Oleh: Afrizal Malna

Lukisan Michiel Sweerts, “Wabah di Kota Tua” (Plague in an Ancient City) banyak dikutip dan dipercayai mengambarkan wabah besar yang pernah melanda Athena, 430 SM.

Lukisan memperlihatkan warga Athena yang sebagian telanjang di altar-altar kuil. Lukisan ini terkesan melakukan rekonstruksi atas catatan Thucydides, seorang sejarawan Yunani yang mengalami wabah dan mencatat orang-orang yang terjangkiti wabah.

Tubuh mereka membara seperti terbakar, membuat sebagian dari mereka membiarkan tubuhnya telanjang.

“Plague in an Ancient City” karya Michiel Sweerts (1618-1664 CE) Courtesy of Los Angeles County Museum of Art

Michiel Sweerts menggunakan warna-warna suram, bangunan-bangunan kuil yang dibuat gelap, dan matahari senja dengan biru kelabu. Hingga abad ke-21, lukisan tentang wabah masih merupakan sumber inspirasi.

Salah satu diantaranya karya Stanley Meltzoff yang dibuat tahun 1963. Lukisan ekspresionis ini langsung menuju ke gambaran wabah yang ganas secara jurnalistik.

Gambaran tubuh-tubuh korban yang telanjang dengan bercak-bercak merah pada lorong sempit, sosok pendeta tua menengadah ke langit, burung gagak dan anjing pemakan bangkai yang menjauh dari mayat-mayat korban wabah.

Stanley Meltzoff painted this excellent image of the plague in Athens for Life Magazine in 1963

Narasi lebih tua di sekitar wabah terpapar dalam Illiad, karya Homer sekitar 700 SM. Iliad merupakan karya sastra klasik Yunani tertua yang memberitakan tentang wabah.

Chryses, seorang pendeta Trojan, meminta kepadan Agamemnon, pemimpin Yunani, untuk mengembalikan putri Chryseis yang ditawannya. Agamemnon menolak.

Chryses marah dan berdoa meminta dewa Apollo mengirim wabah. Wabah menyerang pasukan Yunani dalam perang Troya.

Membutuhkan hampir dua abad untuk kita mengerti tentang wabah. Sebelum abad ke-19, wabah masih dianggap berasal dari alam gaib, hukuman dari Dewa atau Tuhan, dianggap sebagai akibat dosa-dosa manusia.

Wabah yang melanda Yunani dalam kisah Illiad, masih memperlihatkan panggung politik dalam politik simbol yang bermain dalam kekusaan militer, mitos tubuh hero, dewa-dewa, kutukan, takdir, ramalan, kekuasaan pendeta dan raja.

Konsep mengenai kuman dan bagaimana penyebarannya memang belum ada waktu itu. Hampir semua wabah mematikan yang pernah terjadi, dan apa penyebabnya, merupakan hasil studi modern.

Penyebaran wabah umumnya melalui sumber makanan, air, udara, dari orang ke orang, melalui hewan, serangga, maupun lingkungan.

Kata wabah yang digunakan dalam pengertian epidemi mematikan, diciptakan oleh dokter Calaudius Galen yang pernah mengalami Wabah Antonine (tahun 165 M) di Roma. Galen (129-216 M) adalah seorang dokter, penulis dan filsuf Yunani yang bekerja di Roma.

Galen mempengaruhi teori dan praktik kedokteran hingga pertengahan abad ke-17. Dia mengurai secara luas tentang anatomi tubuh yang menekankan peran jantung, otak, dan darah. Walau riset Galen terkendala oleh tabu yang melarang membedah tubuh manusia.

Riset anatominya hanya dilakukan mulai monyet dan babi. Galen lahir tahun 129 M di Pergamon, Asia Kecil (kini bernama, Turki).

Galen portrait by Georg Paul Busch

Di samping lukisan Michiel Sweerts yang terkenal, lukisan lain yang juga dihubungkan dengan wabah besar Athena adalah karya Gustave Moreau.

Lukisan Gustave Moreau dianggap sebagai karya paling berani menterjemahkan pertemuan antara Oedipus dengan makhluk Sphinx dalam Oedipus Rex karya Sophokles.

Lukisan ini mendekatkan dua tubuh yang berbeda antara Oedipus dan Sphinx. Keduanya hampir seperti berpelukan.

Namun tatapan keduanya, antara Sphinx dan Oedipus memperlihatkan jarak pemikiran yang berbeda tajam, dan fokus pada tujuan masing-masing.

Tubuh Oedipus tidak lagi digambarkan sebagai tubuh hero yang maskulin, bahkan cenderung terkesan androgini, seperti yang dilihat oleh beberapa pengamat. Sebaliknya sosok Sphinx terlihat anggun dan ganas.

Gustave Moreau (1826–1898), Oedipus and the Sphinx (1864), (Bequest of William H. Herriman, 1920), New York, NY. Courtesy of The Metropolitan Museum of Art, via Wikimedia Commons.

