Dewan Kesenian Jakarta | Jakarta Arts Council

Dua Forum Teater Riset

Loading Events

Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta mengadakan diskusi Dua Forum Teater Riset pada Sabtu, 1 Oktober 2016 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Pukul 15.00-18.00 WIB
1. sesajen tengkorak musuh.
dayak sikukng. Mercuri dan
zat-zat tak terdeteksi

Narasumber:

  • Eksa Agung Wijaya
  • Maywin Dwi Asmara

Moderator: Heru Joni Putra

Kafe Aktor: Krisno Bossa

Kita akan menemukan gambaran kehidupan Dayak Sikukng. Selama 5 tahun lebih, Eksa Agung Wijaya memasuki rimba kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan. Membuat dokumentasi dalam banyak perjalanan seorang diri. Salah satu di antaranya memasuki Adalah: masyarakat Dayak yang hidup di sekitar gunung Sunjang. Masyarakat ini disebut sebagai Dayak Sikukng: Memiliki mitos paling ditakuti dengan tradisi “mengayau”. Dan Agung menemukan realitas lain di luar mitos ini. Sikukng berarti “terjauh” atau “terakhir”.

Tahun 2013, Agung masuk ke dalam kehidupan Dayak Sikukng. Dan Entikong menempuh perjalanan sungai, 10 jam sampai Sikukng. Di antaranya, mengikuti upacara Nyobeng: upacara mensucikan tengkorak kepala musuh, yang dapat dilihat dari video dokumenter yang dibuat Agung. Tengkorak musuh ini, dirawat dan disimpan di rumah baluk. Upacara diadakan selepas panen, sebagai ucap syukur pada Tuhan (Jubata). Dan memperlihatkan tradisi hormat Dayak Sikukng, terhadap roh-roh musuh mereka.

Forum ini berdampingan dengan salah satu penelitan tentang merkuri yang dilakukan seorang periset dari Lombok: Maywin. Aktivitas pertambangan di Nusa Tenggara Barat dimulai tahun 2008 di daerah Sekotong, Lombok Barat, kemudian menyebar ke daerah Sumbawa tahun 2010. Peningkatan harga emas internasional yang mencapai US$1700/ons pada akhir tahun 2012 merupakan salah satu pemicu meningkatnya aktivitas pertambangan emas sekala kecil di daerah Sumbawa.

Aktifitas pertambangan rakyat memainkan peranan penting dalam masyarakat berkembang. Pertambangan emas skala kecil dapat menjadi sumber utama pendapatan bagi masyarakat pedesaan, dan dapat memberikan pendapatan untuk investasi. Hasil survey yang diperoleh  membuktikan bahwa pendapatan masyarakat semakin meningkat karena adanya aktivitas petambangan tersebut. Sebelum masuknya pertambangan ke daerah mereka, penghasilan yang di peroleh dari pendapatan sebagai petani rata-rata perhari adalah sebesar Rp20.000–45.000. Namun setelah aktivitas pertambangan mulai giat dilakukan, pendapatan masyarakat meningkat hingga mencapai Rp750.000 per harinya.

Selain membawa perubahan ekonomi, aktivitas pertambangan juga membawa banyak perubahan pada sektor soasial dan budaya masyarakat, karena tingginya tingkat pendatang yang berasal dari pulau lain yang juga bekerja sebagai penambang di daerah Sumbawa. Selain itu, dampak lain dari aktivitas pertambangan sekala kecil atau tambang rakyat adalah tingginya tingkat kerusakan lingkungan. Pertambangan rakyat ditandai dengan lingkaran kemiskinan: diawali dengan penemuan, migrasi, dan kemakmuran ekonomi relatif, diikuti oleh penipisan sumber daya, migrasi keluar dan kemiskinan ekonomi. Setelah cadangan emas yang mudah dieksploitasi menipis, areal pertambangan ditinggalkan, dan para penambang terus berekplorasi dengan mewariskan kerusakan lingkungan dan kemiskinan yang ekstrim.

