Selain kepiawaian bermusik setiap musisi idealnya memahami cara untuk memelihara dan merawat alat musiknya sendiri. Itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan melalui acara “Serba-serbi” dalam rangkaian program “Organologi” yang baru saja selesai dihelat Dewan Kesenian Jakarta pada Rabu (29/6) lalu.

Mengundang Tong Ming Xi seorang luthier alat musik gesek asal Singapura, ia berbagi ilmu dan pengalaman yang ia miliki selama belasan tahun sebagai “perawat “ alat musik gesek.

Cara merawat dan memelihara biola menjadi bagian yang penting dalam bermusik, apalagi untuk alat musik gesek yang pemeliharannya tidak bisa dilakukan sembarangan. “Menyimpan biola atau biola alto di tempat yang suhunya terlalu ekstrem tidak disarankan. Biola yang terkena paparan sinar matahari secara langsung akan membuat kayu biola terlalu kering sehingga mudah retak. Pun jika kelembaban terlalu tinggi, karena kayu biola akan mudah lapuk sehingga suara yang dihasilkannya menjadi tidak sempurna lagi”, Ming Xi memberi saran.

Bagi banyak musisi, kesempatan untuk mengenal lebih dalam tentang seluk beluk biola dan alat gesek lainnya merupakan barang langka. Pun ahli di bidang ini yang keberadaannya di Jakarta, atau mungkin tanah air masih bisa dihitung dengan jari. Itu pula sebabnya pemain alat musik gesek seringkali harus merogoh kocek dalam-dalam ketika alat musik mereka rusak. Karena untuk melakukan perbaikan saja mereka harus melancong ke luar negeri untuk menemui luthier yang ahli, yang tentunya memerlukan biaya yang tidak murah pula.

Maka tidak heran jika kehadiran Ming Xi mendapat apresiasi yang cukup meriah, meski kali ini merupakan pengalaman keduanya untuk tampil pada acara tersebut. Tidak kurang dari seratus peserta yang hadir pada acara kuliah singkat itu. Tidak hanya mendapatkan tips merawat biola, para peserta workshop juga beroleh pengetahuan tentang proses pembuatan sebuah biola mulai dari awal hingga sentuhan akhir. Meski tidak melakukannya secara langsung, para peserta dapat mengikuti tahap demi tahap proses yang bisa dibilang tidak sederhana itu.

Pada kesempatan kedua, giliran Martino Hidajat berbagi pengalamannya sebagai organbauer. Memiliki keahlian yang langka membuat orgel, martino menjelaskan proses pembuatan orgel yang bisa memakan waktu hingga 1,5 tahun. Tidak semua kerumitan itu diuraikan tentunya, karena Martino lebih menekankan pada aspek penciptaan suara sehingga dari sebuah orgel -yang biasanya terpasang secara permanen di gereja- bisa menghasilkan bermacam-macam nada yang sungguh mempesona.

Simak proses kreatif Martino Hidajat yang direkam langsung dari bengkel organ pribadinya di Semarang, Jawa Tengah dengan mengklik disini.

Menutup kuliah singkat selama sekitar satu jam lebih itu, beberapa musisi unjuk tampil dalam sesi resital. Musisi muda berbakat seperti Felisia Renna Yudianto, Justinus Budi Santoso dan Devi Fransisca, tampil diiringi dengan kesyahduan suara orgel yang dimainkan secara bergantian oleh Theresia Wiswidianingsih dan Priska Budiharjo.

Pertunjukan selama hampir satu jam itu akhirnya ditutup dengan penampilan trumpetis Eric Awuy diiringi permainan orgel oleh Tommy Prabowo.

Untuk melihat cuplikan penampilan keduanya klik disini.

(Dimas/Eva/Joel)