ASRUL SANI adalah dosen saya ketika saya studi di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) tahun 1968. Yang paling menarik perhatian saya adalah sikap para dosen lainnya yang memberikan penghormatan dan perhatian khusus menyambut kedatangan Pak Asrul di tempat kuliah. Saya bertanya dalam hati, apa kelebihan Pak Asrul hingga dia diperhatikan secara khusus.

Pertanyaan itu terjawab ketika Pak Asrul mulai memberi kuliah tentang pengenalan awal tentang pengertian teater dan dramaturgi. Dibanding dengan dosen lainnya, cara beliau bicara sangat menarik dan memukau.

MENARIK, karena cara beliau menjelaskan sebuah pengertian secara gamblang sehingga yang tadinya dirasakan sulit ketika disampaikan oleh dosen lain, melalui mulut Pak Asrul segalanya terasa mudah. Hal itu bisa terjadi karena kami yakin beliau benar-benar menguasai apa yang dibicarakannya.

MEMUKAU, karena beliau berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di mulut Asrul Bahasa Indonesia tampil memikat dan kita tidak terasa bahwa Bahasa Indonesia masih miskin kosa-kata, dibanding Bahasa Jawa misalnya.

Melalui pertemuan pertama dan pertemuan berikutnya melalui ruang kuliah, sedikit demi sedikit kami mulai mengagumi dan menempatkannya sebagai Dosen Favorit.

Ya..Asrul Sani memang seorang guru yang baik dan dalam makalah ini saya mencoba mengingat tentang SUMBANGAN dan WARISAN ASRUL SANI PADA TEATER MODERN INDONESIA. Terus terang banyak pengalaman pembicaraan saya dengan Pak Asrul yang tidak bisa saya ingat lagi secara lengkap. Jadi dalam menyusun makalah ini, saya banyak menggunakan referensi dari buku ”70 Tahun Asrul Sani” dan ”Surat-Surat Kepercayaan”.

Sebuah Sikap

Saya tercengang dan tiba-tiba ingatan saya melayang ke tahun tujuhpuluhan ketika saya membaca sebuah hasil wawancara Pak Asrul di buku ”70 Tahun Asrul Sani”.

”Saya tidak pernah punya profesi, Saya amatir…Sebab begitu kita jadi profesional tentang sesuatu, kita tenggelam dengan apa yang kita tekuni sebagai profesi. Karena itu saya tidak mau dikatakan sutradara, penulis skenario, atau sastrawan. Saya mau kreatif. Kalau saya cari tempat, ya tempat itu untuk kreativitas itu sendiri. Dari sana saya bersikap bahwa keadaan kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan. Juga saya tidak mau terikat oleh ukuran-ukuran administratif…”

Wawancara Asrul Sani dengan Ichsan Noorsy dan Nasir Tamara untuk majalah Vista 1988 dan menjadi salah satu materi penting dalam buku 70 Tahun Asrul Sani.

Sikap ini pernah saya dengar dari beliau tapi dengan pengungkapan yang lebih mudah dan mendasar. Pada tahun 1974, ketika saya menanyakan komentar beliau atas permainan saya sebagai Inspektur Jenderal karangan Nikolaj Gogol. ”Aku akui permainanmu tadi malam cukup bagus, tetapi menurut aku, kau akan tampil lebih bagus dan meyakinkan jika pertunjukan itu ditampilkan setahun lagi” Begitulah cara beliau mengkritik. Halus tapi pedas. Kata satu tahun mengisyaratkan bahwa saya masih kurang meyakinkan.

Disarankan agar saya membaca beragam buku yang ada kaitannya dengan naskah Inspektur Jenderal, Nikolaj Gogol. Termasuk informasi tentang sosial politik sekitar awal kemerdekaan, karena Pak Usmar pernah menafsir Inspektur Jenderal menjadi Tamu Agung. Melalui Film itu Usmar menyindir kehidupan masyarakat saat itu.

Dengan kata lain saya dianjurkan untuk tidak menggunakan kacamata kuda yang hanya bisa melihat ke satu arah jika ingin melihat dimensi permasalahan.

Melalui kutipan pendapat beliau diatas, jelas tergambar pribadi Asrul Sani yang menolak untuk mempersempit ruang pemikirannya dengan hanya memilih satu sudut pandang dalam memahami sesuatu. Beliau sangat sadar bahwa pada hakekatnya untuk memahami dimensi pengertian sebuah disiplin ilmu, perhatian kita juga harus diarahkan pada disiplin ilmu terkait lainnya. Dia memiliki bermacam predikat dalam hidupnya. Dia seorang dokter hewan, politisi, penyair, penulis skenario, penterjemah, sutradara dan pemikir seni teater dan film

Sumbangan dan Warisan

”Aktor adalah intelektual yang memiliki rasa seni tinggi dalam hal seni laku !” itulah sumbangan besar Asrul yang paling berharga bagi saya karena setelah belajar dengan beliau saya memiliki kepercayaan diri sebagai Aktor yang pada masa lalu dikenal sebagai anak wayang yang hadir sebatas sebagai penghibur.

SENI LAKU adalah ilmu pengetahuan. Dia memiliki standar kelayakan ilmu yang bisa dipelajari dan dikembangkan seiring kemajuan jaman. Bakat yang besarpun akan surut jika tidak ditopang oleh penguasaan teknik yang memenuhi standar keilmuan. Belakangan ini banyak pertanyaan tentang kualitas aktor dan aktris yang dirasa kurang meyakinkan jika dibanding dengan Didi Petet yang memiliki latar belakang akademis, atau Butet Kartarejasa yang memiliki pengalaman praktek berkesenian karena dibesarkan dalam lingkungan sanggar kreatif.

