Latar belakang

Seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu tidak kekurangan naskah, pada Sayembara Novel DKJ 2019 ini kami menerima 216 naskah yang lolos syarat administratif. Sisanya sejumlah 6 naskah tidak lolos seleksi administrasi. Naskah-naskah itu datang dari DKI Jakarta, Lampung, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bangka-Belitung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, hingga Kairo, Mesir.

Dengan banyaknya naskah peserta sayembara dari tahun ke tahun, kami yakin bahwa kreativitas penulisan novel, atau sastra Indonesia pada umumnya, jauh dari kata surut. Juga bahwa geografi kepengarangan sastra Indonesia tidak melulu berpusat di Jakarta atau kota-kota besar di Jawa, tetapi menyebar hampir ke seluruh provinsi di Indonesia. Dapat dipastikan negeri ini tidak akan kehabisan bakat-bakat baru, para pengarang usia muda, yang mudah-mudahan cemerlang di kemudian hari.

Namun, sebuah sayembara membutuhkan pemenang. Untuk menentukan para pemenang kami tidak melulu berdebat atau mempertarungkan selera masing-masing dan melakukan kompromi, tetapi juga tetap berpedoman kepada Kriteria Penjurian seperti tercantum dalam maklumat sayembara yang beredar sejak pertengahan tahun ini.

Kriteria penjurian

Penjurian sayembara novel tahun ini berpatokan kepada empat kriteria. Keempatnya kait-mengait dengan batas yang lebur satu sama lain:

  1. Kecakapan berbahasa Indonesia

Kata Indonesia dalam frasa “novel Indonesia” menyiratkan pentingnya peran bahasa Indonesia dalam penulisan novel. Ia bukan hanya bahasa yang digunakan sebagai media penulisan, tetapi juga kefasihan mengekspresikan gagasan ke dalam tulisan, dalam arti sejauh mana pengarang dapat menyusun kalimat secara jernih dan efektif, serta memberdayakan kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Tanpa penguasaan bahasa Indonesia yang piawai, mustahil seorang pengarang bisa menghasilkan novel yang cemerlang.

  1. Keperajinan sastrawi

Kecemerlangan sebuah novel juga ditentukan oleh kepiawaian pengarang menyatakan watak kesastraan novel itu. Artinya, dia mempertaruhkan seluruh pengetahuan dan kecakapan sastrawinya dalam menata elemen-elemen intrinsik sebuah novel. Berangkat dari ide dasar, lalu penyusunan alur, penokohan, latar, logika cerita, dan seterusnya, yang menggerakkan sekaligus menyatukan seluruh elemen novel ke dalam bangun cerita yang dapat dipercaya. Keperajinan juga dapat diukur hingga pada tataran kalimat dan kata. Yaitu, bagaimana pengarang berajin-rajin dalam menyusun kalimat, memilih kata yang tepat, tidak malas mengecek kamus untuk memeriksa makna kata ataupun sekadar ejaan yang betul, sehingga dapat menghasilkan naskah yang bersih.

  1. Kebaruan

Tanpa hasrat akan kebaruan, sebuah penulisan novel hanya akan tergiring ke kerja yang semenjana dan karya sastra yang itu-itu saja. Gelora kebaruan niscaya mendorong seorang pengarang untuk bereksperimentasi sehingga menghasilkan sebuah karya yang bisa menyegarkan atau memperbarui khazanah sastra, baik dalam hal gagasan, bentuk, isi, stilistika penceritaan, dan sebagainya. Capaian semacam ini selalu akan membawa pada kekhasan karya yang selalu dapat terbedakan di antara novel lain yang banyak.

  1. Keselarasan bentuk dan isi

Menulis novel bukan melulu perkara menyatakan pokok soal yang sudah dipilih, tetapi juga perkara bagaimana mewujudkan semua itu melalui kecakapan sastrawi dengan logika yang baik sesuai bangun cerita. Dalam keselarasan yang ideal, bentuk dan isi novel selalu saling mempengaruhi dan menguatkan, padu tanpa menyisakan celah atau rumpang.

