Persoalan hak kekayaan intelektual, terutama hak cipta lagu, selalu menarik untuk menjadi bahan diskusi. Terutama di Indonesia, hal yang paling menjadi sorotan pada persoalan tersebut adalah masalah pembayaran royalti, lembaga manajemen kolektif, publisher, bahkan komposernya sendiri. Agar tercipta ekosistem kekayaaan intelektual yang sehat, maka perlu adanya pemahaman tentang bagaimana mengelola hak ekonomi pencipta lagu. Untuk itu, Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Musik bekerja sama dengan Massive Music Entertainment menyelenggarakan diskusi publik “Malem-Malem Publisihing (tapi sore) vol. 5” pada hari Rabu, 27 Maret 2024.

Para pembicara dalam diskusi tersebut membicarakan mengenai apa itu publisher, hak-hak apa saja yang didapat oleh komposer, siapa saja yang berhak mendapatkan royalti atas sebuah lagu, serta pembagian royalti pada sebuah lagu. Diskusi ini sangat menarik untuk diikuti karena moderator dan pembicara dalam “Malem-Malem Publishing (tapi sore) vol. 5” ini merupakan orang-orang yang memang berkecimpung di dunia musik, baik sebagai komposer, musikus, produser musik dan publisher.

Diskusi dibuka oleh Arham Aryadi dan Bowie Djati dari perwakilan dari Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta, disusul penampilan akustik Arnando Putra dan Frank Pattinasarany yang membawakan single berjudul “Inspirate” dan “Blessing in Disguise”. Setelahnya, Aria Baja yang didapuk sebagai moderator langsung memperkenalkan satu per satu pembicara pada diskusi ini.

Pembicara pertama, Aldri Dataviadi, Head of Operations Massive Music Entertainment, yang juga gitaris dari band Samsons, membedah perihal royalti dan apa saja bentuk hak-hak cipta lagu. Aldri juga menjelaskan apa itu publisher dan bagaimana fungsi dan manfaatnya. Menurut Aldri, publisher itu adalah pengelola hak ekonomi atas hak cipta lagu. “Singkatnya, sebut saja publisher itu manajernya lagu,” jelas Aldri.

Aldri menjelaskan bahwa royalti dan tata kelolanya sudah diatur oleh UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hak cipta itu terbagi dua, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Aldri tidak terlalu banyak membahas mengenai hak moral, tetapi ia lebih menitikberatkan pada penjabaran mengenai hak ekonomi atas cipta lagu.

Aldri menjelaskan bahwa hak ekonomi itu terdiri atas empat hak (rights), yaitu hak reproduksi atau biasa disebut mechanical rights; hak derivatif atau synchronization; hak distribusi; dan hak performa atau performing rights. Dari empat hak tersebut yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) meliputi satu hak, yaitu performing rights dan selebihnya dikelola oleh publisher.

Dari sisi dunia pendidikan, Sri Hanuraga—atau yang akrab disapa Aga—lebih banyak melontarkan pertanyaan terkait copyrights atau penggunaan lagu untuk kepentingan pendidikan atau pembelajaran di kampus, dengan kata lain apakah ada perlakuan khusus untuk bidang pendidikan dalam menggunakan lagu atau hasil karya orang lain untuk kepentingan pembelajaran. Berdasarkan pengalamannya membawakan lagu klasik era abad ke-19 yang diunggah di salah satu platform media sosial, ternyata unggahannya tersebut di-takedown tanpa alasan yang jelas.

Aga berpendapat seharusnya hal itu bukan merupakan pelanggaran hak cipta, karena lagu klasik, apalagi dari era abad ke-19, sudah menjadi public domain. Sesuai aturan, sebuah karya cipta lagu yang berusia lebih dari 70 tahun akan menjadi public domain. Keluh kesah ini tentu dilatarbelakangi aktivitasnya yang merupakan seoran pianis jaz, dosen, dan instruktur piano jaz di Fakultas Ilmu Seni, Universitas Pelita Harapan (UPH).

Selanjutnya, Putra Permana alias Enau, salah satu musikus kenamaan Indonesia, juga menuturkan manfaat dari bergabung dengan publisher. Ia menyebut sejak bergabung dengan publisher—yakni Massive Music Entertainment pada 2020—ia merasakan penerimaan royalti jadi lebih teratur. “Publisher tuh udah menyelamatkan kantong gua saat pandemi”, pungkasnya.

