Abdul Djalil Pirous (A.D. Pirous), Guru Besar Emeritus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, berpulang pada Selasa, 16 April 2024. Pengabdian beliau selama empat dekade di Program Studi Desain Grafis di ITB membuka jalan terbukanya bidang ilmu yang kini disebut sebagai Desain Komunikasi Visual.

A.D. Pirous lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1933, sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Mounna Pirous Noor Mohammad, pengusaha-pemilik perkebunan karet, dan Hamidah, ibunya, seorang penyulam hias benang emas tradisi yang terampil.

Pirous kecil mendapat pengetahuan warna ketika ikut membantu ibunya mengolah tinta warna sulaman. Pada 1948, ia lulus dari madrasah ibtidaiyah di kampungnya. Perkenalannya dengan seni lukis moderen dimulai dengan mencontoh sebuah lukisan Van Gogh, yang dibuat semalaman hanya berterang lilin di daun tudung kepalanya.

Sejak sekolah menengah pertama (SMP) di tahun 1948-1951, ia telah memenangi lomba menggambar. Karena situasi pendidikan yang tak pasti akibat perang, A. D. Pirous masuk kesatuan Tentara Pelajar di usia 15, sampai berpangkat kopral di tahun 1949. Bersama kawan-kawan satu anggota yang bisa menggambar, ia bertugas membuat poster-poster propaganda kemerdekaan.

Pada awal 1950, dengan abangnya ia pindah ke Medan dan menamatkan SMP. Di masa ini ia sudah membuat pesanan lukisan potret, hiasan akte kelahiran, dan kartu Hari Raya Idul Fitri. Pada 1951, ia memenangi sekaligus hadiah pertama, kedua, dan ketiga dalam kompetisi mengambar oleh Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara.

Pada 1952, ia melanjutkan pendidikannya di SMA Prayitna, Medan. Di sana ia baru mendapat arahan yang jelas dari guru menggambarnya, Hasan Siregar, pelukis senior Angkatan Seni Rupa Medan—yang menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi seni rupa di Yogyakarta atau Bandung. Namun, jiwa seninya baru benar-benar tergugah ketika pertama kali menyaksikan sebuah pameran di Medan, yang menampilkan karya-karya lukis dari para pelukis: Handrio, Sumitro, Kusnadi, Solichin, Wakidjan, Rustamadji, Zaini dan Nasjah Djamin.

Pameran kedua yang didatanginya, juga di Medan, ialah pameran lukisan karya-karya Tino Sidin, Hasan Djakfar, Zulham dan Hasan Siregar—gurunya sendiri. Terbakar gairah muda, setamat SMA, bertolaklah Pirous muda ke Bandung, ke Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Mulanya, di awal 1955, ia menggabungkan diri dalam pelatihan dengan Sanggar Seniman yang dibentuk oleh Kartono Yudhokusumo dengan banyak pelukis Bandung lainnya: Srihadi, But Muchtar, Rudyat, Yusuf Affendi dan lain-lain. Lulus dari ITB pada 1964, ia segera mengajar di almamaternya sebagai dosen penuh waktu hingga pensiun.

Dua tahun setelah menikah, Pirous menikah dengan Erna Garnasih. Ia kemudian dikaruniai dua orang putri dan seorang putra. Tahun 1970, ia menerima penghargaan kebudayaan dari pemerintah Amerika Serikat. Setelahnya, pada 1969-1971, melanjutkan studi desain grafis dan printmaking di The School of Art and Design, Rochester Institute of Technology, Amerika Serikat.

Suatu ketika di Museum of Metropolitan (MoMA) New York, jiwa dan perasaan artistiknya amat tergugah oleh suatu pameran koleksi seni Islam dari zaman lampau, yang menampilkan sebuah prasasti bertatahkan kaligrafi Al-Quran. Ketika kembali ke Indonesia menjelang akhir 1971, ia membuat serangkaian lukisan berkaligrafi Arab, sebagai bentuk estetik yang pertama dalam khazanah seni lukis moderen Indonesia, yang lalu dipamerkannya di TIM DKJ setahun kemudian.

