Rabu, 17 Oktober 2018. Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Seni Rupa (Mia Maria, Danton Sihombing, dan Irawan Karseno) untuk keempat kalinya kembali menyelenggarakan program Proyek Seni Perempuan Perupa. Tahun ini, Proyek Seni Perempuan Perupa memilih enam perempuan seniman yang mengamati fenomena jilbab, baik secara personal, sosial, maupun kultural. Keenam seniman adalah Dian Suci Rahmawati, Dyantini Adeline, Ferial Afiff, Lala Bohang, Ipeh Nur, dan Ratu R. Saraswati.

“Kami menganggap Proyek Seni Perempuan Perupa penting untuk diteruskan. Suatu saat, bukan tidak mungkin proyek ini terbuka dan melibatkan perupa lintas gender. Namun saat ini, kami masih ingin berpihak dan melihat bagaimana isu dan permasalahan-permasalahan perempuan direspon dan ditafsir oleh perempuan perupa. Bagaimanapun, isu kesetaraan menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas kehidupan. Proyek Perempuan Perupa ini diharapkan memperkaya pengertian kita akan kehidupan yang lebih baik.”, Ujar Irawan Karseno, Ketua DKJ yang juga merupakan Anggota Komite Seni Rupa DKJ.

Riset yang dilakukan oleh enam perempuan seniman ini telah dimulai sejak Juli hingga September 2018. Hasil riset tersebut akan dipersembahkan kepada publik dalam pameran bertajuk “yang tersingkap di balik jilbab”.
Jilbab tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pribadinya Ferial Afiff dalam proses pembelajaran spiritualnya. Namun terkadang Ferial melihat jilbab sebagai sesuatu hal yang membatasi. Muslimah yang berjilbab mendapat konsekuensi tambahan mulai dari suara dan gerak-gerik tubuh, dan tentu saja beberapa aktivitas yang dijalani “dituntut“ harus menyesuaikan dengan jilbabnya.

Ratu Rizkitasari Saraswati menelusuri makna warna dalam perkembangan jilbab. Pakaian muslimah tidak selamanya identik dengan hitam dan putih seperti yang diyakini sebagian orang. Warna menjadi pilihan personal. Personalitas itu juga menjadi bagian dari penafsiran yang membentuk representasi terhadap kelas sosial, tingkat ekonomi hingga pandangan politik tertentu.

Dian Suci Rahmawati melihat pengguna jilbab di keseharian sekitar rumahnya. Mereka mengenakan jilbab secara situasional, yang menyediakan kepraktisan untuk melakukan pekerjaan domestik. Ruang domestik dianggap sebagai ruang aman bagi ibu-ibu, sehingga membentuk pemakluman antar sesama perempuan. Pemakluman ini disepakati sehari-hari, menjadi kebiasaan atau kultur masyarakat di sekitar.

Nur Hanifah melihat bahwa modifikasi busana pengantin Jawa Muslim terbentuk karena jilbab tetap ingin digunakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap agama sekaligus manjaga kepatuhan terhadap adat istiadat. Seperti pada Paes Solo Putri, pada awalnya kebaya memang dibuat dengan bagian dada yang terbuka. Saat terjadi akulturasi dengan budaya muslim, kebaya ditambah penggunaan manset atau kebaya dengan kerah leher panjang dan bunga di samping telinga agar tetap menutupi aurat.

Dyantini Adeline menyoroti aspek ekonomi jilbab, bukan lagi sekadar penutup aurat, tetapi sudah menjelma menjadi komoditas bisnis menggiurkan. Agama pun dapat dikompromikan sebagai strategi pemasaran untuk meraih keuntungan besar dalam sistem kapital. Adeline melihat sertifikasi dan cap dapat menambah nilai dan legitimasi keyakinan, termasuk ketakwaan dalam beragama. Selain itu, cap otentik juga dipakai untuk menambah nilai jual dan diferensiasi produk.

Dalam aspek sosial politik, indoktrinasi agama kadang digunakan untuk menguasai arena kekuasaan, menggerakan dukungan massa dan digunakan untuk mempengaruhi berbagai pihak yang menimbulkan sentimen-sentimen moral dan keagamaan. Lala Bohang melihat berbagai konflik yang terjadi antara kebebasan dan pelarangan mengenakan jilbab. Bagi Lala jilbab merupakan khilafiyah (perbedaan pendapat) yang tidak perlu menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.

Malam pembukaan pameran hasil Proyek Seni Perempuan Perupa 2018: “yang tersingkap di balik jilbab” yang dikuratori oleh Angga Wijaya akan dibuka pada Rabu, 17 Oktober 2018 pukul 19:00 WIB di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran akan berlangsung di tempat yang sama hingga 30 Oktober 2018 pukul 11:00–20:00 WIB.

 

Tentang Program

Proyek Seni Perupa Perempuan adalah program seni yang diselenggarakan setiap tahun oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Acara ini hadir sebagai platform untuk mengembangkan praktik seni rupa kontemporer. Program ini disebut “Proyek” karena DKJ coba memfasilitasi proses penciptaan karya seni. Proyek Seni menerapkan keterbukaan gagasan dan pendekatan paralel yang menekankan proses seperti penelitian, intervensi publik, diskusi, pameran dan penerbitan buku sebagai sebuah produksi pengetahuan. DKJ telah menunjuk kurator yang akan mengundang seniman perempuan dengan tujuan untuk mendukung perkembangan seniman perempuan Indonesia.

Penyelenggaraan Proyek Seni Perupa Perempuan, Dewan Kesenian Jakarta telah diselenggarakan sebanyak tiga proyek. Pada tahun 2015 proyek ini membahas tema mengenai Konstruksi Perempuan dalam Birokrasi Negara melalui Dharma Wanita. Tahun 2016 mengenai Mekanisme Kuasa Negara dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan. Tahun 2017 mengenai Relasi Industri terhadap Buruh Perempuan. Pada tahun ini mengenai Perkembangan Jilbab secara kultural dalam masyarakat Indonesia kini.