Program Lintas Media
Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta
< Ruang Suara > dan < Objek Bunyi >
Narasumber & Presentasi Musik: Patrick Gunawan Hartono
Moderator: Gema Swaratyagita
Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Kamis 6 Oktober 2016, Pukul 19.00
Notulen: Akbar Yummi
Pengantar:
Sebuah forum yang berkelindan pada masalah: apakah kita masih bisa mempertanyakan subtansi seni? Atau, perkembangan teknologi media membuat semua esensi yang pernah menatap dan laten dalam media, terutama seni, hanya tinggal sebagai kategori-kategori yang terbuka.
Lintas Media merupakan program Komite Teater yang dirancang untuk membuka diri terhadap praktik-praktik baru dalam kerja kesenian, membuka hubungan kerja lebih beragam, dan pandangan terhadap media seni yang tidak tunggal.
Patrick Gunawan Hartono, yang kebetulan sedang berada di Indonesia mengikuti forum musik yang diselenggarakan Komite Musik, merupakan kesempatan bagus untuk segera membujuk Patrick bisa mengisi program Lintas Media untuk publik teater.
Dalam forum ini Patrick akan melakukan presentasi di sekitar praktik-praktik musik di mana suara diperlakukan sebagai ruang, dan bunyi sebagai objek. Sebuah kerja musik yang melibatkan teknologi, sains dan aplikasi D3.
Patrick Gunawan Hartono lahir di Makassar tahun 1988. Ia seorang komposer electroacoustic dan seniman intermedia. Meraih gelar sarjana dalam komposisi musik (Cum laude) dari Codarts Universitas Arts, Rotterdam. Karya-karyanya banyak menggunakan teknologi dan pendekatan ilmiah sebagai alat kreativitas. Dia juga tertarik pada spesialisasi 3-D untuk sound, analog / digital sintesis, psychoacoustic, dan musik visual. Sebagian dari karya-karyanya menggunakan suara dari alat musik tradisional Indonesia, yang dihasilkan komputer suara / gambar, rekaman lapangan, fotografi bawah air; diubah, diatur ulang, dipengaruhi oleh aturan matematika, interaksi real time, dan operasi acak yang terkontrol.
Karya-karyanya telah dipentaskan secara internasional di festival, konferensi, dan tempat seperti YCMF (Yogyakarta, Indonesia), WOCMAT (Taiwan), Sound Bridge Festival (Kuala Lumpur, Malaysia), ZKM (Karlsruhe, Jerman), IRCAM (Paris Prancis), NYCEMF (New York, USA), Sines and Square (Manchester, UK), ACL (Yokohama, Japan), Sonorities Festival (Belfast, Northern Ireland) dan lain-lain. Patrick saat ini berbasis di London dan belajar di Goldsmith, University of London, aktif terlibat dalam berbagai media electroacoustic, lokal dan Internasional, dan melakukan beberapa eksperimental.
Narasumber (Patrick Gunawan Hartono):
Jujur saya kaget, ketika Gema bilang: “duluan mana ruang atau bunyinya”. Begitu Komite Teater memberikan tema “bunyi” dan “ruang”, ini sebenarnya mata kuliah faviorit saya. Karena ketika kita bicara bunyi, maka akan ada aspek-aspek lainnya. Dosen saya selalu berkata begini, kalau kamu ketemu komposer, jangan bicara teori itu, karena itu sudah kuno. Oleh karenanya, kalau ditanya bagaimana perkembangan musik di Eropa, saya tidak bisa menjawab … Saya juga sering diundang di riset centre, untuk mencoba sesuatu alat. Saya kaget melihat perkembangan—alat musik.
Dalam diskusi ini, saya tidak buat quote, karena di Eropa sudah banyak orang yang banyak baca 10 kali lipat lebih banyak, dan debatnya tidak pernah selesai. Oleh karenanya, saya bikin yang simple..
Paska Perang Dunia 2 dan Praktik Musik Konkret
Di semua buku sejarah musik media baru, mereka akan mulai dari periode paska Perang Dunia ke-2. Kenapa paska PD ke-2, kenapa di buku Diter Mark … “Waktu paska PD ke-2,
Saya pernah ke Auswitch, dan memang banyak korban di sana. Saya merasakan sekali kebiadan Hitler. Hitler membuat keputusan untuk mengizinkan selain karya-karya yang bukan Yahudi. Nah, sementara karya-karya yang hebat kan dari Yahudi.” Seperti Edward Shobert, ketika mereka keluar dari penjara Nazi, mereka dalam keadaan yang depressed. Kalo di Belanda, ada musik “kebauh” (?), di situ ada gambarnya komposer-kompose dari Yahudi. Itu situasi dimana kalian tidak boleh bisa bikin ap-apa, jadi konfliknya seperti itu. Di musium Anna Frank, itu ada ruangan yang sangat kecil sekali untuk bersembunyi, jadi bisa dibayangkan bagaimana penderitaan para kaum Yahudi.
