Pada 10-11 Juni 2025, Dewan Kesenian Jakarta, bekerja sama dengan Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN), menyelenggarakan kelas Klinik Kritik Film, bertempat di Ruang PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Sayembara Kritik Film DKJ yang sedang berlangsung mulai 15 Mei sampai 15 Juli 2025.

Rangkaian kelas Klinik Kritik Film menghadirkan tiga orang narasumber dalam tiga sesi yang berbeda. Kelas-kelas tersebut diisi oleh Ekky Imanjaya (anggota Komite Film DKJ dan dosen Universitas Bina Nusantara), Julita Pratiwi (peneliti dan pengajar sejarah dan teori film), dan Tito Imanda (dosen, peneliti dan pembuat film).

Acara ini diikuti oleh 26 peserta dari Jabodetabek, Bandung, Malang, Palembang, hingga Banjarmasin. Para peserta tersebut dipilih setelah berhasil lolos seleksi sampel tulisan kritik film. Panitia Klinik Kritik Film menerima 80 sampel tulisan yang masuk melalui tautan pendaftaran Instagram @sayembara.kritikfilm pada 28 Mei-5 Juni 2025.

Para peserta mendapatkan pembekalan mengenai kiat-kiat penulisan kritik film yang sistematis, mulai dari struktur penulisan, teori film, sampai hal-hal mengenai teknis film secara umum. Acara tersebut dibuka oleh Shuri Mariasih Gietty Tambunan, anggota Komite Film DKJ, dan turut didampingi oleh Shadia Pradsmadji sebagai fasilitator.

Klinik Kritik Film dibuka oleh Anggota Komite Film DKJ, Shuri Mariasih Gietty Tambunan.

Lead yang Menggugah dan Tulisan yang Terstruktur

“Kritik tidak boleh menyatakan suka atau tidak suka. Itu bukan urusannya. Itu sama saja seperti saya seorang ahli kimia menghadapi sepotong keju, tiba-tiba saya berkata saya suka keju ini. Yang penting adalah apa yang ada dalam keju tersebut?”

(Harold Clurman, dikutip dalam JB Kristanto)

Demikianlah kutipan yang disampaikan Ekky Imanjaya dalam kelas sesi pertama. Melalui kutipan tersebut, Ekky menekankan bahwa sebagai kritikus, sangat penting bagi kita untuk menanyakan diri sendiri apa yang tersaji di hadapan kita, apa artinya, dan nilai apa yang terkandung di dalamnya untuk kehidupan ini. Suka atau tidak suka tidak lagi menjadi sesuatu yang utama dan penting dalam sebuah tulisan kritik film, melainkan apa yang terkandung dalam film serta apa yang hendak disampaikannya.

Anggota Komite Film DKJ dan, dosen Universitas Bina Nusantara Ekky Imanjaya saat memberi materi di Klinik Kritik Film.

Ekky menjelaskan tiga alasan di balik pentingnya apresiasi dan kritik film. Pertama, kritik film merupakan bagian dari ekosistem perfilman, dalam hal ini literasi dan apresiasi film. Kedua, kritik film dapat menjadi jembatan antara penonton dan pembuat film. Terakhir, kritikus film adalah “sparring partner” para pembuat film. Dari sini, diskusi dan pembahasan lebih lanjut dapat terjalin.

Selanjutnya, Ekky menekankan bahwa dalam mengulas film, secara bersamaan, dibutuhkan kemampuan menganalisis dan kemahiran menulis. “Tata bahasa itu sama pentingnya dengan isi tulisannya,” tegas Ekky. Salah satu poin penting yang turut Ekky jelaskan adalah pentingnya menulis lead (kalimat pertama dalam sebuah paragraf) yang menarik perhatian. Lead yang baik, tuturnya, adalah sebuah pernyataan yang memiliki baik itu contoh adegan yang berkesan, contoh dialog, maupun kutipan yang terkenal atau menarik.

Di akhir sesi pertama, para peserta berkesempatan untuk menyaksikan Ekky membedah secara langsung dua tulisan hasil kiriman dari dua peserta melalui layar besar yang dapat terlihat di seluruh kelas. Ekky berdiskusi dengan para peserta mengenai keputusan kedua penulis mengenai lead, struktur penulisan, pemilihan diksi yang digunakan, sampai konten dan konteks kedua kritik film tersebut, di mana ia juga turut memberikan masukannya.

Bentuk dan Gaya dan Empat Jenis Pembacaan Makna

Berbeda dari sesi pertama yang banyak membahas aspek konten film dan kebahasaan, dalam sesi kedua, Julita Pratiwi memperkenalkan para peserta pada aspek-aspek formal dalam film dan tahapan-tahapan pembacaan film.

Sebelum membahas lebih jauh, para peserta diajak menonton potongan klip film Dua Garis Biru, di mana para peserta diminta menulis ulasan 100 kata yang mendeskripsikan apa yang mereka persepsikan dari adegan tersebut dalam catatan mereka masing-masing. Setelah itu, Julita meminta sebagian peserta untuk membacakan apa yang sudah mereka tulis.

Peneliti dan pengajar sejarah dan teori film, Julita Pratiwi, saat memberi materi di Klinik Kritik Film.

