Oleh: Arkan Tanriwa
Tulisan ini merupakan catatan dari diskusi berjudul “Ngobrol Teater Enter: Laboratorium Kampus & Postdramatik” serta pertunjukan teater “over THE WASTE LAND now” (karya Ari J. Adipurwawidjana) yang diselenggarakan oleh Komite Teater DKJ di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, 18 September 2016. Penulis bertindak sebagai moderator dalam diskusi tersebut.
Berbicara tentang yang post-, “setelah”, atau “pasca-”, tentunya harus ada sebelum. Dan sebelum ialah yang dirujuk. Teater postdramatik, sesuai namanya, mengacu pada bentuk teater dan seni teatris yang pascadrama: telah melampaui drama. Kita mengenal drama yang menempatkan dua hal sebagai fondasinya, yaitu representasi dunia luar serta waktu. Melalui representasi dunia luar, seorang sutradara dapat menciptakan karakter serta kualitas yang dapat terkait dan dimengerti dengan mudah oleh penonton; melalui struktur waktu, ia pun dapat menjalankan progres dan pergerakan tensi dari awal hingga akhir sebuah pertunjukan teatris.
Karena bentuk teater ini mengklaim bahwa dirinya melampaui drama, tentu karakter utamanya dapat kita lihat pada bagaimana bentuk ini memperlakukan drama: yaitu sebagai suatu hal yang berada di samping kedua hal yang sesungguhnya ada dalam pertunjukan teater seperti situasi material pertunjukan (misalnya, kondisi audiens) serta panggung. Lebih jauh: alih-alih sebagai teks yang dipanggungkan, bentuk teater ini mengembangkan sejenis estetika performatif yang menempatkan teks berdampingan, tidak di atas, dari aspek-aspek lainnya yang ada dalam pertunjukan teater.
“In post-dramatic forms of theatre, staged text (if text is staged) is merely a component with equal rights in a gestic, musical, visual, etc., total composition. The rift between the discourse of the text and that of the theatre can open up all the way to an openly exhibited discrepancy or even unrelatedness.” – Hans-Thies Lehmann, dalam Postdramatic Theatre (2006).
Bentuk teater inilah yang dirangkumkan oleh seorang ahli teater Jerman, Hans-Thies Lehmann, dalam bukunya berjudul Postdramatic Theatre yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman tahun 1999 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2006. Buku ini sebetulnya hanya merupakan rangkuman dan konseptualisasi atas gagasan teater postdramatik yang sesungguhnya sudah ada sejak zaman Tadeusz Kantor, yang berkarya sejak tahun 70-an. Di Indonesia sendiri, di Universitas Negeri Semarang misalnya, sudah terdapat mata kuliah yang mempersatukan seni drama, tari, dan musik (Sendratasik), bahkan dimulai sejak tahun 2000. Semua ini ditunjukkan oleh Autar Abdillah, salah satu pembicara dalam diskusi, yang juga menyatakan bahwa Lehmann hanya menuliskan tentang apa itu postdramatic – pekerja seni dan teater sudah bekerja dalam cara-cara yang Lehmann bicarakan.
Meskipun demikian, buku Hans-Thies Lehmann ini ternyata sangat membantu untuk seorang Ari J. Adipurwawidjana, dosen sastra dari Universitas Padjajaran. Bentuk teater postdramatik yang melampaui dialog, ternyata dapat ia gunakan untuk mengajarkan teori sastra kepada para mahasiswanya. Menurutnya, melalui teater, pengajaran sastra menjadi mendapat semacam aktivismenya, yang dimunculkan secara konkret melalui tubuh. Pengajaran sastra kemudian menjadi lebih mudah dipahami bagi para mahasiswa dengan kecenderungan belajar yang kinestetik dan bukan auditori/visual.