Nah, tapi ada keuntungannya, yaitu, ia (Hitler) memaksakan semua ilmuwan itu untuk bikin teknologi perang. Nah.. teknologi perang yang dekat dengan musik itu komunikasi radio, untuk mendeteksi musuh, yang bisa nge-jaming keberadaan Inggris dan lain-lain… Dan kemudian ada filter, kalo buat teh kan ada saringan, nah kayak gitu. Filter untuk suara mana yang mau diambi. Begitu Hitler jatuh, terjadilah kebebasan yang luar biasa. Begitu Hitler jatuh, begitu euforia.. Nah dalam kondisi seperti itu, seniman pun terpengaruh akan suasana euforia itu. Maka muncullah tokoh-tokoh yang datang dengan bunyi-bunyian. Ada nama Pierre Schaeffer (1910-1995)1, dia composer dan musikolog. Dia ini di Perancis, menggunakan pita kaset. Kalau kalian lihat kaset yang kecil, ini dia pake yang besar sekali. Dia merekam bunyi-bunyian sebelumnya ke dalam tape, dan di tape ini di cut, dan rekam bunyi lain. Dan setelah itu dia mulai menyusun bunyi-bunyian itu. Pieere Schaeffer ini disebut dengan musik konkret (concrete music). Kalau kita pelankan, maka suaranya turun; kalau dipercepat maka akan naik. Ada suara yang di filter, karena filter ini mereduksi.
Musik Elektronik
Berikutnya, ada orang di Jerman, unik sekali, namanya Stockhausen (1928-2007)2, yang pernah belajar sama Stockehausen adalah Otto Sidharta (salah seorang pengajar di Institut Kesenian Jakarta). Sebenarnya tidak ada istilah musik elektronik. Di dalam radio, ada peninggalan teknologi komunikasi, ada generator dengan gelombang yang menghasilkan bunyi. Jadi yang dilakukan Stockhausen ini adalah memanipulasi bunyi-bunyian baru. Kalau peralatan radio ini agak rumit, ada visual seperti gelombang radio, yang sudah disederhanakan. Ada synthesizer yang dikontrol oleh signal-signal lain, ada sinus, dan lain-lain. Dalam hal ini saya pake signal random, terus ada analogi komputer dari signal itu. Komputer itu menghitung sesuatu dengan logika, dengan peralatan ini meng-create bunyi-bunyian baru yang belum pernah didenger sebelumnya. Praktik bunyi seperti suara elektronik abstrak, teknologi banget deh.
(Mempraktekkan melalui laptop, memperdengarkan perbadaan music Stockhausen dan Pierre Schaeffer)
Saya mau play back suara Stockhausen dari eksperimen dia di radio.
(praktek menggunakan pake laptop, memutar alat yang mengeluarkan suara semacam abstrak lah…)
Yang mau saya sampaikan, dulu itu dibilang bunyi-bunyian baru, karena sebelumnya belum ada bunyian seperti itu yang dihasilkan. Ada yang belum dikondisikan sebagai material bunyi. Ada, tapi mungkin para seniman belum aware dengan bunyi-bunyian seperti itu.
Sekarang saya kasih contoh musik Pierre Schaeffer, bunyi-bunyian teks. Bagaimana bedanya?
(Praktek menggunakan laptop, dan terdengar potongan-potongan suara…)
Ketika kalian dengar sound, kalian dengar nggak ada suara yang direkam sebelumnya? Kalian harus dengar biar tahu bedanya…
Begitu Stockhousen, dengarkan nih (suara elektrik dari laptop). Lebih abstrak dari sebelumnya, karena waktu dia buat ini, dia menggunakan perlatan yang ini (menunjuk benda dihadapan forum berbentuk alat elektrik pengatur suara). Sekarang saya harap ada sedikit gambaran, ada sedikit pengetahuan: yang mana musik konkret, mana yang elektronik. Jelas yaa…
Ada bunyi yang direkam dan dimanipulasi, dan ada yang direkam secara elektronik. Bagaimana musik-musik yang ada notasinya, itu kemana? Munculnya musik-musik ini, itu sebagai suatu respon dari para komponis yang menganggap kekakuan musik sebelumnya. Seperti birama, 4/4, ada not yang 1/4.
Koordinat Ruang Suara
Nah saya balik lagi, musik yang punya stuktur ada sebelum Perang Dunia ke-2, ada romantik, dan lain-lain. Setelah selesai perang mereka keluar dari konsep sebelumnya dari yang pernah ada. Awal mula musik ini, kita bikin musik yang tidak terbatasi oleh ritme, yang tidak dibatasi lagi oleh tonalitas. Mereka berusaha keluar dari sana, maka keluar dari musik ini. Namun mereka mulai berpikir, bagaimana cara performnya. Mereka menggunakan speaker, mereka awalnya pake stereo, mono, kalau sekarang bisa dua. Mereka pada waktu itu pakai dua speaker, karena mereka masih memakai konsep Euclidean (300 SM)3. Ada X dan Y, maka dunia terlihat datar, karena masih bidang bukan ruang. Ada koordinat yang satu dan yang satu, nggak ada yang tengah. Maka di dalam arsitektur sudah ada geometri, ada sumbu X, dan X itu ruangnya. Namun pada awal bunyi-bunyian, ini masih sibuk bicara bunyi-bunyian, dan mereka masih bingung bagaimana memproyeksikan bunyi-bunyiannya. Mereka mulai dengan konsep multi chanel, terdapat 4 speaker, tapi masih dalam konteks 4 speaker, namun bagaimana membuat bunyi ada di ruang tengah. Selama ini, kita hanya mendengar bunyi berdasarkan koordinat yang berasal dari speaker.
