Oleh Yustiansyah Lesmana (Teater Ghanta)
Kereta menuju Yogyakarta selalu terasa penuh. Setidaknya di border check in terlihat begitu ramai antrian orang yang ingin pulang ke kotamu. Ya, kamu. Siapapun yang pernah bernostalgia melalukan perjalanan besi yang selalu mungkin memunculkan apa saja, termasuk alienasi tubuh yang melelahkan selama 8 jam. Saya bertolak dari stasiun senen malam itu naik kereta Progo tujuan Lempuyangan. Mengincar ‘Jalan Tikus’ yang akan di buka Teater Garasi. Sendirian.
Istilah ‘Jalan tikus’ memang menggoda. Selain karena ber-shio Tikus, buat saya, yang selalu bertahan dalam menghadapi jalan-jalan utama Ibukota, istilah itu terdengar seperti sebuah kebutuhan: upaya menghindar dari kemacetan dan problematika waktu yang harus memuai. Tapi ketika kata ‘jalan tikus’ dipakai sebagai istilah untuk menunjuk nama acara ‘buka studio Teater Garasi 7 hari 7 malam’, entah kenapa saya merasa masuk ke dalam “politik keadaan” yang lain, yang mengantarkan saya sampai di Lempuyangan pada pagi 14 Januari 2018.
Setelah nyeruput teh gula batu di depan stasiun, saya nge-gojek ke basecamp Teater Garasi yang baru di renovasi itu. Lumayan dekat dan hampir tidak perlu menggunakan jalan tikus. Jalan utamanya masih normal, bersahaja dan melonggarkan nafas. Sesampainya di sana saya melihat beberapa perubahan fisik pada bangunan lama. Yang pertama kali terlihat adalah plat jaring berkarat yang membentang sepanjang atap di depan bangunan. Desainnya minimalis, di salah satu bagian, memusat perhatian, terpasang akronim TG/GPI dengan dimensi timbul yang bisa menyala kalau malam hari. Sebuah kombinasi artistik yang merubah wajah depan tanpa menghilangkan wajah yang lama: genteng masih terlihat di balik plat jaring itu. Seperti di makeup.
Perubahan kedua ada di sebelah kiri bangunan sampai ke belakang. Sebuah koridor memanjang yang memiliki 5 fungsi: arus keluar masuk pengunjung, meja tamu/tiket, ruang tunggu, galeri merchandise dan sebuah tempat kecil penyimpanan barang. Semuanya memiliki akses ke ruang ruang yang lain.
Ketiga adalah yang sebelumnya Gudang penyimpanan di belakang selasar. Bagian itulah yang kini menjadi studio. Tempat yang kelak akan hilir mudik banyak peristiwa penciptaan. Luasnya 7 kali 11 meter persegi. Lengkap dengan perabotan panggung yang lumayan berkualitas: lantai kayu (bisa juga pakai karpet lantai khusus pertunjukan), tiang-tiang lampu, proyektor 5000 lumens+brecket, sound yang oke, serta mixer lampu dan musik yang high-tech. Pokoknya bisa membuat orang-orang Teater iri. Terus diam-diam Kepingin juga di “endorse” sama Badan Ekonomi Kreatif.
Atau (kalau benar-benar kepingin) bisa langsung cek mericek disini:
http://www.bekraf.go.id/berita/page/17/84-petunjuk-teknis-bantuan-pemerintah-untuk-fasilitasi-revitalisasi-infrastruktur-fisik-ruang-kreatif-sarana-ruang-kreatif-dan-teknologi-informasi-komunikasi
Nah karena banyak yang kepingin, maka membagi kebahagian paska renovasi melalui program Bekraf, Garasi membuat serangkai platform acara yang berisi hampir semua mata seni pertunjukan. Acara itu merupakan sebuah syukuran/hajatan yang kalau di kampung-kampung bisa jadi terbilang mewah, karena dilakukan 7 hari 7 malam. Sebagai awalan, istilah 7 hari 7 malam terdengar relijius sekaligus klenik. Ia dilekatkan pada praktik seni sebagai perayaan untuk mengharap berokah dan keselamatan. Dengan begitu afdol sudah, rasa syukur yang berkepanjangan dan bermanfaat bagi orang lain yang datang menikmatinya selama sepekan. Bahasa keren lainnya mungkin long launching. Upaya Teater untuk membuka akses bagi semua bentuk kemungkinan seni telah hadir di Yogyakarta. Kombinasi ruang-program dengan dinding lentur namun juga ketat, mulai pelan-pelan dirancang agar dapat berkesinambungan.
***
Setiap hari acara bergulir, pagi-siang, sore-malam, saya ngos-ngos-an, 7 hari 7 malam.
