Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak. Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.

Karena ditinggalkan oleh para penulis terbaiknya, dunia penulisan buku anak-anak kita tidak mampu melahirkan tokoh-tokoh fiksi yang bisa melekat dalam ingatan untuk waktu yang panjang,  seperti misalnya Peterpan, Pippi si Kaus Kaki Panjang, Alice (dalam Alice in Wonderland), Lima Sekawan, atau belakangan Harry Potter. Mungkin si Doel adalah satu-satunya tokoh anak-anak yang paling kita ingat, tetapi anak-anak sekarang barangkali tidak membacanya. Bahasa yang digunakan oleh Aman Datuk Madjoindo dalam buku Si Doel Anak Djakarta niscaya sudah terasa aneh bagi anak-anak sekarang.

Di luar novel, pernah ada film boneka “Si Unyil” yang memberi kita banyak karakter yang tak terlupakan. Tetapi serial tersebut pelan-pelan ditinggalkan para penggemar kecilnya ketika mulai sering menyampaikan pesan-pesan pembangunan.

Anak-anak memerlukan karakter yang sehidup dan sekuat itu. Mereka perlu menikmati petualangan yang menyenangkan, menikmati dunia tanpa campur tangan orang dewasa yang gemar menasihati dan suka mengatur.

Dengan latar belakang seperti itu, sayembara penulisan cerita anak-anak tahun ini, yang merupakan penyelenggaraan pertama oleh Dewan Kesenian Jakarta, bisa kita maknai sebagai ajakan untuk lebih memperhatikan mutu bacaan anak-anak. Ia meminta kita ikut berpikir bahwa, dalam urusannya dengan penumbuhan budaya membaca, setiap orang seharusnya mendapatkan buku-buku terbaik sejak dini usia mereka. Semua tahu itu, atau semua orang dewasa yang menginginkan anak-anak tumbuh sebagai pecinta buku tahu itu, namun mereka perlu juga diingatkan.

Kriteria Penjurian

Dewan juri sayembara cerita anak-anak Dewan Kesenian Jakarta 2019 menilai naskah para peserta dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

  1. Keunggulan berbahasa dan ketangkasan bercerita. Ini syarat penting, sebab orang tidak mungkin melahirkan cerita yang menarik tanpa keunggulan berbahasa, dan cerita akan cenderung bertele-tele tanpa ketangkasan bercerita.

 

  1. Kemampuan menciptakan karakter yang membuat pembaca anak-anak bisa menyukainya , bersimpati, atau mengidentifikasi diri dengannya. Dengan karakter semacam ini, pembaca akan bisa menikmati petualangan yang ditawarkan dan mendapatkan pengalaman baru seusai pembacaan.

 

  1. Beres secara keperajinan, baik di tingkat kata, kalimat, maupun paragraf. Penulis mampu memilih kosakata yang tepat untuk pembacanya, mampu mengkomposisikan semua elemen penulisan secara baik. Ia mampu mengatur nada, irama, menyusun kalimat, dan menyeleksi detail yang paling relevan untuk ditampilkan.

 

  1. Memahami aspek metaforis suatu cerita. Ia boleh mengajarkan nilai-nilai, pengetahuan, cara hidup ‘yang semestinya’ di tengah masyarakat, atau hal-hal lain yang dianggap penting untuk disampaikan kepada anak-anak, tetapi pesan hanya disampaikan tersirat melalui cerita yang menarik dan bukan melalui petuah langsung dalam bentuk apa pun.

Pemandangan Umum atas Naskah-Naskah yang Masuk

Dari 198 naskah yang lolos seleksi administrasi oleh panitia, dewan juri mencatat bahwa secara umum kualitas naskah tidak menggembirakan. Dan ada satu catatan khusus: Delapan puluh persen dari jumlah itu bercerita tentang masa liburan ke rumah nenek atau kakek. Ini mengejutkan. Mereka seperti tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang pelajaran bahasa Indonesia di kelas 3 atau 4 SD. Bertahun-tahun kemudian, ketika masa itu sudah jauh terlewati, mereka masih tetap menulis cerita seolah-olah sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru saat mereka kembali dari liburan semester. Kegagalan mereka menemukan tema lain di luar liburan ke rumah nenek atau kakek mengindikasikan satu masalah serius: mereka tidak banyak membaca buku. Mereka seperti berangkat ke medan perang tanpa persenjataan dan amunisi.

Di bawah ini adalah catatan-catatan lebih rinci tentang sejumlah gejala yang kami temui selama masa penjurian:

  1. Secara umum para peserta sayembara ini tidak menulis untuk anak-anak, tetapi menulis tentang anak-anak. Hal ini terlihat dari diksi, suara narator, dan pandangan dunia orang dewasa yang menyusup ke dalam penceritaan. Dengan semua itu, deskripsi mereka tentang peristiwa, tentang suasana, atau, yang paling lazim, tentang emosi-emosi para tokohnya menjadi jauh dari tipikal anak-anak. Tokoh anak-anak di dalam cerita menjadi tidak wajar dan, karena itu, tidak meyakinkan sebagai anak-anak. Hanya sedikit dari peserta yang mampu bercerita untuk anak-anak, tetapi mereka tidak memiliki cerita menarik.