Saya ulangi lagi ya (mengulang penjelasan). Kalau di diantonis, ada do, re, mi… Itu masih satu. Namun di tengahnya sebenarnya ada cis, itu jaraknya berapa? C ke cis, itu setengah. Kalau jaraknya 0,35, itu nama notnya apa? Kalao 3/4 itu apa? Pertanyaannya, itu sekarang apa? Ada not nya tidak kira-kira (0,35, red)?
Saya sekarang balik lagi ke yang sebelumnya, kenapa ada do, re, mi, dst. Kenapa ada jarak ke C ke cis itu setengah? Siapa yang disalahkan, Pythagoras (570 SM-495 SM)4? Bahwa musik bisa inter disipliner ke hal yang lain. Namun ini juga bisa membatasi untuk berkarya. Kenapa Pythagoras, dia pake teori proposisi? Kalau kamu menarik senar, teori senar dan getaran, dari getaran ini Pythgoras membuat proporsi. Pertanyaan tadi, bagaimana kalau kita membuat musik, namun not nya tidak ada? Oke kita katakan “microtonal”, yang tadi dalam satu oktaf (C, cis, .. dst) , yang 12 dibagi lagi jadi 24, namun semua itu masih proposisi dari yang pertama. Karena kalau kita keluar dari ini, maka akan muncul bunyi-bunyian baru.
Ada ilmuwan Helmud Holmes, fisikawan, dia tertarik dengan bunyi. Oke, kalau dari C ke cis itu putus, kita bisa buat satu alat yang mampu menghasilkan bunyi, (praktek dengan tangan) ekspreimennya dengan sirine, mekanik sirine, ada kumparan magnetic, waktu diputar ada namanya isolation. Waktu diputar, sirine dari nggak ada menjadi ada (Patrick bersuara; wuuoooooooooo). Kalau biola masih ada dasar sistem nadanya. Sirine ini bunyinya bertransformasi. Nah si Edgard Varese (1883-1965)5, dia komposer yang dekat dengang Helmud Holmes, memutuskan untuk menghancurkan zaman romantik, dimana dia ke Amerika ingin keluar dari semua musik yang ada sebelumnya. Mulai dari sistemnya, mekanismenya, untuk mengejar konsep bunyi. Edgard Varese pernah ke gedung konser di Paris. Waktu dia nonton karya Beethoven, dia dapat tempat duduk dimana bunyinya rusak, padahal bangunan simponi diciptakan untuk semua tempat duduk mendapatkan suara musik yang maksimal. Dia duduk di tempat yang akustiknya rusak, suara ada echoing, dia bilang ketika berada disana, inilah konsep bunyi baru.
Ruang Suara Tiga Dimensi
Ada seorang arsitek terkenal Perancis, Le Corbusier (1887-1965)6, dia juga terinspirasi oleh Helmun, dan Edgard Varese. Waktu dia dapat proyek membuat bangunan, Philips Pavilion (1958)7 (disponsori oleh perusahaan Philips). Konsep Philips Pavilion ini, dia mau di dalam bangunan tersebut akan dikelilingi oleh bunyi-bunyian dan visual. Dan si Corbusier memilih Edgard Varese. Nah Corbusier punya asisten, dialah Iannis Zenakis (1922-2001)8, seorang arsitek dan composer. Zenakis tergila-gila oleh konsep bunyi-bunyian Edgard Varese. Pavilion, terdiri 428 speaker dari seluruh penjuru, tapi hanya 10 chanel. Di situlah kali pertama sistem multi chanel, bahwa bunyi tuh bisa bergerak kemana-mana. Namun rancangan ini belum bisa dikorelasikan dikaryanya karena hal teknis juga. Yang Zenakis lakukan, dia buat satu karya yang namanya metastaseis9. Kalau orang kena kangker, maka dia kena metastaseis yang menyebar (Patrick mencontohkan pake tangan). Bagaimana caranya bunyi ini tidak putus, dia terapkan konsep parabolic, jadi dia buat satu skets arsitektur, (Patrick mencontohkan pake tangan), ada bangunan yang saling menyambung, dan itu menjadi konsep dia untuk menentukannya bagi bunyi-bunyian. Dia buat karya metastasis, dimana pada bagian bunyi-bunyian saling menyambung. Memberikan bunyi yang tidak putus, seperti suara yang berstransformasi. Bagaimana dengan speaker-speaker ini, akhirnya munculkah teknik 3D sound. Kalau kita ke bioskop ada yang 3D, 3D sound. Kalau saya pake 2 speaker, kayak ada bunyi di atas dan ada di bawah, dan sekarang 3D sound yang dipengaruhi oleh keberadaan computer. Mereka mulai berpikir, kita bikin sistem spasial yang bagaimana lagi, maka munculah spasialisasi lagi. Akhirnya ada musik yang hanya dimainkan dengan alat tertentu dan ruang tertentu.