Bahkan saya tidak bisa menuliskan semua peristiwa yang terjadi. Lebih bisa menyerapnya diam-diam dan mengurainya pelan-pelan. Tubuh saya seperti menjadi lintasan peristiwa pertemuan yang begitu padat. Melelahkan, karena di Jakarta saya jarang menemukan ritme ‘festival’ sekencang ini: pagi diskusi (Majelis Dramaturgi), Sore Diskusi, malam menyaksikan pertunjukan dan dipantik diskusi lagi. Saya cuma bisa membagi secara singkat beberapa peristiwa yang masih berjejak kuat dalam ingatan saya:
Misalnya pada Cabaret Chairil: ruang transit untuk menampilkan reportoar pertunjukan eksperimental lintas medium dan disipilin. Pada malam pertama, ketika 69 Performance Club mempresentasikan ‘Out Of in The Penal Colony: The Partisan Edition’, Ferial Afif mempresentasikan ‘resfreshing’ dan Tamara Pertamina ‘Untitle’, Joned Suryatmoko, sebagai moderator dan pemantik diskusi melemparkan isu “intimidasi” atas ruang dan subjek yang saling menegang. Pertanyaan-pertanyaan seputar kerangka kuratorial, format, durasi bahkan bentuk terhadap setiap karya presenter, terkait ruang menjadi agenda yang panas dan melarut. Di samping itu, kelindan tukar-pinjam atas praktik disipilin Teater dan performance art kerap terjepit pada tekanan yang sama dan saling membutuhkan: apa yang ingin diucapkan atas posisi kepenontonan.
Kitchen Talk’ oleh Yudha Fehung dan Aumdayu juga merupakan sesi yang menarik. Keduanya bekerja melalui media fotografi. Pada Yudha, Fotografi berangkat dari pengalaman atas pemaknaan keluarga ke dalam sebuah bentuk “tubuh”. Dengan model partisipatorik, Fehung membebaskan para partisipan untuk bermain-main dengan bentuk tubuh atas keluarga. Namun ia mengunci satu pemaknaan tunggal atas ‘kepala’ di dalam tubuh ‘keluarga’. Fehung hanya menginginkan satu kepala yang muncul dalam setiap karyanya dalam project ini; Kecuali ketika ia memotret sebuah komunitas. Dalam praktiknya, ia menyediakan berbagai kain aneka warna untuk digunakan oleh partisipan yang mau difoto untuk menutupi tubuh mereka, sehingga mereka tampak menjadi satu tubuh. Untuk urusan pose Fehung membebaskan partisipannya untuk berekspresi. Namun hanya membolehkan satu kepala yang muncul untuk difoto. Bisa saja ini merupakan sebuah ‘potret’ otoritas umum atas pemaknaan keluarga dalam kultur masyarakat kita. Tapi dengan struktur partispatorik yang terbuka, fehung justru mengunci kepala partisipan dengan kepala yang dibayangkannya sendiri.
Sedangkan fotografi pada kerja Aumdayu tegas berbeda dari project yang di bikin Fehung, dari balik karya-karyanya, saya tertarik dengan platform kelas foto cerita yang ia bangun di Bandung. Dari paparannya, terasa fotografi tidak ditempatkan (melulu) sebagai materi tehnik. Bersama peserta kelasnya yang terdiri dari berbagai kalangan usia dan profesi, Aum, sebagai fasilitator menempatkan fotografi sebagai medium untuk menyimpan cerita. Dalam kelasnya, setiap peserta saling berbagi cerita. Apa saja, yang paling dekat dan mudah untuk dibagi. Cerita menjadi kerangka dasar bagaimana fotografi selanjutnya ditindaki. Di akhir kelas, biasanya 8 kali pertemuan, Aum menginisiasi sebuah antalogi saku berisi cerita berikut hasil foto (yang tidak harus tehnikal) yang diberi nama project “kami punya cerita”/ we have our own story”.
Di ruang Openlab: laboratorium terbuka untuk mengolah, memperkuat dan atau mengujicobakan karya kehadapan jaringan seniman dan publik (Work in Progres). Dendy bersama artery performa dan sanggar O mempresentasikan 3 penggalan pertunjukan Teater Sae: Migrasi-pertumbuhan-Yanti. Dengan format copy-paste, pertunjukan itu benar-benar memberi saya ekspektasi untuk berjumpa pada momok hantu Sae. Kerja template pada reenachment karya Sae ini terinspirasi dari about Kazuo-nya Takao Kawaguchi di Pembukaan Art Summit Indonesia 2017. ‘NYAE’ (Work in Progres) memang disodorkan sebagai kerja yang terbuka oleh Dendy. Beberapa soal yang muncul dalam diskusi ialah: SAE itu sendiri, Arsip yang cacat, dan dimana teks ke tiga?, dalam hal ini Dendy dan kawan-kawan. Ketiganya terpantulkan dalam presentasi: black out, konsistensi durasi adegan, keaktoran dan durasi latihan, serta ketidaktepatan teks. Dendy sangat memiliki kesempatan untuk memposisikan Sae, sejarah dan dirinya menjadi karya yang utuh pada proyek ini.
