Komite Film DKJ bersama Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ) mengadakan program bedah buku Sinema pada Masa Soekarno karya Tanete Pong Masak, seorang akademisi yang mendedikasikan kepakarannya untuk mengkaji masalah perfilman. Buku Sinema pada masa Soekarno merupakan disertasi doktoral Tanete Pong Masak pada saat kuliah di Paris. Disertasi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Jimmy Ph Paat, seorang pengajar di Jurusan Bahasa Prancis, dan diterbitkan dalam format buku.

“Buku ini adalah salah satu buku terbaik. Jarang sekali buku film sejarah yang kaya akan gizi sejarahnya. Padat, karena disiplin sejarahnya dipakai,” ujar Hikmat Darmawan, Ketua Komite Film DKJ.

Buku Sinema pada Masa Soekarno merupakan salah satu dari sedikit buku yang berkaitan dengan sejarah film tanah air. Buku ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi para pemerhati, serta pelaku film Indonesia.

Bedah buku tersebut diadakan pada:

Jumat, 12 Agustus 2016, pukul 16.00 WIB
kineforum, Taman Ismail Marzuki.

Penulis Tanete Pong Masak akan hadir sebagai nara sumber, didampingi Seno Gumira Ajidarma (Sastrawan dan Kritikus Film) sebagai penanggap (discussant) dan akan dimoderatori oleh Hikmat Darmawan (Ketua Komite Film DKJ dan Kritikus Film).

Sebagai bagian dari rangkaian acara diskusi ini, Komite Film DKJ juga menayangkan film yang berkaitan dengan masa Soekarno. Film-film yang diputar menggambarkan karakter pejuang pada kurun waktu 1945–1966, baik dalam konteks saat dia berjuang dalam pertempuran perang dan saat dia berjuang dalam pertempuran pascaperang dalam masyarakatnya sendiri. Pemutaran ini akan diselenggarakan pada 3-18 Agustus 2016. Film-film tersebut adalah Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja (1951), Embun (1951), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), Pagar Kawat Berduri (1961). Pemutaran dan penayangan film berdonasi Rp 15.000 (Senin, Rabu-Jumat); Rp 20.000 (Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional).

 

Mengenai Tanete Pong Masak

Beliau lahir di tahun 1953 di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Pada usia 7 tahun, ketika pertama kali nonton film layar tancap yang dibawa oleh tentara dari pusat, dia langsung jatuh cinta pada medium ini. Di tengah kuburan Makale film yang ditonton adalah Si Pintjang (1952) karya Kotot Soekardi. Pada malam itu, Taneté pun berjanji akan menjadikan sinema sebagai tujuan penelitian dalam hidupnya. Kemudian ia belajar di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanudin (1973-1976). Ia lantas dianugerahi beasiswa dari pemerintah Perancis (1976-1980) untuk belajar linguistik terapan dan budaya Perancis di Université de Franche-Comté, Besancon, Perancis.

Setelah menyelesaikan jenjang S1, dia mengambil DEA (S2), kemudian Doktor bidang sejarah sosial dan sinema di Ecolé des Hautes Études en Sciences Sociales, Paris (1980-1989). Dia menjadi dosen Bahasa Indonesia di INACCO Universitas Paris selama empat tahun (1985-1989). Pada 2006, ia menjadi Ketua Dewan Juri layar lebar PPFI. Sekarang ia mengajar sebagai dosen tetap Ilmu Sosial dan Sinema, Communication School, di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta.

 

SINOPSIS

Darah dan Doa (1950)

13892213_1130504927006518_7260714848140399040_nPrd: Perfini (Usmar Ismail), Spectra Film Exchange. Std: Usmar Ismail. Skn: Usmar Ismail. Crt: Sitor Situmorang. Ftg: Max Tera. Art: Basuki Resobowo. Edt: Max Tera. Msk: Tjok Sinsu. Sra: Sjawaludin. Pem: Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johana, Suzanna, Rd Ismail, Muradi, Muhsjirsani, Ella Bergen, A Rachman, Rosihan Anwar.

Mengisahkan perjalanan panjang (long march) prajurit RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Ditunjukkan ketegangan sepanjang jalan dan dalam menghadapi serangan udara dari musuh, Belanda. Juga ketakutan dan penderitaan lainnya, tak ketinggalan disinggung adanya pengkhianatan.

Enam Djam di Jogja (1951)

13906815_1131161970274147_4556294811412836632_nPrd: Perfini (Usmar Ismail). Std: Usmar Ismail. Skn: Gajus Siagian. Crt: Usmar Ismail. Ftg: Max Tera. Art: Basuki Resobowo. Edt: Max Tera, Djohan Sjafri. Msk: GRW Sinsu. Sra: Sjawaludin. Pem: Del Juzar, Aedy Moward, Rd Ismail, M Sani, D Arifin, Agus Muljono, Hardjo Muljo, R Sutjipto, N Damajanti, H Al Rasjid, Ismiendari, S Mardjono, Ospati, S Ardya

Setelah Yogyakarta diduduki Belanda (Desember 1948), pasukan Republik Indonesia melakukan perang gerilya. Pada suatu ketika, Yogya diserbu dan bisa diduduki, walau cuma selama enam jam. “Serangan Oemoem” pada 1 Maret 1949 itu sekedar menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI masih punya kekuatan, dan tidak (belum) hancur seperti dipropagandakan Belanda. Film ini dengan sadar melukiskan peristiwa nyata terkenal dalam sejarah revolusi Indonesia itu dengan cara fiktif, karena merasa dokumen-dokumen yang ada masih belum lengkap dan takut menyinggung berbagai pihak. Yang dilukiskan adalah kerja sama antara rakyat, tentara dan pemerintah. Meski fiktif, tapi fakta nyata menjadi acuannya dan kisah disuguhkan lebih dari sisi rakyat atau tentara yang berpangkat rendah.