Ruang Suara Gamelan
Di Belanda, ada wave field synthesis10, ada 128 speaker. Ini sistem baru lagi. Kalau orang buat karya seperti itu, hanya bisa dimainkan di sana dengan instrument tersebut. Ada pertimbangan ruang, ada juga desain dome, dan lain sebagainya. Ada sistem yang paling mutahir, dan terakhir 4 D. Tetap ada ruang tertentu, namanya side spesific. Ada bunyi-bunyian yang hanya ada di ruang itu. Apa yang luar biasa dari 4 D? Bunyi akan memantul, karena ada bidang/tembok. Nah ini ada tembok virtual untuk membuat pantulan baru. Pertanyaannya, kenapa membuat 4 D ini? Membuat 4 D, karena mereka ingin memiliki instrumen yang bisa menghasilkan bunyi ke mana-mana, dan bunyi ini harus keluar dari kebakuan dari yang ada. Ada konsep spasialitas yang bisa membuat bunyi-bunyiannya ke mana-mana? Ada tidak instrument yang memiliki hal seperti itu? Apa itu? Gamelan, C ke cis itu setengah, Gamelan tuning systemnya apa? Tonalitas itu masih proposional, nah gamelan ini gimana? Gamelan satu bunyi dan bunyi lain, dan ini berbeda lagi, phonic, ritme.
Di tempat yang tepat, dimana suara ini harus dibunyikan seharusnya, yakni ketika alat ini dibunyikan di tempat yang tepat, yaitu, gamelan. Kenapa?
- Sound system nya berbeda. Saya ke Jogja 2011, pertama kali melihat Gamelan, tempatnya itu berada di belakang Bandara Adi Sucipto. (Patrick menggunakan bahasa Jawa) ngene (begini), ngene, piye rasane? Yoo roso.
- Ritme dan struktur. Di Amerika, mereka mengenal open form, elektronik, musik yang proses event sebagai musikalitasnya. Berdasarkan teori peluang (diandaikan kayak dadu dengan 6 sisi, mana yang keluar). Di Gamelan, ada melodi bolongan, di dalam ini ada pemain-pemainnya. Pemainnya ini disuruh main, ketika mereka main, mereka ini saling berinteraksi, sehingga mereka sekali performs tidak ada kebakuan bermain. Kalau main musik klasik, kalau kesalahan itu karena form nya sama. Tetapi ini bukan masalah sama atau tidak sama, karena dalam konteks orchestra adalah berdasarkan hal yang, meski tetap ada emosi sih, namun dalam satu sistem. Saya pernah ke latihan, Gegev.. di Gamelan itu saling rasa, dan saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Gamelan bisa bersama-sama strachting, terus bertransformasi ke orang yang berbeda. Timenya gamelan itu apa?
- Hal terkahir di Gamelan, yaitu waktu saya ke Belanda, jurusannya sonologi (studi tentang bunyi dari berbagai disiplin). Di sonologi buat bikin programnya dulu, rumus itu kemudian ada konsep spasialisasi. Saya di DO (Drop Out), dan di Jogja tidak ada yang terima saya, dan saya dianggap terlalu Barat. Saya datang ke Gamelan Skaten, di dalam Masjid yang besar itu. Sewaktu Gamelan dibunyikan, (ngasih gambaran dengan gestur tangan), ada bunyi Gamelan di sisi lain. Noise itu punya gangguan yang beda. Saya dengar Gamelan yang bunyinya bergerak, itu gemanya terpantul-pantul, bergerak seperti speaker yang ada di kampus saya, dan saya sampai mggak percaya, kenapa bisa begitu? Karena tuning systemnya berbeda. karena ada dua frekuensi yang tidak sama, maka terjadi persinggungan frekuensi. Kalau tuning orkestra, kata false, karena ada yang freak away, nah ini malah freak awaynya disamain. Terjadi persinggungan frekuensi yang tipis sekali, saya mendengarkan Gamelan di tempatnya, terus gunannya semua speaker ini apa? Saya buat musik sendiri dan buat konteks ini.
Ada pertanyaan? Tanya saja biar saya tidak terima gaji buta.
Moderator:
Sebelum kita penasaran, penjelasan dari 11 tahun belajar dituangkan dalam waktu 2 jam lebih sedikit. Ada Stockhousen, 3 D, dan lain sebagainya.