Naskah drama Oedipus Rex yang ditulis sekitar 429 SM, oleh beberapa pengamat dianggap terkait dengan wabah Athena, karena naskah drama ini sejak awal sudah dibuka dengan wabah yang menyerang Thebes setelah Oedipus duduk sebagai raja.

Kota yang penuh dengan suara tangisan dan erangan di tangga-tangga altar, asap dupa, doa-doa dan litani.

Oedipus adalah putra Raja Laius. Sebelum Oedipus lahir, Raja Laius mendapat ramalan bahwa dirinya akan mati dibunuh oleh putranya sendiri.

Istrinya, Ratu Jocasta, akan dikawini oleh Oedipus, anaknya sendiri. Karena itu ketika Oedipus lahir, bayi itu dibuang ke hutan.

Namun bayi itu selamat dan tumbuh dewasa. Setelah dewasa, Oedipus juga mendengar ramalan bahwa dia akan membunuh bapaknya dan mengawini ibunnya.

Lalu Oedipus melarikan diri dari keluarga yang membesarkannya di Korintus, tanpa tahu bahwa mereka bukanlah orangtua kandung Oedipus.

Saat melarikan diri menuju Thebes, Oedipus bertengkar dengan seorang penguasa di jalan, dan dia membunuh orang itu. Padahal orang itu adalah Raja Laius, bapak kandungnya sendiri.

Dalam perjalanan memasuki kota Thebes, Oedipus bertemu dengan Sphinx. Seluruh kota Thebes takut dengan mahluk perempuan bertubuh singa ini, karena Sphinx akan membunuh siapa pun yang tidak bisa menjawab teka-tekinya.

Oedipus ternyata bisa memecahkan teka-teki Sphinx. Dan Sphinx mati bunuh diri. Oedipus kemudian dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan Thebes, diangkat sebagai Raja dan dikawini dengan Ratu janda, Jocasta, ibunya sendiri.

Thebes kemudian dilanda wabah. Oedipus mencari tahu apa penyebab wabah. Para pendeta peramal mengatakan, bahwa penyebab utama wabah adalah Oedipus sendiri.

Setelah Oedipus tahu siapa dirinya, ibu yang juga sekaligus istrinya, Jocasta, bunuh diri. Oedipus kemudian menusuk kedua matanya dengan perhiasan istrinya hingga buta, dan minta dirinya dibuang dari Thebes.

Wabah Athena terjadi dalam Perang Peloponnesia Kedua (430-404 SM) melawan Sparta. Penyakit mulai mewabah melalui pelabuhan Piraeus.

Gejala-gejalanya termasuk demam, bersin, sakit tenggorokan, napas sangat buruk, batuk hebat, nyeri dada, susah tidur, dan kejang-kejang.

Wabah Athena salah satu wabah dari Abad Sebelum Masehi yang tercatat, karena seorang sejarawan Yunani, Thucydides, ikut mengalami wabah ini dan mencatatnya.

Thucydides menggambarkan penyakit ini datang dari Ethiopia melewati Mesir dan Libya ke Yunani dan menyebar ke Mediterania.

Salah satu catatan Thucydides menggambarkan pasien yang demamnya sangat tinggi, membuat mereka lebih suka telanjang, seperti terlihat dalam lukisan Michiel Sweerts.

Mereka yang sembuh sering kali menjadi cacat pada alat kelamin, jari tangan dan kaki yang terkadang hilang, kebutaan, dan hilangnya ingatan.

Bahkan burung atau binatang yang biasa memakan bangkai, menghilang, tidak menyentuh mayat-mayat korban wabah.

Para dokter tidak bisa mengatasi penyakit. Bila mereka merawat korban, dokter itu sendiri memiliki kemungkinan ikut mati kena wabah.

Epidemi menewaskan 1/3 dari populasi Athena yang berjumlah 250.000-300.000 pada abad ke-5 SM, termasuk matinya negarawan Pericles (495-429 SM).

Baru 60 tahun ini di zaman modern, J.F.D. Shrewsbury mengidentifikasi wabah yang melanda Athena sebagai campak yang ganas.

Walau ilmuwan lain belum sependapat dengan temuan ini, terutama karena gejala yang diidentifikasi oleh Thucydides sebagai bahan diagnosis (pengetahuan ilmiah tentang gejala yang dialami pasien) belum ada prognosisnya dalam penyakit modern.

Bahkan DNA terhadap gigi-gigi dari mayat korban yang ditemukan pada kuburan massal di pemakaman kuno Kerameikos, Athena, dan digali tahun 1994-1995, juga dianggap sebagai metode yang cacat.

Makam Kuno di Kerameikos, Athena

Wabah membuat Athena kian lemah. Sparta melarikan diri, karena tidak mau berperang dengan prajurit Athena yang terserang penyakit.

Thucydides juga mencatat perubahan yang terjadi pada cara pandang rakyat Athena terhadap pandangan moral umum, hukum dan kepercayaan terhadap dewa-dewa tradisional mereka. Wabah membuat mereka seperti hidup setelah hukuman mati dijatuhkan.