Kerusakan lingkungan disebabkan penggunaan merkuri (Hg). Merkuri, secara tradisional merupakan metode yang paling umum untuk mendapatkan emas oleh penambang rakyat. Teknik ini lebih disukai karena dianggap efektif, mudah digunakan, murah, dan merkuri selalu tersedia di pasar. Namun, dengan sifatnya yang beracun dapat menimbulkan gejala keracunan pada manusia dengan level yang bervariasi, yaitu dari ketidakmampuan belajar sampai pada  kapasitas mental yang sangat berkurang. Melalui rambut memperoleh nilai rata-rata kandungan mercuri dalam tubuh penambang adalah sebesar 12,99 ppm.

Pukul 19.00 – 22.00 WIB
2. “THE HUM …” Suara Angkasa.
maju ke belakang. glocal metal.
transversing cultures. kejawen.
post-kolonial. mundur ke depan. kontrakini

Narasumber:

  • Yuka Dian Marendra
  • Farris Karamy Gibran

Moderator: Heru Joni Putra

Presentasi Musik: BINTANG PULSAR
Flukeminimix – Farris Karamy Gibran – Ine Arini – Budi Dalton Setiawan

Judul tema ini memang dibuat panjang dan chaos untuk memperlihatkan dan membuka diri dalam melihat kondisi noise pada setiap aktivasi pembacaan di sekitar sejarah maupun medan identitas yang bergerak di sekitar kita. Berangkat dari hasil penelitian yang dilakukan Yuka Dian Nerendra dan Eksa Agung Wijaya. Yuka melakukan riset di sekitar gerakan komunitas-komunitas metal di Jawa. Anak-anak muda yang ngelakoni dunia kejawen, membawanya ke dalam khasanah musik metal masakini. Wacana di sekitar identitas jawa maupun post-colonial di tangan komunitas metal ini merupakan kerja nyata bagaimana sebuah medan budaya mereka bentuk dengan cara mereka sendiri. Apakah gerakan mereka bisa disebut sebagai bentuk boikot terhadap fenomena penyeragaman identitas seperti yang kita lihat belakangan ini, baik melalui kapitalisasi media maupun kapitalisasi agama?

Di sini lain, kali ini teater memasuki tema yang akan membuatnya seperti rumah gila, yaitu angkasa. Apakah tubuh aktor, tubuh semua kita, bisa mengalami angkasa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “angkasa” dipahami sebagai lapisan udara yang melingkupi bumi, tebalnya 300 KM. Juga dipahami sebagai langit, awang-awang. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Online, “angkasa luar” dipahami sebagai “ruang di luar lapisan udara”. Angkasa, dalam forum ini, akan didekati sebagai “suara”.

Tahun 1960-an, isu bahwa angkasa memiliki suara mulai terdengar. Walau orang tidak percaya, bagaimana ruang hampa udara bisa mengantarkan gelombang suara. Lebih lagi, kalau suara itu bisa didengar di bumi, karena bumi tidak memiliki media perambat suara dengan 300 KM lapisan udara yang membalutnya, dan memisahkannya dengan angkasa di luarnya.

Isu suara-suara angkasa ini mulai muncul lagi sejak NASA mengeluarkan rekaman suara-suara dari beberapa planet, termasuk planet bumi yang bisa dilihat kita akses di Youtube. Bagaimana fenomena ini bisa dijelaskan? Ada banyak teori dengan berbagai media maupun perangkat teknologi yang digunakan. Salah satu teori menyatakan:

Coba tutup pintu dan jendela, matikan semua peralatan elektronik dan berdiam dirilah sejenak. Tiba-tiba kita merasa semua suara menjadi lenyap dan kemudian suara berdengung aneh mulai terdengar di telinga kita. Mungkin anda pernah mengalaminya dan bertanya : Suara apakah yang barusan terdengar? Inilah fenomena yang disebut “The Earth’s Hum” atau “dengungan bumi”.

Suara itu dikenal dengan sebutan atmospheric infrasound. Memiliki frekuensi rendah untuk dapat didengar telinga manusia, di bawah 20 hertz. Ilmuwan Daniel Bowman, yang membuat peralatan rekam suara angkasa menyebut suara tersebut sebagai‘The X-Files’, karena tidak terlacak.

