SAMBUTAN

Ketua Dewan Kesenian Jakarta

Marco Kusumawijaya

Pada Acara Pembukaan Pameran Jakarta Biennale 2009

Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

6 Februari 2009

———————————————————————————

Ada dua perbedaan pokok antara Bienale Jakarta sebelumnya dengan Jakarta Biennale 2009. Pertama, ini kali pertama ia bersifat internasional. Kedua, ia disandingkan dengan berbagai kegiatan dari berbagai cabang seni, dalam suatu kerangka lebih besar yang disebut “Arena”.

Kami berharap dengan demikian Jakarta Biennale 2009 dapat lebih dinikmati oleh kalangan lebih beragam, oleh khalayak luas, sambil memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian sebagai sarana untuk memahami dunia sekeliling kita—ruang, kota, dunia—lebih mendalam, secara bebas di ruang-ruang khayalak.

Kita makin memerlukan prasarana khalayak yang sungguh terbuka dan inklusif, untuk membantu terselenggaranya integrasi masyarakat perkotaan. Kita tahu, kota-kota Indonesia—mungkin juga diseluruh Asia Tenggara dan dunia pada umumnya—sedang menghadapi 3 ancaman yang saling terkait: peran negara (sebagai wakil dari “yang publik”) yang makin menyusut, privatisasi yang makin meluas, dan sektarianisme yang makin agresif. Semuanya mudah dirasakan di ruang-ruang khalayak kita. Kita juga tahu, bahwa tidak mudah memelihara “yang publik” itu seratus persen. Misalnya, Gedung Imigrasi (a.k.a Gedung Kunstkring) di Jakarta yang telah diselamatkan—dibeli kembali dan dipugar—dengan dana APBD, telah kehilangan kepublikannya karena harus tergantung kepada swasta untuk pemanfaatan dan pemeliharaannya, menjadi suatu restoran kelas atas.

Sedang melalui pasar makin banyak karya seni menjadi simpanan di ruang-ruang pribadi. Sementara itu, ruang-ruang khalayak seperti museum dan lain-lain makin tidak punya kemampuan memelihara, apalagi menambah, koleksinya untuk dinikmati khalayak bersama. Harus kita akui, kota-kota kita memang telah berkembang tidak dengan sejarah kelas burjuasi yang kuat dan tercerahkan. Museum-museum di kota Jakarta terbangun bukan sebagai institusi masyarakat warga kota, tidak dengan dasar gairah yang kuat mengakar di masyarakat luas, tetapi secara tergesa-gesa sebagai milik negara yang juga belum memiliki sejarah sebagai pengelola yang baik. Belakangan ini makin gencar kita mendengar munculnya museum-museum koleksi pribadi. Kita belum tahu sejauh apa integritas museum-museum itu akan dapat menjadikannya bersifat cukup terbuka dan inklusif. Mungkin kita lebih tahu, bahwa museum-museum milik negara yang pasti akan mengalami kemunduran terus menerus.

Senyampang makin menyurutnya peran negara sebagai representasi “yang-publik”, makin besar pula “yang-swasta” berambisi menjadi atau menyatakan dirinya publik. “Yang publik” tidak lagi mendasarkan dirinya pada suatu konsensus institusional, melainkan pada pertarungan kuasa dan citra. Mau tidak mau warga kota masa kini terus menerus berada dalam kewaspadaan terhadap pergeseran-pergeseran tersebut.

Selain sebagai kesempatan membaca perkembangan senirupa, sebagaimana layak dan seharusnya suatu biennale, Jakarta Biennale 2009 juga bermaksud menegaskan keberadaan dan kehadiran khalayak dalam berbagai bentuknya yang mungkin di berbagai rupa ruang kota yang muncul dari pergeseran-pergeseran tersebut. Kesenian adalah juga medium. Dengan demikian kita dapat menilai beragam wujud khalayak dan ruang-khalayak itu sendiri, dan memperoleh suatu rasa akan perubahan yang sedang terjadi pada masyarakat kota dan kotanya.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh panitia, seniman dan kurator yang telah serta mewujudkan Jakarta Biennale 2009. Mereka telah membantu kita memahami dunia secara kreatif. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua mitra kerja DKJ—kedutaan besar, pusat kebudayaan asing, sponsor, pemilik dan pengelola tempat, dan tentu saja media dan rekan-rekan wartawan. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada kepada Gubernur DKI Jakarta, Bp Fauzi Bowo, dan segenap jajaran Pemda DKI Jakarta yang dengan aktif membantu terselenggaranya seluruh rangkaian kegiatan Jakarta Biennale 2009.

Kini saya ingin memohon kesediaan, dan mempersilakan bapak Fauzi Bowo untuk memberi sambutan dan membuka acara utama Jakarta Biennale 2009. Bapak Fauzi Bowo saya mohon kesediaannya untuk naik ke teras ini.