Selain itu ia juga menceritakan manfaat lain dari bergabung dengan publisher, salah satu di antaranya adalah peluang untuk mendapatkan hak atas synchronization rights menjadi terbuka luas karena ada beberapa user biasanya mencari komposer atau karya lagu untuk kebutuhan soundtrack film atau jingle iklan melalui publisher.

Sedangkan Franki Indrasmoro atau yang biasa kita kenal dengan nama Pepeng, drummer dari band NAIF membagikan pengalaman dan perbedaan mengenai permasalahan hak cipta lagu pada era dulu dengan era sekarang. Ia menceritakan pengalamannya ketika masih bersama NAIF, lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh NAIF dari album pertama sampai album ketiga dibeli putus oleh label yang menaunginya. Hal itu mengakibatkan NAIF, terutama Pepeng sendiri, tidak mendapatkan royalti atas setiap penggunaan lagu yang mereka buat selama hampir dua dekade.

Pepeng menjelaskan, pada saat itu dalam undang-undang yang lama diperbolehkan adanya transaksi jual atau beli putus atas karya lagu. Ditambah Pepeng dan kawan-kawan saat itu masih belum banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai hak cipta dengan segala aturannya, sehingga mereka tertarik untuk menerima tawaran beli putus dari label rekaman. Tapi baru-baru ini akhirnya NAIF melakukan renegosiasi kepada pihak label rekaman dan pihak label sepakat untuk membayar royalti atas karya lagu yang dibuat oleh Pepeng dan kawan-kawan. “Jangan pernah melakukan transaksi jual putus hasil karya kita,” tegas Pepeng kepada peserta diskusi yang sebagian besar komposer dan mahasiswa.

Tidak hanya itu, undang-undang saat itu juga mengatur bahwa seorang pencipta lagu bisa melakukan renegosiasi kepada pihak yang pernah membeli putus karya lagunya bila kontraknya sudah berusia 25 tahun. Hal ini tertuang dalam Pasal 18, 30, dan 122 UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Itu yang menjadi dasar Pepeng dan personel NAIF lainnya untuk melakukan renegosiasi kepada label rekaman yang menaunginya dahulu. Pepeng juga memberikan pemahaman bahwa salah satu tugas dari publisher adalah untuk mendokumentasikan dan mengarsip urusan kontrak dan legalitas terkait hak cipta atau penggunaan sebuah lagu.

Banyak juga pertanyaan-pertanyaan yang menarik yang dilemparkan oleh peserta kepada para pembicara terutama kepada Aldri selaku publisher dalam diskusi ini, di antaranya mengenai transaksi beli putus oleh user dalam penggunaan lagu untuk jingle sebuah perusahaan atau korporasi, bagaimana sikap komposer bila lagu karyanya digunakan untuk soundtrack film tapi tidak sesuai dengan image dari lagu tersebut, sampai bagaimana cara komposer untuk bergabung dengan publisher.

Dari diskusi ini, diketahui banyak sekali manfaat bagi seorang komposer jika bergabung dengan publisher, salah satunya terkait hak ekonomi bagi komposer itu sendiri. Publisher juga berfungsi menjaga agar hak ekonomi dari komposer itu terpenuhi sesuai dengan penggunaannya. Seharusnya isu mengenai royalti sudah tidak usah diperdebatkan lagi, karena sudah jelas diatur dalam undang-undang. Teman-teman komposer atau musisi sudah tidak perlu khawatir atau repot mengurus hak ekonomi atas hak ciptanya karena semua itu bisa dikelola melalui Lembaga Manejemen Kolektif (LMK) atau melalui publisher.

Acara diskusi yang berlangsung seru dan hangat selama dua jam sejak pukul 15.30 WIB itu ditutup dengan pemberian buku Antologi Musik Indonesia dari Komite Musik Indonesia kepada pembicara, foto bersama, lalu disambung dengan penampilan pamungkas dari Enau.

***

Penulis: Andika Firmansyah
Editor: Fadjriah Nurdiarsih