Pandangan lain lebih bersifat estetis, bahwa bumi, juga planet-planet lain, sama seperti burung kenari yang suka bernyanyi dengan notasi yang tidak terhitung banyaknya. Ingatlah serangga “tonggerek” dengan suara elektrik-digitalnya itu, terus berbunyi nonstop dengan frekuensi tinggi tanpa kita tahu sumber dan jumlahnya.

Pengantar ini akan membawa kita ke Pulsating Star (Bintang Pulsar), hasil penelitian Gustaff H. Iskandar tentang suara-suara di angkasa. Imaji dari hasil penelitian menghasilkan sebuah pentas kolaborasi bersama Flukeminimix, Ine Arini dan Budi Dalton Setiawan.

Rangkaian acara Dua Forum Teater Riset ini gratis dan terbuka untuk umum.

 

[accordian divider_line=”” class=”” id=””]
[toggle title=”Profil Pengisi Acara” open=”no”]

Eksa Agung Wijaya
Lahir di Trenggalek, 27 agustus 1968. Pernah kuliah di ISI Denpasar. I985 s/d 1987 Pernah gabung dengan Teater Alam, Yogjakarta; 1989 s/d1996 dengan Sanggar Posti, Denpasar; terlibat beberapa garapan baik sebagai pemain dan penata artistik. 1997 Mendirikan teater GOT di Denpasar; 1995 s/d 2000 melatih teater di SMA Swastiastu Denpasar; 2002 mendirikan Teater X Gas di ISI Denpasar. Pameran lukisan Dan seni instalasi; 1997 pameran lukisan bersama di museum bali;  2000 Pameran tunggal di Gallery Bali Mangsi, Denpasar; 2002 pameran bersama di Hotel Radin, Sanur bali; pameran seni isntalasi seni perdamaian di art centre bali; 2006 pameran tunggal seni instalasi 200 patung di lapangan parkir lapangan Puputan, Denpasar; 2006 s/d 2012 aktif membuat dokumenter para seniman Bali; 2010 sampai beberapa tahun kedepan membuat dokumenter suku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat).

 

Maywin Dwi Asmara
Lahir di Bengkel, Lombok Barat, 3 Mei 1992. Menyelesaikan studi formal pada ilmu Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram. Semenjak remaja terlibat dalam proyek-proyek teater. Antara lain diundang ke Batu, Malang, Jawa Timur pada tahun 2009 untuk proyek seni ‘Teater Untuk Rekonsiliasi Konflik’. Ia menulis cerita pendek yang beberapa disiarkan di surat kabar. Disamping itu ia juga terlibat dalam komunitas fotografi serta gemar membuat drawing. Ikut terlibat dalam beberapa penelitian untuk meningkatkan kualitas pertanian dan menjadi panitia dalam seminar internasional ‘ Biodiversity and climate change’. Tahun 2015 ia mendapat research fellow dari Universita di Bologna, Italia. Di negeri pizza ini ia menyelesaikan sejumlah ceritanya. Kini ia menetap di kota kelahirannya.)

 

Krisno Bossa
Seorang actor mime, teater dan film. Pendiri Kijang Group, Krisnomime Theatre. Beberapa kali nominasi FTV. The Best Ururoting Akto. Mendapat piala Vidya; Suara Satu Festival, Pantomime Kelompok. Pendidikan akhir LPKJ.

 

Yuka Dian Narendra Mangoenkoesoemo
Lahir di Jakarta tanggal 15 September 1972. Lulusan program studi desain komunikasi visual, Fakultas Desain dan Tehnik Perencanaan Universitas Pelita Harapan, Tangerang. 2001-2004 sebagai staf pengajar di jurusan desain komunikasi visual dan desain interior Universitas Pelita Harapan. 2003 sebagai staf pengajar Cybermedia College. Aktif dalam produksi rekaman independen diantaranya solo album Bonita bulan Mei 2003, solo album Goska Banka Juli 2003, album Riza Arshad Trioscapes “In Concert” September 2003, “Rosewood” dirilis oleh Kintan Music/Alfa Records Februari 2004, album Maya Hasan/Jalu Pratidina “Duet”.