Mengemukakan nama Didi dan Butet dimaksudkan untuk menjadi bandingan bahwa untuk mempelajari Akting sebagai Ilmu Pengetahuan, bisa dicapai dengan banyak cara, asal segala sesuatunya dilakukan secara serius dan sepenuh hati.

Sedangkan warisan Asrul merupakan hal yang paling berat karena tiba tiba kita tersadarkan bahwa kemampuan beliau jauh diatas yang saya atau kita miliki. Cara memahami sesuatu dengan cara pandang Rajawali yang melihat segala sesuatu dari atas, sehingga tampak konfigurasi permasalahan. Pandangan Rajawali lebih melihat permasalahan secara dimensional, dibanding dengan pandangan penumpang bis yang hanya melihat pemandangan di sepanjang jalan hanya dari satu sisi.

”Saya mau kreatif. Kalau saya cari tempat, ya tempat itu untuk kreativitas itu sendiri. Dari sana saya bersikap bahwa keadaan kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan…”

Makna kutipan pendapat ini hanya lebih mempertegas bahwa tidak ada ukuran lain yang mampu menghakimi prestasi seorang seniman, kecuali karyanya sendiri. Melalui karyanya seniman bisa dibaca bahwa kreativitasnya telah mandeg, atau sedang berada dalam titik kreatif tertingginya.

Pendapat Asrul terhadap Teater Modern yang dianggapnya masih tampil dalam tahapan bentuk dan belum mampu menterjemahkan fungsinya, didasarkan atas hasil yang ditampilkan dalam pertunjukan yang ditontonnya.

TEATER MODERN bukanlah teater tradisional yang memang lahir dari buminya sendiri. Teater Modern adalah barang import yang tidak bisa kita pahami dan kuasai dimensi pengertiannya scara otomatis dan alami.

Kaidah panggung yang menurut teater modern dibagi atas sembilan bagian, yang ditetapkan berdasarkan ruang panggung yang memiliki sisi belakang, tengah, depan, samping kiri dan samping kanan panggung, kaidah ini terasa sangat asing bagi saya yang besar di Yogyakarta.

Ketika saya menonton kesenian tradisi, dimensi panggung hanya berupa satu garis melintang dan dimensi dramatiknya dititik beratkan pada Diksi Dialog. Secara ekstreem anak Yogya segenerasi saya bisa menentukan waktu dengan hanya mendengar tekanan suara suluk sang dalang.

Dalam pengalaman saya memainkan maupun menonton teater modern, yang saya rasakan adalah mengemukanya suasana aneh karena ”barang baru” tersebut muncul hanya sebagai simbol status bahwa saya seorang intelektual yang banyak tahu ilmu baru.. Cara bicara, gaya berjalan dan gesture yang ditawarkan terasa berjarak dengan aktor yang memainkannya. Para aktor tersebut sepertinya hanya mempertontonkan sebuah kue yang cantik dan berkesan lezat, tapi terbungkus dalam plastik yang tak mungkin tersentuh tangan.

Kesimpulan

Warisan Asrul untuk Teater Modern adalah sebuah sikap yang biasa dibebankan pada seorang Aktor. Seorang Aktor harus menjadi ! To Be ! Bukan hanya mengerti dan memahami sebuah peranan.

Kita harus menjadi. Bagaimana mungkin kita bisa memahami ”greget” ide dari naskah yang dibuat oleh Tenesse Williams, Eugene O’Neil, August Strindberd, Moliere, Gogol, Chekov, Bertold Brech, Lorca dan pujangga besar lainnya ketika kita mengenal pribadi dan jaman apa yang membesarkan mereka.

Setelah mengenal mereka masih banyak lagi telaah yang harus dilakukan. Misalnya; mengapa disatu kisah yang berjudul ”Desire Under The Elm” judulnya diterjemahkan secara langsung sebagai ”Nafsu Di Bawah Pohon Elm”. Membaca judul aslinya saya terkesan kalimat tersebut sebagai sebuah idiom dan tidak mungkin saya terjemahkan harafiah kata perkata. Pohon Elm bagi mereka mungkin punya image lain dan bukan hanya berarti sebuah pohon besar. Saya juga yakin, belum tentu juga bisa diterjemahkan sebagai pohon beringin sebagai pohon favorit yang sangat dekat dibibir orang Indonesia.

Mengambil salah satu istilah bagi film yang juga dinamakan sebagai MOVING IMAGE, maka segala yang tampak secara visual haruslah memiliki imaji dan bukan sekedar gambar. Melalui kamera, film maker bukan merekam sekedar gambar. Dia harus menciptakan Imaji dan imaji tersebut musti moving pula.

Begitu pula rasanya fungsi panggung. Dia hanya ruang gelap segi empat yang tanpa makna kecuali sebuah lubang disebuah gedung besar. Tetapi dengan konvensi tertentu panggung gelap itu bisa berubah makna karena imaji penonton mampu diterbangkan ke Roma untuk menemui Kaisar Nero dan melihat tingkah lakunya yang mewakili nafsu serakah pinpinan yang mabuk kuasa.

”Mengukur Jarak Keinginan” dengan cara melihat permasalahan secara luas, Itulah warisan pemikiran Asrul Sani yang menyadarkan kita bahwa TEATER MODERN belum ”menjadi” di Bumi Pertiwi ini. (Slamet Rahardjo Djarot)

TERIMAKASIH.