 

  1. Rata-rata peserta memiliki stamina yang tinggi dalam menulis. Karya-karya mereka kebanyakan cukup tebal atau bahkan sangat tebal untuk ukuran anak-anak (ada yang sampai 340 halaman). Bisa dikatakan ketebalan rata-rata naskah di atas 100 halaman. Mereka seolah meyakini bahwa karya yang baik adalah atau selayaknya banyak halamannya; dan novel yang tipis terasa tidak meyakinkan dan niscaya tidak bagus.

 

  1. Stamina tinggi tersebut, sayangnya, tidak diimbangi dengan keperajinan yang memadai. Kecakapan mereka, kesanggupan menyusun kalimat, penguasaan tata bahasa, dan kemampuan membangun komposisi masih belum cukup untuk menghasilkan cerita yang beres, apalagi memikat pembaca anak-anak. Karena itu, rata-rata naskah hanya tulisan dengan tujuan memperpanjang teks, demi memenuhi angka di atas 100 halaman.

 

  1. Semua peserta bahkan seperti tidak peduli atau tidak memikirkan bagaimana cara membuka cerita secara patut. Hampir semua, misalnya, membuka cerita dengan detail-detail yang tidak perlu. Mungkin saja rincian-rincian tersebut layak dipaparkan, tetapi cukup buruk bila ia disajikan di bagian awal sehingga berisiko membuat pembacanya (anak-anak) sejak awal sudah terintimidasi dengan sajian panjang-lebar yang melelahkan mengenai tempat-tempat, nama-nama, dan hal-hal lainnya yang bertele-tele sebagai pembuka cerita.

 

  1. Tidak ada satu pun peserta yang mampu menciptakan karakter yang kuat, yang mengesankan, atau yang layak diingat karena sikap dan tindakan-tindakannya, meskipun hal-hal tersebut tidak niscaya harus yang bersifat moralistik.

 

  1. Dialog merupakan kelemahan pada semua naskah. Para peserta tampaknya tidak membedakan antara dialog dalam fiksi dan transkrip percakapan sehari-hari. Akibatnya, dialog dalam cerita-cerita mereka secara umum membosankan.

 

  1. Di sisi lain tidak sedikit peserta yang terlalu bernafsu menjejalkan nasihat atau ajaran-ajaran moralistik (khususnya moralitas religius) kepada pembacanya. Semangat semacam ini tentu luhur belaka, tetapi mengandung risiko tinggi bahwa ia akan membuat anak-anak bosan oleh cara dan isi yang klise. Apalagi penyajiannya lebih bersifat menyatakan, bukan menunjukkan (telling, not showing).

 

  1. Beberapa karya menunjukkan prospek yang cukup baik, seperti terlihat di bagian awal cerita. Dengan kalimat yang beres dan paragraf pendek-pendek, mereka menunjukkan pemahaman tentang daya tahan anak-anak dalam membaca. Tapi dari segi substansi cerita, karya-karya yang memenuhi kualifikasi ini pun tidak cukup kuat sebagai cerita. Sedangkan beberapa lainnya terasa benar sebagai karya terjemahan atau setidak-tidaknya saduran, seperti terlihat dari fraseologi atau pola gramatikal yang kurang lazim dalam bahasa Indonesia, juga pada nama-nama tempat dan tokoh-tokohnya. Tentu latar-belakang “asing” tidak terlarang. Masalahnya: keasingan latar-belakang itu lebih mencerminkan asal-usul naskah (asli), bukan demi menyajikan kekuatan cerita.

Pemenang Harapan

Catatan-catatan negatif di atas memperlihatkan bahwa naskah-naskah cerita anak yang diikutkan dalam lomba belum mampu memenuhi kriteria penilaian. Dalam situasi ini, dewan juri akhirnya memutuskan memilih cerita-cerita yang lebih lancar, lebih wajar, dan lebih enak dibaca. Dengan pertimbangan itulah akhirnya kami, dewan juri, memutuskan sembilan naskah di bawah ini sebagai pemenang harapan, dalam posisi setara. Mereka adalah:

  1. Seruni (16). Seruni adalah kisah tentang gadis kecil yang berbeda dari anak-anak lain. Ia pendiam, tak punya teman, dianggap gila, tapi ia bisa dengan tenang bermain bersama kucing-kucing liar. Suatu hari ia bertemu dengan Elang, anak kota yang berlibur di kampungnya. Persahabatan terjalin sejak Seruni menolong Elang dari gangguan anak-anak kampung. Cerita ini mengangkat hubungan sahabat dua anak berkebutuhan khusus dan punya alur yang cukup menarik. Sayang penulis tergoda untuk membuatnya berpanjang-panjang dan penuh dengan deskripsi yang sangat panjang.