Tinjauan Umum Naskah

Secara umum, naskah-naskah yang masuk dalam sayembara kali ini dapat ditandai sebagai berikut:

  1. Keragaman genre: fiksi sejarah, fiksi ilmiah, fiksi fantasi, novel anak, novel remaja yang mengolah kisah cinta, fiksi etnografis, hingga fiksi didaktis-religius yang berpretensi mendidik dan menasihati pembaca.
  2. Maraknya fiksi terjemahan dalam bahasa Indonesia juga menggiring para peserta untuk menulis novel serupa. Misalnya, naskah yang kekorea-koreaan penuh melodrama, fiksi fantasi dan fiksi ilmiah yang kejepang-jepangan atau ke-holywood-holywood-an. Keinginan mengikuti arus besar penulisan fiksi terjemahan dan derivatif ini membuat para peserta kehilangan kemampuan untuk memilih tema yang unik atau menjadi miliknya sendiri. Yang juga sangat mencolok adalah sejumlah naskah kelatin-latinan yang meniru langgam fiksi realisme magis. Pengarang meniru idolanya mentah-mentah atau secara formulaik, khususnya Gabriel García Márquez, yaitu realisme magis, multi-generasi, dan disentuhkan pada luka sejarah dari masa lalu, dan seterusnya. Hasilnya, adaptasi dari negeri seberang yang menjadi aneh, karena karakter, nama atau latar cerita seakan dipindahkan begitu saja. Padahal, khazanah negeri sendiri tidak kurang kegaiban atau “kemagisan” yang dapat dieksplorasi secara berbeda. Ada pula beberapa naskah yang meniru gaya sastrawan Indonesia yang telah mapan dan mudah dikenali. Gejala ini memperlihatkan pengarang kita mudah terjebak ke dalam suatu formula tulisan yang telah teruji, atau dipuji dan digemari, sehingga yang ada hanyalah karya-karya mirip Si Ini atau Si Itu dengan kwalitet kelas dua dan tiga. Pengarang umumnya tidak punya semangat bereksperimen untuk menciptakan kesegaran sastra—yang tentu penuh risiko. Sungguh sebuah jalan sunyi. Namun, yang menggembirakan, di antara dua ratusan lebih naskah ada dua-tiga naskah yang berani berbeda menempuh jalan sunyi: berarti hanya sekitar 1%. Mereka menampakkan gairah eksperimen yang bermain-main, baik dalam gagasan, bentuk dan isi.
  3. Jika tidak meniru khazanah luar, pengarang menulis kampung halaman mereka dengan hasrat pemandu wisata. Novel jadi belepotan istilah lokal yang kerap tidak diterjemahkan, juga pilihan cerita tanpa kekhasan ataupun kelokalan-spesifik suatu daerah: hal-hal seperti budaya-tradisi, karakter manusia dan suku, ragam bahasa, dan sebagainya, yang tentu berbeda-beda di antara suku yang banyak di negeri ini. Artinya, jika kisah itu dipindahkan ke daerah lain, dengan memasang tokoh dan bahasa setempat lainnya, kisah itu akan tetap berjalan.
  4. Di luar orientasi kepengarangan yang seperti itu, kami juga mendapati kemampuan menulis yang rata-rata masih sangat bermasalah. Yang pertama adalah penggunaan bahasa Indonesia yang masih jauh dari mahir. Kalimat-kalimat disusun tanpa juntrungan, atau tidak cukup jelas untuk mengatakan satu hal. Atau, para pengarang ingin sekali menghadirkan kalimat-kalimat puitis-filosofis yang membuat sebuah novel keluar dari kewajaran berbahasa. Begitu juga naskah dengan kosakata yang terlampau genit dan justru menjauhkan makna, ketika Tesaurus dipakai seperti steroid yang kelebihan dosis.
  5. Dalam perkara mengolah elemen intrinsik sastra, umumnya naskah lemah dalam penokohan, alur, logika cerita, sudut pandang, dan seterusnya. Baik lemah dalam salah dua atau tiga elemen ataupun lemah secara merata di seluruh bagian. Dalam penokohan misalnya, jika tidak terjebak dalam stereotipe, hitam-putih esktrem ala sinetron, maka tokoh-tokoh novel adalah perpanjangan kuasa narator-pengarang. Tokoh-tokoh novel bukanlah subjek yang wajar, otonom dan hidup dengan nalarnya sendiri. Ataupun punya karakter individual yang berbeda-beda sebanyak umat manusia itu sendiri. Beberapa novel polifonik atau multi-penutur dengan karakter yang semestinya majemuk, sama sekali tidak menampilkan pembedaan atau kekhasan individual pada masing-masing narasinya: baik perbedaan perspektif atau bias, struktur naratif, suara dan cara berbahasa, dan sebagainya. Hanya ada monolog penulis yang pukul rata dari awal hingga akhir. Ada pula yang gagal memilih sudut pandang, dengan menggunakan sudut pandang orang pertama dalam naskahnya yang seharusnya sudut pandang orang ketiga. Akibatnya tokoh “aku” menjadi pencerita serbatahu, yang tidak terbatas, meliputi detail peristiwa dan isi hati para tokoh lainnya.
  6. Masalah elementer lain adalah logika cerita dan alur peristiwa. Sejumlah naskah muncul sebagai novel realisme, tetapi bertebaran dengan hal-hal tak masuk akal atau diada-adakan yang seakan meremehkan benak pembaca. Atau katakanlah, sub-subplot yang terlalu berjejal-jejal, ruwet ketimbang kompleks. Sebaliknya, naskah-naskah beralur generik yang mudah ditebak. Juga misalnya, alur cerita yang ingin non-linier, tetapi kedodoran dalam menautkan kronologi dan sebab-akibat, sehingga menyisakan rumpang yang menganga di sana-sini.
  7. Dalam deskripsi kisah dan dialog, banyak naskah yang bertele-tele dan terjebak ke dalam perincian yang tidak perlu hingga tebalnya satu rim, atau dialog tak ubahnya hasil transkripsi obrolan. Mereka lupa bahwa fiksi bukanlah salinan persis kenyataan yang khaotik, tetapi hasil penataan bentuk dan isi yang diselenggarakan sang pengarang. Selain itu, tampak kehendak untuk menggurui pembaca lewat dialog dan peristiwa penuh hikmah, pengaranglah empunya kebenaran sejati. Membaca novel kemudian bukan lagi tamasya sastra yang menyenangkan, tetapi keharusan mendengarkan ocehan juru khotbah yang menganggap pembaca adalah makhluk Tuhan yang tersesat dan mesti diselamatkan di dunia fana ini.
  8. Keperajinan: sebagian besar naskah seakan “antikeperajinan” dalam hal bahasa, tidak berajin-rajin dengan kalimat dan kata. Kita dapat menjumpai tebaran kalimat-kalimat yang malas, buram, atau ruwet, yang semestinya masih dapat ditulis ulang. Banyak naskah yang tampak tidak disunting, dengan kata-kata yang makna dan ejaannya keliru, atau terjemahan serampangan dari bahasa asing. Tak hanya sekadar soal bahasa atau ekspresi gagasan, hal ini menyiratkan kemalasan untuk bersikap kritis, meragukan dan memeriksa kembali pikiran sendiri berikut penuangannya ke dalam tulisan. Hasilnya adalah naskah yang terburu-buru, instan, lekas berpuas diri, dengan banyak kekeliruan yang dapat dihindari jika saja pengarang-pengarangnya lebih rajin.