Yang pertama untuk dua pertanyaan dulu yaa…
Arham (Penanya):
Setelah semua kemungkinan bunyi dalam bahasan tadi itu dicapai, apa lagi yg harus dilakukan oleh komponis?
Patrick:
Yaa buat karya. Terserah, tidak akan pernah yang namanya eksplorasi bunyi-bunyian akan selesai jika teknologi itu belum selesai. Setiap penemuan teknologi baru, akan ada metode baru untuk memanipulasi bunyi baru. Tapi itu dalam tahap membuat materi nya.
Mas Ndin (Penanya):
Untuk jutaan bunyi-bunyian, yang saya mau tahu, ada nggak rumusan dalam harmonisasi musik seperti apa?
Patrick:
Kalo musik Barat itu ada, kalau saya main dari C atau ke mana, 1 ke 4, ini rumusannya, pak. Cuma yang saya bicarakan malam ini adalah eksplorasi berikutnya dari hal-hal yang harmoni itu. Jadi lebih pada bunyi-bunyian pada satu individu.
Penanya:
Jadi harmonisasi, apa ini disharmonisasi … kalau rumusan itu ada, apa mungkin, apa nggak ada rumusan disharmonisasi apa saya salah?
Patrick:
Apa ada disharmonisasi? Ini kesalahan kita menggunakan terminology. Ada istilah false nih, terus gamelan mau dibilang apa? False ada di musik diatonal, terus gamelan itu apa? Jadi sebenarnya musik ini adalah, bahwa ada musik-musik lain, tidak hanya musik yang menggunakan harmonoi. Jadi ini bukan harmoni atau disharmoni…
Moderator:
Ada pertanyaan lain?
Mahlamang (Penanya):
Kamu tadi mulai dari Auswitch yaa? Bahwa Adorno (Theodor Adorno, 1903-1969) menyatakan tidak ada seni paska Auswitch. Setelah PD ke-2, apakah karya-karya tersebut ada hubungannya dengan politik Hitler? Apa ada hubungan sosialnya? Estetika kan juga bukan sekedar ngomong estetika atau artistik aja.
Patrick: Ferdi (Penanya): Patrick: Saya akan bahas karya saya yang judulnya: “Noise to Signal”. Karya ini terinspirasi dari fenomena Gamelan. Karya ini tidak ada suara indah, semuanya cuma noise. Saya mulai melihat fenomena yang terjadi, Gamelan ini menghasilkan fluktasi bunyi. Saya kemudian berpikir, kemudian di balik keindahan gamelan ini, ada suatu konsep yang sangat berbeda estetikanya. Orang lain tidak menganggap hal itu indah, dan bahkan sangat menggangu. Ini suatu ide yang bagus membuat suatu karya, dimana saya menghadirkan suatu situasi perjalana bunyi, dari masih noise ke bunyi-bunyian yang kaya akan harmoni. Namun dalam membuat karya itu, harus membuat kreativitas, untuk memanipulasi. Saya berpikir, saya harus buat karya Gamelan kah? Elektronik kah? Audio visual kah? Saya ngobrol sama Otto (Sidharta), mereka kalau buat musik Gamelan yang baru, itu masih sama dengan Gamelan yang sebelumnya. Idiomnya sama. Mereka cinta sekali dengan bunyi. Berangkat dari situ, kenapa saya tidak mengambil konsep yang penting dari gambelan tanpa harus membuat gamelan, dan medium yang saya gunakan itu medium elektronis. Karena tidak mungkin saya harus belajar harmoni, saya harus belajar Gamelan sampai maestro sampai menjadi orang Jawa, itu saya tidak mungkin. Suara Sebagai Visual (Patrick menggunakan Laptop dan beberapa alat, memutar musik yang kemudian ada pantulan visual di layar) Ira ‘Paseban’ (Tanggapan): Patrick: Moderator: Patrick: Kita lebih perceive visual dulu baru sound… Afrizal Malna (Tanggapan): Kalau di seni rupa ada problem, misalnya kita bikin karya melihat batu yang berapa ton, kalau di seni rupa berdasarkan bentuk yaa, bagaimana melihat batu sebagai 11 ton nya? kalau tadi kan problem vektoralnya, bunyi dikejar dengan teknologi, kalau kita memproduksi seperti itu, apakah bunyi punya problem itu? Dalam sastra adalah masalah jarak kita dengan bahasa, misalnya ketika menulis bintang, apakah aku mengenal bintang? Apakah saya pernah sampai ke angkasa? Patrick: Moderator: Patrick: Moderator: [1] Pierre Henri Marie Schaeffer, seorang komposer, penulis, penyiar radio, teknisi, musikolog, dan pemain akustik. Lahir di Nancy Perancis pada 1910, dia berasal dari keluarga musisi. Ayahnya pemain violin dan ibunya penyanyi. Dia belajar di sejumlah universitas, seperti Notre-Dame Saint-Sigisbert di Nancy, setelah itu pindah ke École Polytechnique, Paris, untuk memperoleh diploma pada tahun 1929, dan mengakhiri pendidikannya pada École supérieure d’électricité pada 1934 untuk gelar diploma penyiaran radio. Dia seorang aktivis anti nuklir paska PD ke-2. Dia banyak menggunakan medium rekaman, dan mendirikan Groupe de Recherche de Musique Concrète (GRMC) pada tahun 1951, dan menerbitkan buku berjudul “In Search of a Concrete