 

  1. Kedai Sulap (21). Ia ditulis sebagai cerita dalam cerita, dengan para tokoh nyata dan tokoh dongeng bertemu di tengah jalan. Sebagai ide, ia menarik meskipun bukan hal baru dalam penulisan fiksi. Namun, tanpa kerangka yang jelas, cerita ini menjadi terlalu bertele-tele untuk ditarik sepanjang 100 halaman.

 

  1. Ciwiri dan Dunia Balik (46). Ia membaurkan dunia khayal dan dunia nyata, dan melakukan percobaan menarik dengan mengangkat keyakinan dalam tradisi masyarakat sebagai bahan untuk cerita petualangan anak-anak. Sayang, cara penuturannya kurang rapi, agak tersendat-sendat, dan terasa kepanjangan di beberapa bagian. Ia perlu dijadikan lebih ketat.

 

  1. Adventuria: Bertahan Hidup di Pulau Misterius (47). Cerita ini ditulis dengan teknik pilih sendiri petualanganmu. Ia menyajikan petualangan menarik, dengan banyak percabangan, namun, sebagaimana naskah-naskah lain, penceritaannya lamban dan bertele-tele.

 

  1. Hei, Alga (73). Cerita ini cukup mampu menggambarkan psikologi anak-anak, dan wajar dalam menggambarkan persahabatan dua anak yang sama-sama sengsara. Hanya ia terlalu murung, dengan dua kali tokoh utamanya memikirkan bunuh diri, dan si tokoh tidak menunjukkan upaya maksimal untuk mengatasi keadaannya. Ia melawan keadaan, tetapi tidak cukup kuat, sehingga terasa hanya seperti tokoh yang tidak berdaya diombang-ambingkan nasib.

 

  1. Jalan Pulang (83). Ia mengisahkan pertemuan seorang anak dengan anak lain penghuni bulan dan mereka lalu bertualang ke tempat-tempat yang hanya ada di negeri fantasi. Cerita berjalan lancar, dengan teknik kilas balik yang dimunculkan melalui ingatan-ingatan si tokoh utama, baik dalam perjalanan atau ketika mereka mengunjungi tiap tempat. Dengan cara itu pembaca diperkenalkan kepada tokoh lain yang ia rindukan kasih sayangnya, juga dengan tokoh yang menjadi pelindungnya. Si anak akhirnya mendapatkan apa yang ia inginkan, kasih sayang, tetapi pada saat yang sama harus berpisah dengan orang yang selama ini menyayanginya.

 

  1. Bocah-Bocah Bekasi (84). Ia bercerita tentang perlawanan seorang anak untuk mempertahankan dunia kanak-kanaknya. Si tokoh mula-mula kehilangan persahabatan dengan teman-temannya. Ia harus pindah ke tempat baru, mendapatkan nama baru dan menanggung segala konsekuensi yang melekat pada nama barunya, dan berupaya keras menikmati lingkungan barunya. Ia harus menanggung semua akibat untuk kesalahan yang dilakukan orang dewasa. Dan akhirnya ia harus bertarung lagi dengan orang tuanya untuk mempertahankan kebahagiaan yang sudah ia upayakan. Si bocah memenangi pertarungan terakhirnya dengan cara yang khas kanak-kanak.

 

  1. Sindu dan Menara Ajaib di Belakang Rumah Sihir (145). Cerita ini ditulis dengan kalimat-kalimat yang rapi, meskipun, seperti juga yang lain-lain, ia terasa bertele-tele. Tempat kejadian, nama-nama, dan terutama idiom kultural yang digunakan di sana hanya sedikit menunjukkan “rasa Indonesia.” Membaca naskah Sindu kita akan merasa seperti membaca cerita terjemahan.

 

  1. Mel, Wil, dan Lubang di Dinding (161). Cerita tentang persahabatan anak perempuan penghuni gubuk liar dan bocah lelaki yang kaya raya. Dengan latar belakang sekolahan yang menerapkan aturan-aturan agama secara ketat, cerita ini mampu menyusupkan, secara jenaka melalui tindakan si gadis liar, beberapa pertanyaan menyangkut praktik-praktik yang dijalankan di sekolah tersebut. Hanya saja ia terasa kurang intens dan diakhiri dengan si gadis liar harus menerima keadaan. Ia dikalahkan oleh penggusuran dan cerita selesai di situ.

Pemenang

Untuk pemenang pertama, kedua, dan ketiga, inilah kesepakatan dewan juri:

  1. Juara pertama, tidak ada.
  2. Juara kedua, tidak ada.
  3. Juara ketiga, tidak ada.

Demikian keputusan kami selaku dewan juri sayembara penulisan cerita anak-anak DKJ 2019.

Jakarta, Desember 2019

Dewan Juri:

A.S. Laksana

Hamid Basyaib

Reda Gaudiamo