 

Naskah yang Menarik Perhatian

Kendati banyak masalah yang merundung naskah peserta sayembara kali ini, kami sebagai juri bertanggung jawab untuk mencermati dan mencari naskah-naskah yang relatif lebih baik di antara sekian ratus jumlah. Sebelum sampai kepada naskah-naskah yang menjadi juara, berikut paparan ringkas enam naskah yang menarik perhatian atau menjanjikan. Sesuai nomor urut yaitu, Menanti Sage Brous Pulang (06), Rencana Besar (Untuk Mati Dengan Tenang) (35), Hikayat Lembayang (72), Cadl (103), Cerita Cinta tentang Kucing (150), Burung Kayu (169).

Kami tidak dapat mengklaim bahwa keenam naskah ini siap terbit ataupun layak terbit dalam bentuknya saat ini. Naskah-naskah ini punya sejumlah masalah serius dalam derajat yang berbeda-beda, tetapi berpotensi menjadi naskah yang lebih baik dengan berbagai perubahan dan penyuntingan mendasar agar kelak layak terbit. Satu masalah terpenting adalah bagaimana menampilkan logika fiksional yang meyakinkan dan tepercaya. Gagasan atau premis cerita masih perlu ditertibkan atau dipertajam logikanya, juga alur peristiwa yang kendor dengan sebab-akibat yang tidak masuk akal. Ada naskah-naskah yang perspektif pengarangnya belum cukup objektif dan adil, bukan hanya antar bagian satu dengan lainnya, tetapi juga antar karakter, dalam arti karakterisasi dan relasi mereka timpang. Atau, jika sebuah kisah berpretensi melantur, lanturan melebar jauh ke mana-mana seakan berada di luar penguasaan dan kendali pengarang. Sekacau apa pun bentuk sebuah novel, ia tetaplah tunduk pada tata bentuk dan logika tertentu sesuai bangun cerita. Ada naskah dengan cerita distopia, berani bereksperimen dengan menerapkan restriksi atau pembatasan tertentu dalam cerita, tetapi kemudian restriksi tersebut menjadi akar beberapa masalah dalam naskah. Ada pula naskah berwarna lokal yang memikat dan kuat, tetapi pengisahannya ingin otentik “seindah warna aslinya”, tanpa merasa perlu untuk menerjemahkan bahasa daerah sehingga makna kerap buram atau hilang. Pengarangnya kurang percaya pada kemampuan bahasa Indonesia sebagai media penulisan yang dapat dipahami semua orang Indonesia.