Music” pada tahun 1952. [2] Karl Heinz Stockhausen, seorang komposer sangat ternama Jerman yang dikenal memiliki daya kritik dan kontroversial. Dia dilahirkan di kota Modrath, dia dikenal sebagai seorang yang besar dan visioner di abad ke-20. Stockhausen, studi tentang pedagogi musik dan piano di Cologne Conservatory of Music, dan studi tentang musikolog, filsafat dan kajian Jerman di University of Cologne dari tahun 1947-1951. Setelah studi, ia banyak belajar dengan para komposer ternama seperti Hermann Schroeder, Frank Martin, Darius Milhaud, dan lain sebagainya. Pada tahun 1953, ia sempat menjadi asisten dari seorang komposer, musikolog, kritik musik asal Jerman, Herbert Eimert. Stockhausen banyak membuat komposisi, dan dua karya Kajian Elektronik (Electronic Studies) nya banyak mempengaruhi musik elektronik di era 1950-60 an. Ia dianggap avant gardis bersama John Cage di eranya, dan wajahnya sempat dijadikan sebagai bagian dari sampul album psikedelik The Beatles, “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” (1967). [3] Sebuah paham Matematika dari filsuf Euclid atau biasa dikenal dengan Euclid dari Alexandria. Ia membangun sistem matematika dan geometri klasik, khususnya tentang garis, ruang dan bidang datar. [4] Pythagoras, berasal dari Samos atau Ionian bagian dari wilayah Yunani klasik di Asia minor. Ia seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak bilangan’ dan teoramanya. Dianggap sebagai seorang yang menambahkan senar ke delapan dengan kecapi, Pythagoras dikenal skala diatonis, dimana menghubungkan harmoni dan matematika. [5] Edgard Victor Achille Charles Varese, adalah seorang komposer dari Perancis, dan meniti separuh kebesaran karirnya di Amerika Serikat. Dia menjadi siswa di Schola Contarum, dimana ia belajar dengan seorang komposer ternama Perances, Albert Roussel. Setelah itu, ia belajar komposisi di Paris Conservatoire dengan Charles-Marie Widor. Ia berkolega dekat dengan pianis dan komposer Erik Satie, dan komposer ternama Richard Strauss yang banyak mempengaruhi karyanya. Varese menciptakan istilah “bunyi yang diorganisir” (Organized sound) sebagai gaya estetika musikalitasnya, dimana ia menekankan warna nada (timbre) dan irama. Varese banyak membuat konsep yang inovatif, seperti releksinya terhadap “bunyi sebagai materi yang hidup” dan ruang musikal yang lebih terbuka daripada yang terikat. [6] Dikenal dengan nama Le Corbusier, ia sebenarnya memiliki nama asli Charles-Edouard Jeanneret. Ia seorang arsitek, desainer, pelukis, urban planner yang berkebangsaan Swiss-Perancis, yang lahir di La Chaux-de-Fonds, sebuah kota kecil yang berbahasa Perancis di Swiss. Sebagai seorang arsitek yang ternama, ia sebenarnya tidak pernah belajar formal, namun ia justru belajar formal tentang visual art di kota kelahirannya. Tiga tahun kemudian ia menghadiri kursus lanjut tentang dekorasi yang didirikan oleh eksponen ternama dari Art Nouveau Swiss, Charles L’Eplattenier. Karya-karya arsiteknya banyak merefleksikan dampak dari modernitas, dan gagasannya banyak mempengaruhi ruang urban planner. [7] Phillips Pavilion adalah sebuah paviliun yang dirancang untuk rumah tontonan multimedia, di Expo ’58 di Brussels, Belgia, sebuah pameran dunia oleh Le Corbusier atas sponsor perusahan Philips. Rancangan Philips Pavilion adalah juga perayaan teknologi. [8] Iannis Xenakis dikenal sebagai komposer, teoritis musik, dan arsitek yang berkebangsaan Yunani-Perancis. Ia lahir di Braila, Rumania. Sejak kecil dia sudah terlibat di paduan suara sekolah, ia juga sempat belejar notasi dan sofla (semacam pendidikan musik) yang mengilhaminya untuk tertarik dengan musik tradisional Yunani dan musik rohano. Di tahun 1938, dia masuk ke National Technical University of Athens untuk belajar arsitektur dan teknik, dimana disana ia juga belajar dengan komposer Yunani, Aristotelis Koundouroff, tentang harmoni dan counterpoint. Xenakis adalah pelopor penggunaan model matematika dalam musik, yang ia terapkan dalam seperangkat teori, dan stochastic processes (semacam sebuah proses random yang berkembang dengan waktu). Ia telah mempengaruhi perkembangan elektronik dalam musik, juga penggunaan komputer, selain juga usaha dia untuk mengintegrasikan arsitektur dengan musik melalui penggunaan desain ruang, performans dan komposisi musik. [9] Sebuah karya trilogi (Anastenaria) orkestra ternama dari Iannis