Pada 1973, ia dan beberapa teman mendirikan galeri khusus soal grafis, Decenta. Tahun 1974, karya lukisnya, “Tulisan Putih”, termasuk satu dari lima karya pemenang (bersama Abas Alibasyah, Aming Prayitno, Widayat dan Irsam) Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang menyemai ’’Pernyataan Desembar Hitam 1974”. Dua tahun kemudian Pirous memenangi kompetisi itu lagi dengan lukisan “Karunia-Nya yang Maha yang Masih kau Dutakan.” Karya grafisnya juga pernah mendapat penghargaan utama dalam Pameran Seni Rupa di Naples, AS.

Gaya karya lukisnya mula-mula amat memperlihatkan pengaruh Ries Mulder, gurunya di ITB, yang membentuk citraan rupa dengan metode kubisme. Pada awalnya, ia sempat dikelompokkan ke dalam ’’mazhab Bandung”. Tapi kemudian Pirous menemukan ciri spesisiknya sendiri, yakni pada bentuk dan nuansa artistik keislaman dalam paduan antara sentuhan budaya pada pola ragam hias Aceh yang lazim bermotif Bouraq, dengan aksentuasi artistik kaligrafi dari ayat-ayat Al-Quran. Sepanjang 1974 sampai 2006, ia telah mengikuti tujuh kali Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (Biennale). Tahun 1984-1990 ia menjabat Dekan Fakultas Seni Rupa ITB.

Pada 1984, ia menerima hadiah kebudayaan dari Pemerintah Korea Selatan dan juga Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1985, ia mengadakan pameran retrospeksi karya-karyanya di Taman Ismail Marzuki-DKJ. Seusai itu, ia melakukan lawatan ke berbagai kota di Amerika Serikat, juga untuk berpameran di sana. Pirous adalah penggagas pameran karya seni lukis moderen bernuansa Islami pada Festival Istiqlal sejak 1991.

Pada 1997, ia terlibat dalam Pameran Seni Rupa Indonesia di Kopenhagen, Denmark, bersama Sunaryo, Rita Widagdo, Heyi Ma’mun, Satyagraha dan Hendrawan Riyanto. Tahun itu juga Pirous menggagas dan mengorganisasi—sebagai Ketua Dewan Kurator Pameran Seni Rupa Kontemporer Islami, peresmian Bayt Alquran dan Museum Istiqlal di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Selain melukis, A. D. Pirous juga banyak menghasilkan karya grafis berupa cetak-saring dan etsa. Periode karyanya dapat dibagi ke dalam tiga tahapan, yakni tahap studi realistik, pengembaraan kubistik, dan pencapaian citraan kaligrafi. Pada Maret 2002 di Galeri Nasional, A. D. Pirous mengadakan lagi Pameran Retrospektif. Ia pernah melakukan kritik sosial menanggapi perkara Harmoko (Mantan Menteri Penerangan era Suharto) dalam karya “Amanat Kepada Sang Pemimpin” karena salah melafazkan satu ayat Al-Quran.

Bagaimana awalnya Pirous mengkonsepsikan pencapaian terakhirnya sendiri itu, bisa terjelaskan dalam jawabannya atas Yusuf Affendi soal ekpresi bentukkah ataukah pesan pada ayat Al-Quran di lukisan itu sendiri dalam bentuk-ungkap kaligrafinya, “Kedua-duanya. Jelas aku menyukai yang literer; pengucapan dalam bahasa visual tidak hanya bentuk dan warna, tetapi juga pesan yang tergetarkan. Peranan tulisan dalam lukisan, lebih dikenal di dunia Timur daripada di Barat. Lihatlah seni miniatur Parsia, lukisan bersajak dari seni klasik Tiongkok, kaligrafi Jepang dan seni lontar di Bali. Antara pesan kejiwaan dan ekspresi lukisan dan tulisan telah menjadi satu dalam satu komposisi yang utuh” (Yusuf Affendi, “Yang Kini Berperan Dalam Seni Indonesia”, Pikiran Rakyat, 6-8- 1975).

Hingga akhir hayatnya, A.D. Pirous menetap dan berkarya di Bandung. Beliau mendapatkan gelar guru besar pada 1993 dan guru besar emeritus dari ITB pada 2005.

Selamat jalan, A.D. Pirous.

 

Sumber foto: itb.ac.id