 

BINTANG PULSAR
Flukeminimix – Farris Karamy Gibran – Ine Arini – Budi Dalton Setiawan
Seni dan ilmu pengetahuan (sains) konon seperti dua sisi mata uang. Dua disiplin ilmu yang seolah tidak saling terhubung, akan tetapi ternyata bermuara pada satu gambaran besar yang utuh; Semesta. Semesta adalah muara dari segala disiplin keilmuan. Semesta adalah segala awal dan segala akhir. 

Flukeminimix bersama Gustaff H. Iskandar dan Ine Arini menggelar sebuah projek kolaborasi yang diberi nama Pulsating Star (Bintang Pulsar). Projek ini sebuah usaha untuk mempertemukan, mendekatkan dan mengakrabkan kembali antara manusia dengan alamnya, manusia dengan semestanya, manusia dengan Tuhannya; melalui sebuah eksperimentasi bebas di mana seni dan ilmu pengetahuan dipadukan dan diolah menjadi sebuah bentuk gerak, suara, musik dan visualisasi yang saling merespon antara satu dengan lainnya sehingga terjalin menjadi suatu kesatuan utuh yang harmonis. Projek ini juga merupakan sebuah simbolisasi bahwa seni dan ilmu pengetahuan dapat berkolaborasi dan saling mengisi satu dengan yang lainnya untuk kebaikan umat manusia.

Seni yang dimaksudkan pada projek Pulsating Star ini adalah berupa tari kontemporer dan musik eksperimental beserta visualisasi pendukungnya. Sedangkan ilmu pengetahuan (sains) yang dimaksudkan adalah data saintifik berupa rekaman gelombang radio yang direkam oleh Teleskop Radio di Observatorium Bosscha, Lembang, Indonesia.

Pertunjukan pertama Pulsating Star digelar di Wisma Kerkhoven, di Observatorium Bosscha, 20 April 2013. Pertunjukan ini juga merupakan bagian dari Bulan Budaya Bernalar Indonesia – STEAMFest 2013. Gustaff H. Iskandar memainkan rekaman Rha-Jah (Rajah Buhun: Mantra Sunda Kuno yang berisi harapan dan tuntunan; juga berisi tentang cerita mengenai asal-usul manusia dan penciptaan alam semesta) yang dibawakan oleh Budi “Dalton” Setiawan diiringi oleh suara gelombang radio dari Bintik Matahari yang direkam oleh Observatorium Bosscha pada tahun 2012; sampling suara gelombang radio pulsar PSR B0329+54 yang memiliki priode 0.71452 rotasi/detik, dan Gamelan elektro-akustik. Flukeminimix merespon bebunyian tersebut dengan musik yang mereka mainkan; dan Ine Arini meresponnya dengan tarian.

Pertunjukan kedua diberi nama “Menyapa Semesta” digelar pada 24 Mei 2013 di Padepokan Seni Mayang Sunda, Bandung. Masih dengan konsep ekperimentasi yang sama dengan pertunjukan sebelumnya, akan tetapi kali ini Rajah dibawakan secara live oleh Hermana HMT dan Flukeminimix dibantu oleh iringan violin dari Ary Piul.

Pertunjukan-pertunjukan ini direkam ekseklusif secara live dan diabadikan dalam bentuk film dokumenter oleh Sunday Screen [Merespon Ruang]. Film Dokumenter ini didedikasikan penuh untuk Observatorium Bosscha, K. A. R. Bosscha (15 Mei 1865 – 26 November 1928), R. A. Kerkhoven (27 Agustus 1879 – 6 Februari 1940), J. G. E. Gijsbertus Voûte (7 Juni 1879 – 20 Agustus 1963, astronom Belanda, penggagas Observatorium Bosscha, Direktur Observatorium Bosscha pertama, 1923 – 1940) dan Jocelyn Bell Burnell (15 Juli 1943, astrofisikawan dari Irlandia Utara, penemu Bintang Pulsar). Merupakan hasil kerjasama dari Observatorium Bosscha, Commonroom, Pohaci Studio, Flukeminimix dan Sunday Screen.

[/toggle]
[/accordian]

Leave A Comment

Go to Top