Setelah latihan tersebut, perempuan yang akrab disapa Juju ini menjelaskan apa itu bentuk dan gaya yang merupakan aspek formal dalam film. Bentuk adalah sebuah kerangka atau fondasi yang tersusun dari elemen-elemen yang saling terhubung, sementara gaya adalah pembungkus kerangka atau fondasi tersebut. “Bayangkan sebagai manusia, kita punya kerangka tubuh dan organ-organ yang sama. Itulah bentuk. Tetapi mungkin warna kulit kita berbeda, warna matanya berbeda, rambutnya ada yang lurus, ada yang keriting. Nah, itulah gaya,” jelas Juju. Dalam film, bentuk adalah rangkaian elemen film yang saling terhubung satu sama lain, yang dapat dibedakan menjadi elemen bentuk naratif dan non-naratif. Sementara itu, gaya mengandung elemen-elemen berupa mise-en-scene (apa yang terlihat di layar), sinematografi (bagaimana suatu adegan dibingkai), editing (bagaimana suatu adegan disusun atau dirangkai), dan suara (apa dan bagaimana suara yang dihadirkan). Selain sebagai cara apresiasi terhadap medium film, pembahasan mengenai bentuk dan gaya menjadi penting dalam kritik film karena kedua poin ini berperan sebagai barang bukti atau landasan argumen yang hendak disampaikan dalam sebuah kritik film.

Lebih jauh lagi, Juju menjelaskan kepada para peserta bahwa makna dalam film dapat dibaca melalui empat cara, atau yang disebut Empat Jenis Pembacaan Makna. Keempat jenis tersebut adalah eksplisit atau sesuatu yang gamblang dan apa adanya, referensial atau sesuatu yang mengambil referensi dari dunia realitas, implisit atau yang tersirat dan tersembunyi, dan terakhir simtomatik, yaitu makna lain yang berhubungan dengan konteks sosial, politik dan budaya dalam masyarakat.

Di akhir sesi, Juju memberikan potongan-potongan paragraf dari beberapa tulisan kritik film yang berasal dari media dan penulis yang berbeda-beda. Ia mengajak para peserta untuk mendiskusikan kalimat-kalimat mana saja dalam kritik film tersebut yang termasuk pada kategori eksplisit, referensial, implisit dan simtomatik sebelum menunjukkan hasil analisisnya.

Melatih Rasa dengan Berandai-andai Menjadi Pembuat Film

Pada sesi ketiga sekaligus terakhir, Tito Imanda menjelaskan kepada para peserta bahwa latar belakangan keilmuan berpengaruh terhadap pola pikir orang. “Orang dengan latar belakang ilmu budaya tentu berbeda cara berpikirnya dengan orang dengan latar belakang sosial, apalagi dengan orang teknik,” kata Tito. Dari sini, Tito mengajak para peserta untuk mengenal apa saja yang menjadi perhatian mereka ketika menonton film dan jika mereka memiliki pikiran-pikiran tentang dunia, yang diwakili film, yang berdengung di kepala mereka.

Dosen, peneliti dan pembuat film, Tito Imanda, dalam Klinik Kritik Film.

Tito kemudian membahas pentingnya pemahaman estetika film dengan mengajak para peserta untuk berdiskusi mengenai perbedaan antara novel dan film dengan mengambil contoh buku Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dan film adaptasinya, Sang Penari (Ifa Isfansyah). “Plot boleh sama, tetapi tulisan dan film memiliki bahasa yang sangat berbeda, dan pengarang novel maupun sutradara film memiliki alat kontrol yang berbeda,” tegas Tito. Tito menyatakan bahwa dalam kritik film, penulis mengonstruksikan apa yang pembuat film ingin mereka rasakan dan pikirkan, kemudian menyelaraskan atau menabrakkannya dengan minat dan keilmuan mereka masing-masing. Ia kemudian mengajak para peserta untuk lebih jauh memahami teks estetika film dengan cara berandai-andai menempatkan diri mereka sebagai pembuat film. Ia memberikan lima deskripsi adegan, di mana para sutradara diminta menjelaskan apa yang akan mereka lakukan pada adegan tersebut sebagai sutradara, sound designer, sinematografer, editor, dan art director. Dari sini, para peserta semakin memahami bagaimana bahasa audiovisual film bekerja dan bagaimana mereka menyampaikan apa yang ada dalam pemikiran mereka.

Pada akhirnya, Tito memberikan kiat-kiat soal bagaimana kritikus film dapat menggali permasalahan yang ada dalam film. “Permasalahan harus jelas sebagai sebuah kalimat yang menunjukkan kesenjangan antara kondisi nyata atau yang real dengan kondisi ideal,” tutur Tito. Permasalahan dapat digali dengan berbagai cara, baik itu melalui pengamatan, wawancara, focus group discussion, sampai mencari kesenjangan atau gap antara apa yang ditonton dan apa yang dirasa.

Kesimpulan: Belajar Banyak Langsung dari Ahlinya

Selama dua hari penyelenggaraan, para peserta Klinik Kritik Film belajar banyak mengenai cara-cara membaca film secara konten dan konteks serta cara-cara menuliskannya. Tidak hanya mendengarkan saja, para peserta juga mendapatkan latihan menulis ulasan pendek, membaca kritik film lain, menyampaikan konstruksi ide audiovisual, dan menerima masukan langsung dari tulisan mereka. Para peserta juga berkesempatan untuk berjejaring langsung dengan para narasumber serta sesama peserta lainnya.

Ketua Komite Film DKJ, Sugar Nadia Azier, saat menutup Klinik Kritik Film.

Terakhir, saat menutup acara Klinik Kritik, Sugar Nadia Azier sebagai Ketua Komite Film DKJ mengajak para peserta untuk terus berlatih menulis dan turut mengirimkan tulisan mereka ke Sayembara Kritik Film DKJ.

Sayembara Kritik Film DKJ terbuka bagi umum dan masih menerima kiriman tulisan kritik film. Segera kirimkan tulisan terbaik Anda sebelum 15 Juli 2025. Kunjungi Instagram @sayembara.kritikfilm untuk informasi lebih jauh.

Oleh Shadia Pradsmadji
(Fasilitator Klini Kritik Film DKJ, Anggota KAFEIN (asosiasi Pengkaji Film Indonesia); Dosen Film, Binus University)