Harry Perlstadt dalam tulisannya “The Plague of Athens and the Cult of Asclepius” memandang gerakan sosial dan keresahan sosial sering muncul pada saat perubahan mendadak, menjadi sumber pemberdayaan spiritual dan politik.

Thucydides hidup 460-400 SM dan Sophocles 490-406SM. Keduanya sama-sama tinggal di Athena. Keduanya memperlihatkan dampak wabah terhadap kehidupan sosial di Athena.

Thucydides membuat catatan perubahan-perubahan psikologis, moral, pandangan atas hukum maupun agama.

Sementara Sophocles melahirkan metafor menjadi semacam “Oedipus Kode”. Terutama metafor seorang raja yang membutakan matanya sendiri, berhadapan dengan wabah Athena yang hingga kini tetap misteri.

David Grene menulis bahwa Oedipus berfungsi sebagai “metafora untuk setiap pencarian manusia atas identitas dan pengetahuan akan diri dalam dunia ketidaktahuan manusia yang mengerikan.”

Sigmund Freud menciptakan ungkapan “Kompleks Oedipus” untuk gambaran fase perkembangan anak lelaki yang melihat ibunya sebagai gambaran ideal tentang perempuan maupun libido.

Lukisan Max Ernst “Oedipus Rex”, yang dibuatnya tahun 1962, memperlihatkan makna yang lebih kompleks di balik tema pembutaan Oedipus.

Max Erns menggunakan biji kenari yang mirip bola mata ditembus anak panah, jari-jari tangan yang ditembus oleh busur dan dua kepala burung yang merepresentasi ikon topeng untuk wabah.

Di kejauhan tampak balon gas mengapung dengan latar langit kelam. Lukisan ini merupakan bagian dari Oedipus Kode akan pencarian pengetahuan atas masalalu dari ketidak-tahuan manusia yang mengerikan.

“Oedipus Rex” karya Max Ernst, 1922

Dan kalau kita kembali ke pertemuan antara Oedipus dan Sphinx dalam lukisan Gustave Moreau, bukankah lukisan ini merupakan sebuah adegan perpisahan antara manusia dan mitos. Manusia memilih rasio, agar bisa keluar dari kegelapan mitos yang membunuh.

Sumber:

  1. Antonis A. Kousoulis: The Plague of Thebes, a Historical Epidemic in Sophocles ’Oedipus Rex’, Volume 18, Number 1—January 2012, https://www.cdc.gov/
  2. Chris Mackie: Thucydides and the plague of Athens – what it can teach us now, Maret 20, 2020 9.55 am WIB, http://theconversation.com/thucydides-and-the-plague-of-athens-what-it-can-teach-us-now-133155
  3. Cyprian. Life and Works of Saint Cyprian of Carthage. Eastern Orthodox Books, 1989.
    De Vergnette François: Oedipus Explaining the Enigma of the Sphinx, https://www.louvre.fr/en
  4. Donald L. Wasson: “Galen”, 15 Oktober 2019, https://www.ancient.eu/Galen/
    Donald Kuspit: “A Critical History of 20th-Century Art”, http://www.artnet.com/magazineus/features/kuspit/kuspit4-14-06.asp
  5. Hankinson, R. J. (ed.). The Cambridge Companion to Galen. Cambridge University Press, 2008.
  6. Harry Perlstadt: “The Plague of Athens and the Cult of Asclepius”, 26 November 2019 https://brewminate.com/the-plague-of-athens-and-the-cult-of-asclepius/
  7. J.F.D. Shrewsbury. “The Plague of Athens.” Bulletin of the History of medicine, vol. XXIV (January-February, 1950), pp. 1-25.
  8. John Horgan: ” The Plague at Athens, 430-427 BCE”, 24 August 2016, www.ancient.eu
  9. Joshua J. Mark: “Plague in the Ancient & Medieval World”, 23 March 2020, www.ancient.eu
  10. Joshua J. Mark: “Reaction to Plague in the Ancient & Medieval World”, 31 March 2020, www.ancient.eu
  11. Kristina Killgrove: Oedipus Rex And The Plague of Athens, December 28, 2011
    Mark Cartwright: Sophocles, 29 September 2013, www.ancient.eu
  12. Mellor, R. The Historians of Ancient Rome. Routledge, 2012.
  13. Olmstead, A. T. History of the Persian Empire. University of Chicago Press, 2009.
  14. Parkin, T. and Pomeroy, A. Roman Social History. Routledge, 2007.
  15. Singer, P. N. (ed.). Galen. Cambridge University Press, 2014.
  16. The Project Gutenberg eBook of History of the Wars, Books I and II (of 8), by Procopius Accessed 29 Mar 2020.
  17. The Psychology of the Riddle: Oedipus and the Sphinx, May 28, 2017, https://eclecticlight.co/
  18. Tuchman, B. W. A Distant Mirror: The Calamitous 14th Century. Random House Trade Paperbacks, 1987.