunan manusia beserta kekacaubalauannya dan tanpa identitas yang jelas namun ada dan begitu dekat dengan ingatan pengalaman saya, dan ruang teater, ruang peristiwa: sampai kini saya menyaksikan ADUH-ADUH lainnya diberbagai ruang peristiwa sepanjang perjalananan yang saya lalui: kerumunan massal, gerombolan di mall, di kampus, kampung, di kantor, di lapangan sepakbola, basket, partai politik, seminar, dan juga di pusat pusat kesenian, dan di mana saja……. Semuanya berusaha mencari identitas di dalam kehirukpikukan yang disertai kecerewetan, yang menurut saya, sejenis kekenesan kaum OKB yang senang mendandani, macak diri di depan cermin sosial, di antara ketidakpedualiannya kepada nasib orang lain.

Tapi, mong-ngomong, sori, numpang nanya, kenapa Teater Mandiri tidak lagi mengADUH, dan rasanya hal itu sudah lama banget? Atau apa Teater Mandiri merasa sudah diwakili oleh berbagai peristiwa yang diciptakan oleh rejim sepanjang perjalanan republik ini yang meyakini dirinya kepada pembangunan dan moderenisasi dengan berbagai jenis kebulatan tekad, jenis gotong royong yang lain, dan Teater Mandiri menikmati akuarium pusat kesenian, dan memasuki pencanggihan diri atas nama moderenisasi. Ataukah kerumunan Teater Mandiri itu sudah menjadi sejenis ‘individu-individu’, professional dengan ruang masing-masing? Dan teater lalu menjadi monolog, sempoyongan di ruang-ruang perkotaan yang tak hirau kepada ‘aktor’ yang oleh publik dianggap aneh, mengada-ada, di antara jalan mampat bagi alur yang ingin ditempuh oleh grup-grup teater. Tentu saja legitimasi kehadiran teater dibutuhkan atas nama kesenian. Dan media massa masih menyediakan ruangannya – betapapun basa basinya – untuk sekedar menyatakan ada kerumunan yang mirip gerombolan, yang makin tak jelas siapanya yang ada di sana. Hal itu, mungkin karena teater tak berhasil, gagal, di dalam menumbuhkan individu-individu. Yang ada ‘orang-orangan’ yang cerewet, genit kenes ngomong soal ‘tubuh’ yang sudah digadaikan yang masuk kian ke mari ke berbagai lorong kota dan institusi, dan warga bertanya-tanya dan komentar: aneh juga, kenapa seeh cuma mau cerita kok susah-susah pakai pakaian dan ngomong yang aneh-aneh.

*) Halim HD. – Networker Kebudayaan.
*) Disampaikan untuk sarasehan teater peringatan ulang tahun ke-40 Teater mandiri, DKJ-TIM, Jakarta, 14 Juli 2011.