Prof. Salim Said, Ph.D, berpulang di RSCM, Sabtu, 18 Mei 2024, 19.33 WIB.  Hidup, kiprah, sumbangsih lelaki kelahiran Parepare 10 November 1943, yang hingga akhir hayatnya tinggal di Jalan Redaksi No 149, Komplek Wartawan PWI Cipinang, Jakarta Timur itu menyentuh banyak orang dan bidang, dari politik, pers, pendidikan, militer, pemerintahan, hingga seni.

Termasuk menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) hampir 10 tahun lamanya.

Seorang wartawan muda datang ke TIM. Beberapa waktu sebelumnya dia menonton pementasan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, di Teater Arena. Salim Said, waktu itu Ketua DKJ, melihatnya dan langsung memanggilnya.

“Sem, Sem, sini, Sem,” kata Salim Said.

“Ah, kena saya,” pikir wartawan muda itu. Ini pasti terkait tulisannya atas pementasan teater itu. Dan benar. Salim lalu mengkritik tulisan kritik itu.

“Kau harus bedakan apa itu dramatika dan dramaturgi,” kata Salim Said.

Wartawan muda itu adalah N. Syamsuddin Ch. Haesy. Kini dia anggota Akademi Jakarta (AJ). Dulu dia menulis di banyak media termasuk Kantor Berita Antara.

Itulah kenangan yang tak bisa dilupakan oleh Bang Sem, panggilan akrab Syamsuddin.  “Beliau itu sangat peduli pada anak-anak muda terutama wartawan yang tertarik menulis kritik seni. Dan waktu itu tak banyak,” kata Bang Sem yang merasa sikap kritisnya, wawasan seninya, banyak dibentuk oleh Salim Said.

Salim Said (pernah ingin jadi seniman) tapi dia bukan seniman. Dia manusia langka yang lengkap wawasan keilmuannya, dan luas jejaring pergaulannya. Dia dikenal sebagai kritikus film yang tajam. Tulisan-tulisan kritiknya selalu muncul di Tempo, majalah yang ikut ia dirikan.

“Kalau belum membaca kritik beliau, kita rasanya tak punya bekal untuk menonton film dengan kritis,” kata Bang Sem.

Kewibawaannya dalam kritik seni itulah yang membuatnya dipercaya menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada masanyalah, bisa dikatakan, seni di Jakarta, khususnya di TIM menunjukkan puncak kegairahan yang sangat dinamis. Pameran tunggal lukisan Affandi, S. Soedjojono, Nassar, Zaini, Basuki Abdullah, bisa digelar berurutan di tahun yang sama, bertahun-tahun. Juga pementasan teater Rendra, Arifin C. Noer, hingga Putu Wijaya.

“Jadi, pada tahun-tahun itu TIM itu bergairah sekali,” kata Bang Sem.

Kegairahan pencarian artistik dan estetik itu, diimbangi atau bahkan terdorong oleh pembacaan lewat kritik yang juga bergairah. Salim Said nerjasa mendorong situasi itu tercipta.

Dia sosok yang punya otoritas keilmuan, latar akademik, dan teknik menulis yang baik, sehingga pandangan kritiknya punya dimensi yang luas. Sikap itulah yang dia kembangkan, dia tularkan ke penulis dan wartawan muda. Salim Said tahu, kritik seni harus dikerjakan seiring dengan perkembangan karya seni.

Yang juga mengagumkan pada diri Salim Said, di mata Bang Sem adalah keluasan pergaulannya. Dia bisa masuk di kalangan militer, politisi, dan tentu saja seniman dan wartawan, dengan sama intensnya. Tanpa mencampur-baurkan kepentingan di tiap lingkungan yang ia masuki itu.

Kedekatannya dengan penyair membuat Sutardji Calzoum Bachri menulis satu puisi untuknya. Judulnya “Bayangkan” (1977). Puisi yang khas Sutardji, yang memakai imaji minuman keras untuk masuk ke permenungan tentang eksistensi manusia di dunia.

Petikannya: bayangkan kalau tak ada ada anak-anak di bumi / aku kan lupa bagaimana menangis katanya... lalu ditutup dengan: lalu diambilnya pistol dari laci / bayangkan kalau aku tak mati mati katanya / dan ditembaknya kepala sendiri / bayangkan.

Salim Said sejak remaja tertarik pada sastra. Lalu tertarik seni peran, belajar teater dan menyutradarai drama. Pernah pula tampil sebagai aktor. Ia juga belajar film. Tapi ia menyadari kemudian bahwa bakat seninya tak sebesar daya kritisnya.

Skripsi Salim Said kemudian terbit dalam judul terjemahan “Shadows on The Silver Screen: A Social History of Indonesian Film”.

Ketika menjadi Ketua DKJ, Salim Said berhasil menggalang pembentukan dewan kesenian di seluruh Indonesia. Pada konferensi ketiga Dewan Kesenian Indonesia di Ujung Pandang, 1992, Salim Said, berhasil melakukan  lobi agar dewan kesenian disebar ke seluruh Indonesia. Pemerintah  menanggapi secara positif bahwa setiap provinsi harus  memiliki Dewan Kesenian.

Bappenas menyetujui untuk  mengalokasikan dana untuk dewan-dewan kesenian tersebut ke Departemen Dalam Negeri yang akan dibagikan kepada pemerintah provinsi yang pada  gilirannya akan mengawasi pembentukan dewan kesenian di provinsi mereka  masing-masing.

Penulis: Hasan Aspahani
Sumber foto: Antara News