Embun (1951)

Prd: Perfini (Surjosumanto). Std: D.Djajakusuma. Skn: D.Djajakusuma, Basuki Resobowo, Gajus Siagian. Crt: Usmar Ismail. Ftg: Max Tera. Edt: Soemardjono. Art: Soemardjono. Msk: GRW Sinsu. Sra: Sjawaludin, Bob Saltzman. Pem: Rd Ismail, AN Alcaff, Titi Savitri, Aedy Moward, Iskandar Sucarno, Cassim Abbas, Muljono, D Arifin, Hardjo Muljo, Hamidy T Djamil, Rasmina

Selepas masa revolusi, Leman (AN Alcaff) diajak Barjo (Rd Ismail) untuk mencari sumbangan dari para pengusaha. Ada yang memberi, ada yang menolak. Salah satu yang menolak ini menimbulkan pertengkaran hingga terbunuh oleh Leman. Leman pun lari ke Jakarta dan kembali ke desa setelah beberapa lama. Ternyata Barjo sudah jadi orang kaya dan membuka perjudian, pelacuran dan mengawini kakak Leman. Leman berusaha menghindari Barjo dan ingin jadi petani biasa.

Lewat Djam Malam (1954)

13882657_1130007860389558_2708290502857821083_nPrd: Perfini (Usmar Ismail), Persari (Djamaluddin Malik). Std: Usmar Ismail. Skn: Asrul Sani. Crt: Asrul Sani. Ftg: Max Tera. Edt: Soemardjono, Djohar Sjafi. Art: Abdul Chalid. Msk: GRW Sinsu. Sra: Bob Saltzman. Pem: AN Alcaff, Netty Herawati, Dhalia, Bambang Hermanto, Rd Ismail, Awaludin, Titien Sumarni, Aedy Moward, Astaman, A Hadi, Wahid Chan, S Taharnunu, Lukman Jusuf

Mengisahkan seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff) yang kembali ke masyarakat dan mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus menghantuinya. Tepat pada jam malam (curfew) yang sedang diberlakukan, ia masuk ke rumah pacarnya, Norma (Netty Herawati). Itulah awal film yang masa kejadiannya hanya dua hari. Keesokannya ia dimasukkan kerja ke kantor gubernuran tetapi tidak betah dan malah cekcok. Dengan kawan lamanya, Gafar (Awaludin), yang sudah jadi pemborong, ia juga tak merasa cocok. Ia masih mencari kerja yang sesuai dengan dirinya. Iskandar pun bertemu Gunawan (Rd. Ismail) yang justru membuatnya semakin muak setelah melihat kekayaan dan cara-cara Gunawab berbisnis. Kemarahannya memuncak setelah mengetahui bahwa Gunawan merampas harta perempuan yang ditembak Iskandar itu dan menggunakan harta rampasan tersebut untuk modal usahanya sekarang.

Pejuang (1960)

Prd: Perfini (Usmar Ismail). Std: Usmar Ismail. Skn: Usmar Ismail. Crt: Usmar Ismail. Ftg: Max Tera. Edt: Soemardjono. Art: Ardi Ahmad. Msk: GRW Sinsu, Sjaiful Bachri. Sra: E. Sambas. Pem: Bambang Hermanto, Chitra Dewi, Rendra Karno, Bambang Irawan, Farida Arriany, Ismed M Noor, Lies Noor, Wolly Sutinah, Ariati, Hamidy T Djamil, Soendjoto Adibroto, Pitrajaya Burnama, Mansjur Sjah

Sekitar tahun 1947, sebuah pleton pimpinan Letnan Amin (Rendra Karno) mendapat tugas untuk mempertahankan sebuah jembatan yang sangat strategis. Di balik pasukan itu, berlindung sejumlah pengungsi. Antara lain Irma (Chitra Dewi), anak keluarga menengah yang sinis terhadap perjuangan kemerdekaan. Antara Amin dan Irma terjalin hubungan kasih, yang mereka sembunyikan. Sersan mayor Imron (Bambang Hermanto) yang urakan ternyata juga menaruh hati atas Irma.

Pagar Kawat Berduri (1961)

13895512_1134522796604731_2130967063094461057_nPrd: Kedjora Film. Std: Asrul Sani. Skn: Asrul Sani, Wahju Sihombing. Crt: Trisnojuwono. Ftg: Sjamsuddin Jusuf. Pem: Sukarno M Noor, Ismed M Noor, Bernard Ijzerdraat, Wahab Abdi, Mansjur Sjah

Dalam sebuah kamp Belanda di masa revolusi fisik, terdapat sejumlah pejuang yang ditawan. Hampir semua berusaha lari, tapi tidak gampang. Sementara yang lain coba mencari jalan meloloskan diri, Parman (Sukarno M. Noor) justru bersahabat dengan Koenen (B. Ijzerdraat), salah seorang perwira Belanda. Parman mendekati Koenen dengan maksud mencari informasi namun perbincangan keduanya justru menuju pada suatu refleksi tentang penjajahan dari dua sudut pandang yang berbeda.