A Brief History of Dance yang dipresentasikan Inyonk/Ari Dwianto berpijak pada narasi personal Inyonk sendiri sebagai pribadi yang tumbuh dan dibentuk dalam otoritas sebuah rezim (Orba). Dari titik itu, Inyonk membagi kisah pertumbuhannya. Menceritakan lingkungan yang mengitarinya. Dari mulai ibu di rumah, kolong tempat tidur, PKI sampai bulu ketek Eva Arnaz. Presentasi teks itu diucapkan dengan satu titik blocking dan tubuh yang tegang, malu, polos, terkunci menahan gerak. Hanya pada teks tertentu tubuh membuat kode dengan gerak yang kecil. Bahkan sangat kecil. Pertunjukan itu terasa segar, tidak jarang ledakan tawa bergemuruh merespon cerita yang dihadirkan. Teks seolah berubah menjadi koreografi. Ia cukup berhasil mengendalikan gerak imaji dan emosi penonton. Sedangkan tubuh Inyonk merepresentasikan sejarah yang membentuknya. Karya ini memposisikan tubuh dan teks sebagai alat untuk berdialog terhadap soal ruang dan waktu. Sejarah dan hari ini. Juga dalam praktiknya, memancing pertanyaan kritis atas Teater dan Tari. Bahasa dan gerak.
Peluncuran buku ‘Kembang Sepasang’ (Gunawan Maryanto) dan ‘Gentayangan’ (Intan Paramaditha), Klub Nonton dan Periksa: Komedi, Gelap, Menonton filem Turang (Akbar Yumni), Macapatan Bedhahing Kutha Ngayogyakarta (Paksi Rara Alit), Dongeng Prajurit, WYST: Musik Eksperimental, Kuda Hitam di Pintu Pagar (Fitridancework), Baladewa (Sutrianingsih), Di Jalan Tikus (Melancholic Bitch) adalah pertunjukan lain yang menarik yang disajikan dalam Open studio ini. Semuanya penuh dengan dialog kreatif.
***
Tampaknya membuka ruang pertemuan, pertukaran, dialog, sebagai bagian dari disiplin Teater menjadi watak dan kesadaran Teater Garasi. Dengan kesadaran tersebut, Teater menjadi kultur yang terbuka dan kritis. Terutama pada sejarah yang membentuknya (di Indonesia), dan Garasi diuntungkan sebagai generasi 90-an yang panas dan reformis itu. Produk gagal orde baru yang berhadapan dengan sajarah dan harapan masa depan: yang barangkali dengan itu menemukan cara-cara yang kritis untuk juga merubah dirinya.
Open studio Garasi adalah peristiwa percakapan yang terbuka antar seniman (baik penyaji maupun penikmat). Konstruksi dialog tidak berfokus pada soal bentuk melulu. Melainkan tataran gagasan dan bagaimana ia terhubung dengan publik. Dalam seminggu, setidaknya iklim ini yang ditawarkan oleh Teater Garasi dalam launching studio barunya. Sebuah kode proyeksi, aktivasi ruang secara terbuka untuk membentuk lingkungan kreatif di tengah-tengah masyarakat yang semakin dinamis.
Melalui studio baru, dan kerangka kuratorial untuk setiap program yang dibayangkan, Garasi menjadi lebih open publik. Lebih bisa diakses sebagai ruang, keadaan, dimana model dan struktur wataknya berupaya mengaktivasi seni sebagai sebuah disiplin, jejaring dan alternatif. Merespon kekosongan infrastruktur jejaring teater secara luas. Tidak sepenuhnya memang, apa yang dilakukan Garasi barangkali hanya upaya kecil untuk membuat sebuah lingkungan. Yang belum ada, yang dibayangkan oleh Garasi sendiri, dan dibuat sendiri dan dinamai sendiri sebagai jalan tikus. Jalan yang bukan jalan umum. Jalan yang dipilih ketika keadaan di jalan utama tidak sedang kondusif.
Selain mempertemukan posisi generasi, networking, disiplin dan inspirasi, bagi saya lingkungan yang sedang dibuat oleh Garasi itu merupakan langkah progresif dari keadaan teater Indonesia yang – kebanyakan – tertutup. Bahkan ada yang autis, asyik sendiri dan jarang memikirkan apa yang orang lain kerjakan. Sebagai institusi Teater, setidaknya Garasi merespon pintu itu, saat ini dengan membuka dirinya.
***
Setelah seminggu saya bertolak pulang. Kembali ke habitat ibu kota. Sebuah kehidupan mejemuk yang kehilangan titik lebur. Jalan-jalan utama yang hampir bangkrut, jalan tikus yang diportal dan tikus-tikus yang terjebak di jalan buntu. “Lalu lingkungan kesenian (Teater) seperti apa yang kamu bayangkan?” Saya bertanya pada topeng monyet yang sedang atraksi di lapangan badminton Cipedak Raya, tidak jauh dari rumah, sesaat sebelum melepas rindu dengan keluarga.
###