Sebelum “menemukan” Lehmann, Ari sempat menggunakan beberapa konsep dari berbagai penulis untuk menggagas karyanya. Ia maju dari Antonin Artaud, yang menyatakan dalam Le Theatre et Son Double bahwa “Teater sejati memiliki bayangan, dan di antara semua bahasa, semua kesenian, hanya tinggal teaterlah yang bayangannya mampu melewati batasannya. Dari sejak asalnya, dapat dikatakan bayangannya menolak batasan.” Ia kemudian merenungkan batasan-batasan itu: antara manusia dan kehidupan mentah, manusia dan manusia di sekitarnya, pemain dan audiens, panggung dan dunia nyata, bahasa, serta media dan teknologi.
Ia kemudian menemukan Lehmann yang amat membantu pengembangan karyanya, dan menemukan pula bahwa ternyata teater postdramatik dapat ia gunakan untuk menubuhkan pengajaran sastra yang lebih konkret kepada mahasiswanya. Dalam karyanya, over THE WASTE LAND now yang dipentaskan tepat setelah diskusi pada tanggal 18 September 2016, kita dapat melihat berbagai rumusan-rumusan sastra yang berkembang melalui tubuh, seperti misalnya konsep cyborg yang dicetuskan oleh Donna Haraway dan dirupakan oleh Armelia Safira.
Kita dapat melihat beberapa paralel: Haraway pernah mengatakan bahwa batasan fisikalitas antara manusia dan alam elektromagnetis kini mulai memburam, sebagai akibat dari penemuan cip mikro. Karena bahkan identitas manusia sebagai manusia pun memburam (mungkin nanti akhirnya sampai tiba pada singularitas yang dikatakan Ray Kurzweil), identitas perempuan sebagai manusia pun ikut memburam. Konsep seperti ini digambarkan Ari melalui karakter cyborg yang muncul dalam karyanya, yang bergerak secara robotik, dapat berbicara dengan berbagai bahasa melalui proses pikiran yang diperbantukan alat elektronik, dapat menggemakan suara dari seluruh tempat dan bukan hanya dari mulutnya, bahkan muncul secara holografis (yang ditampilkan Ari dengan artistik melalui penggunaan sinar UV yang strategis). Pada akhirnya, keperempuanan cyborg menjadi tidak terlalu relevan lagi, karena esensi manusia telah terlepas sepenuhnya dari tubuh biologis.
Pertanyaan selanjutnya yang menarik bagi saya adalah: bagaimanakah tubuh dapat diperluas dalam bentuk teater ini? Apakah, misalnya, seluruh gedung teater dapat ikut berpartisipasi sebagai aktor?
Lebih jauh, Autar Abdillah kemudian menunjukkan bahwa di Indonesia, pegiat teater tidak selalu menunjukkan ketertarikannya terhadap bentuk-bentuk gagasan. Misalnya, pegiat teater tidak selalu mementingkan, atau setidaknya memperhatikan, gagasan teater Aristotelian (yang dramatik, kemudian menjadi post-) atau Brechtian (yang epik). Ini hal yang menurutnya menarik, apalagi bila kemudian dihubungkan dengan gagasan politik sambil berteater. Di dunia Barat, teater dan politik bisa erat terkait; pertanyaan dari audiens yang dilemparkan mengenai poin ini menurut situasi Indonesia, sayangnya, dijawab dengan “tidak terlalu terkait” oleh Autar. Teater di Indonesia belum memiliki leverasi politik.
Renungan terakhir: sebuah pengaruh lebih lanjut yang menurut saya amat membebaskan adalah bahwa bentuk teater ini melepaskan teater dari berbagai konvensi yang sebelumnya ada. Misalnya, teater tidak lagi harus dibebani dengan kesulitan mencari panggung yang tepat (dan sering mahal) untuk pementasan. Selain itu, teks pun menjadi terbebas dari kungkungan dialog. Semua ini berpotensi memiliki pengaruh yang amat melegakan bagi kondisi teater di Indonesia, yang kadang berkendala secara finansial. Terakhir, semua teks yang ada, macam apa pun, kini dapat dibuka dan dijadikan lahan yang subur untuk eksplorasi teatrikal.