Xenakis, yang ditulis pada tahun 1953-54, setelah ia belajar dengan Olivier Messiaen. Karya ini menggunakan 61 pemain musik, dan premiere nya di mainkan di Donaueschingen Festival pada tahun 1955. Konsep Metastaseis merupakan kombinasi dari pengaruh pandangan waktu dari Eisntein dan memori Xenakis terhadap bunyi, juga pengaruh dari ide matematis yang distrukturkan oleh Le Corbusier. [10] Wave field synthesis (WFS) adalah sebuah teknik rendering bunyi spasial yang dikarakteristikan oleh penciptaan lingkungan akustik yang virtual. [11] Luigi Nono adalah komposer avant garde dari eksponen musik klasik di abad ke-20 asal Italia. Ia belajar musik di Venice Conservatory dengan musikolog dan komposer Italiam Gian Francesco Malipiero pada tahun 1941. Pembalajaran musiknya banyak dipengaruhi oleh tradisi Renaissance madrigal. Setelah itu ia kuliah di bidang hukum di University of Padua. Semasa kuliah, ia sempat belajar komposisi, oleh seorang konduktor dan komposer Italia, Bruno Maderna. Melalui Madernalah ia kemudian berkenalan dengan Hermann Scherchen, seorang konduktor asal Jerman. [12] Oliviere Messiaen, seorang komposer, pemain organ, ornithologist berkebangsaan Perancis. Pada umur 11 tahun, ia belajar di Paris Conservatoire, dimana dia sekolah musik tersebut ia banyak di ajarkan oleh komposer dan pengajar musik ternama Perancis seperti Maurice Emmanuel, Paul Dukas, Marcel Dupre dan lain sebagainya. Karya-karya Messiaen, adalah musik yang berirama kompleks; harmonis, dan sering menggunakan modes of limited transposition, yang cendrung abstrak dan penuh improvisasi. Ia banyak terinspirasi oleh keragaman musik global, di antaranya seperti musik di Jepang, dan juga perkusi tune nya yang menonjol dalam beberapa karyanya bahkan dipengaruhi oleh Gamelan di Indonesia. Prestasinya terbaiknya adalah penemuan Birdsong, yakni vokalisasi Burung baik panggilan dan nyanyian, dalam penggunaanya dalam musik yang non teknis. [13] Claude-Achille Debussy, adalah seorang komposer ternama Perancis. Di kenal sebagai komposer utama untuk musik impresionis, dimana ia dicatat untuk konten sensorinya yang bersifat non tradisional dalam konsepsi tonalitas. Secara konsepsi sastrawi, musik Debussy dikenal dengan simbolisme.
Setiap komponis berbeda. Cuma yang jadi kegelisahan adalah keluar dari kebakuan. Ada komposer Luigi Nono (1924-1990)
Saya bikin jadi ringan saja.. Melihat dari realitas media, saya mau keluar topik, dari bacaan Partrick, dari Mladen (Mladen Ovadija), “Dramaturgy of Sound” (Dramaturgy of Sound in the Avant-Garde and Postdramatic Theatre), hubungannya dengan sound, saya membaca satu bagian tentang noise and silence, indie of science dan lain sebagainya, serta bagaimana postdramatic terbentuk di Eropa.
Jujur saya belum baca, di Belanda itu ada yg namanya Dclaimaker, mirip dengan Cage (John Cage). Cuma perbedaannya, karya dia karya teaterikal, apa pengertiannya yakni adanya pengolahannya secara teaterikal, ada orang telanjang, dan badannya di amplified.
Saya cuma mengambil konsep kebebasan, perubahannya, ke musik elektronik. Musik elektronik adalah musik yang sangat cepat dalam menyampaikan konsep saya. Dan saya mengambil spasialisasi musik yang ada di Gamelan, dan membuat bunyi itu sampai saya kembangkan dalam karya saya. Dari meteri-materi bunyi ini hasil dari rekaman dari noise Gamelan dibuat, dan pertanyaan berikutnya karya itu pakai visual juga. Kenapa tiba-tiba visual, di Eropa saat ini terjadi fenomena luar biasa, semua orang yang belajar seni, baik visual artis, videographer, ramai-ramai ingin membuat audiovisual composition, karena keren. Saya sempet terjebak disitu, ada proyeksi maping, dan itu cuma nempel ke tembok, bukan mengubah menjadi sesuatu yang berbeda. Saya juga mengeksplorasi secara berbeda. Ini simpel sekali, ada dua idiom. Tujuan membuat visual, saya merasa saya saat ini mencoba untuk menggunakan visual sebagai cara komunikasi ke audiens. Jujur, jika saya cuma tahu tentang sound, dan saya merasa egois. Apakah betul saya harus pakai visual? Saya mencari apakah bunyi itu tidak cukup kuat untuk suatu karya? Dan ini tetap bunyi dulu baru kemudian visual…
Jadi teringat pertanyaan tadi, apakah karya ini perlu visual atau tidak? Kalau aku tadi mendengarkan malah terganggu oleh visualnya. Buatku tadi karyanya sudah ada ruang, seperti judul tema malam ini, dan akhirnya ujung-ujungnya visulanya, jadi mubazir….