Empat Pemenang 

Juara keempat: tidak ada. Kami melihat ada rentang cukup jauh dalam hal kualitas dan keunggulan ketiga pemenang berikut ini, yang sayangnya belum mampu terseberangi oleh keenam naskah yang disebutkan sebelumnya.

Juara Ketiga: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga (37). Naskah dengan penutur seorang gadis kecil bermata juling yang mengisahkan kehidupan petani cengkih di Desa Kon, Maluku. Mulai dari pembunuhan, kehidupan sebuah keluarga yang didominasi perempuan, cerita berbingkai dengan elemen supranatural, hingga monopoli tata niaga cengkih yang merugikan rakyat dan perlawanan mereka yang diabaikan. Dengan pelukisan suasana dan tradisi lokal yang kuat, pemerian karakter yang wajar dan hidup, naskah ini mengedepankan warga desa yang sederhana dalam hidupnya, di tengah pelbagai masalah yang merundung mereka. Novel etnogtrafis ini tidak terjebak untuk sok eksotis, tetapi tampil wajar, termasuk tuturan bahasa Indonesia rasa lokal khas masyarakat setempat. Meski demikian, masih ada beberapa kalimat yang gramatikanya aneh. Juga sejumlah kekeliruan ejaan dan tanda baca, tetapi sekadar suntingan minor. 

Juara Kedua: Sang Keris (61). Naskah bertokoh sebilah keris, Kyai Kanjeng Karonsih, sebagai pengelana waktu yang berpindah-pindah tangan melintasi sejarah Indonesia. Sejak kelahiran mistikalnya di kahyangan dalam kosmologi Jawa, turun menitis ke masa kerajaan Jawa kuno Hindu-Buddha, kemudian era pengujung kejayaan Majapahit, masuknya Islam, masa Kemerdekaan, hingga zaman modern. Dari yang mitologis bergerak ke yang historis. Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panjang dan pendek, beberapa dapat berdiri sebagai cerita tersendiri. Bentuk novel terbilang rumit, memperlihatkan keberanian untuk menguji-coba bentuk dan isi. Sifat serba-melintasi berlaku bukan hanya pada tokoh, zaman, atau tataran realitas yang berbeda, tetapi juga ragam bahasa yang berubah-ubah sesuai ruang dan waktu, serta sudut pandang pengisahan yang berubah-ubah dengan alusi yang halus mengarah kepada tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia. Sesekali tata kalimat agak janggal, beberapa frasa Jawa tanpa terjemahan, juga kata yang keliru atau salah eja, tetapi tak banyak.

Juara Pertama: Aib dan Nasib (128).  Bercerita tentang kehidupan sejumlah warga desa Tegalurung, Jawa Barat. Naskah ini salah satu dari segelintir yang punya gairah eksperimen: mawas-bentuk, dengan fragmen-fragmen yang ketat, berlapis-lapis dan susul-menyusul. Fragmen-fragmen episodik yang ringkas satu-dua halaman itu tampak disiplin dan konsisten: bergerak beriringan, keluar-masuk, maju-mundur, hingga bagian akhir yang kembali lagi ke awal dalam bentuk sirkuler, dengan peralihan yang cukup mulus. Penyusunan fragmen yang ketat membuat novel ini terasa padat, dengan akhir menggantung yang penuh kejutan hampir di tiap fragmen. Tokoh utama berjumlah cukup banyak, namun karakterisasi setiapnya bulat dan distingtif, saling menimpakan sebab dan akibat yang kait-mengait dalam aib dan nasib mereka. Meski tidak menggunakan bahasa Indonesia yang berpretensi sastrawi, novel ini dikisahkan dengan bahasa yang relatif baik dan lentur, serta humor khas daerah. Hampir tidak ada kalimat atau frasa yang goyah. Meski demikian, masih ada beberapa kata yang hilang atau mubazir, juga kosakata lokal yang luput diterjemahkan.

Demikian pertanggungjawaban kami selaku Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2019. Selamat kepada para pemenang!

Cikini, 15 November 2019

Dewan Juri

 

Linda Christanty

Nukila Amal

Zen Hae