Memang betul, bisa dilihat sepert itu. Kalau di komposisi, ada dua; ada elemen sound, ada elemen visual. Kalau saya bicara dalam konteks pertunjukkan ada sound dan visualnya. Kenapa ada visualnya, karena tidak bisa ada sound aja. Visual ini muncul karena ada reaksi dari sound, namun yang menjadi pertanyaan relasi dari dua hal ini, apakah mereka selalu berinteraksi bersamaan, atau sendiri-sendiri. Ini ada relasi konsep sistem komposisi. Saya pribadi, karya ini tidak bisa ditampilkan kalau tidak visualnya.
Kalau visual nya tidak ada, apakah soundnya bisa berdiri sendiri?
Karya ini harus ditampilkan dalam satu spesifik, dan saya mendukung karya ini dikorelasinya. Ini susah, eksekusi live audionya tidak bisa, karena pada akhirnya ada persepsi di audio. Butuh visual untuk melihat audionya. Tidak bisa untuk melihat audio visual tanpa visual.
Saya nonton karya Patrick kemarin lusa, dan dampaknya beda banget ke aku. Malah menjadi mengganggu hubungan karya kamu ke aku yaa, ketika ada visual. Tiba-tiba ada hal lain yang harus masuk, dan itu menjadi gangguan tersndiri. Dengan video membuat saya menjadi butuh latihan-latihan tertentu. Belajar mendengar dengan melihat, belajar melihat dengan mendengar. Kayak Gema tadi tanya sebelum acara; “ini hujan yaa? Iyaa hujan, tapi cuma suaranya. Ada pendidikan kuping dan pendidikan mata yang berbeda. Yang menarik, tadi ada pertanyaan, setelah ini bunyi mau ke mana? Kita selelu lihat sestau yang terlihat, bukan sebagai kodifikasi hal-hal yang ingin kita saya sampaikan. Pertanyaannya? Apakah bunyi ini punya berat atau volume. Kan tadi hanya dimensi vektoral. Apakah bunyi bisa dibawa ke dimensi berat, seperti mengangkat kursi. Apakah bunyi mengarah ke sana. Kalau bisa, mungkin kita bisa mengenalinya dekat dengan tubuh kita dan kelakuan-kelakuan kita, dan mengerti dengan yang lain. Karena pencapaian seni yang baik adalah cara berhubungan yang lebih baik. Kalau tidak sampe ke sana, kesenian bisa jadi kriminal.
Saya terakhir ketemu dengan Pearkules sebelum meninggal, dia maestro di awal musik eksperimental seperti ini. Apa sih dulu tujuannya buat seperti ini? Ternyata, jawabnya sangat simple, kami hanya ingin berekspresi yang berbeda yang belum digunakan sebelumnya, dan apakah di bunyi ada problem seperti (yang disampaikan Afrizal tentang apakah bunyi memiliki berat seperti batu) tadi dalam berkarya. Sampai saat ini saya tidak ke sana? Di bidang kami adalah bagaimana bunyi-bunyian mampu merepresentasikan ide-ide musikal tadi. Yang menjadi permasalahannya adalah, komposer menggunakan idiom-idiom lain untuk menggantikan bunyi. Sampai pertanyaan sedalam tentang batu yang punya berat di dalam bunyi, bahkan sampai ke hardcore (musik bergenre metal hardcore). Di bidang bunyi, betul-betul praktikal sekali, saya punya ide, bahwa bunyi begini, wilayah kamu kurang lebih sampai ke sana. Pertanyaan seperti itu mungkin hanya dari para kritikus, psikolog.
Mungkin persepsi, mungkin bunyi batu jatuh.
Musik dan laser, mana yang lebih fun yang kita dengar dan kita lihat?
Kayak karya idiom Gamelan di Debussy (Claude Debussy, 1862-1918)13, saat Partick menggunakan Gamelan, sebenarnya itu hampir sama dengan perjumpaan Debussy dengan Gamelan. Dan bukan serta merta saja, dan mungkin bukan musik itu sendiri, dan ini kita sudah lihat Patrick sudah melakukan, dan ketika dia lama di Eropa dia juga masih apa yang menjadi produk nusantara. Bukan modernitas yang adi luhung, dan konsep kita sebagai Nusantara. Kita sudah menelusuri dari PD ke-2 sampai 4 D, yang sebetulnya ranah ini yang harus dilakukan oleh musikolog, namun Patrick telah melakukannya.