Beberapa waktu lalu, Kineforum mengadakan diskusi online di Radio FM 89.2 Utan Kayu tentang “Keberadaan Bioskop di Indonesia: Bioskop Pinggiran”. Dengan pembicara Marco Kusumawijaya (Ketua Dewan Kesenian Jakarta), Joni Syafrudin (Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop di Indonesia), dan Abduh Aziz (Kineforum Dewan Kesenian Jakarta), berikut kutipan beberapa obrolan yang berhasil dicatat dari diskusi tersebut.

Kondisi bioskop di Indonesia itu bagaimana? Berapa jumlah bioskop sekarang?

Joni Syafrudin (JS): 680 layar (2007). Di tahun 1990 mencapai 6800 layar, merosot pada 1998 karena krisis moneter. Bioskop kelas bawah sudah bangkrut, sedangkan bioskop kelas atas hanya sampai4 tahun lalu dapat berkembang lagi. Bioskop kelas bawah kebanyakan gulung tikar karena munculnya beberapa alternatif hiburan, seperti film-film di televisi, vcd/dvd ilegal yang murah harganya. Otomatis, alasan nonton di bioskop kalah dengan beli vcd bajakan dan menonton televisi karena jauh lebih murah. Fenomena ini menimpa seluruh Indonesia dan merupakan kondisi terparah, sampai masuk ke kecamatan dan pedesaan. Mereka baru senang melihat, bukan menikmati. Yang bisa menikmati baru penonton kelas atas.

Bioskop kelas menengah ke atas di mal, bioskop menengah ke bawah berada di pusat-pusat bisnis, misalnya di pasar. Apakah tata kotanya diatur?

Marco Kusumawijaya (MK): Bioskop yang dibangun di tempat penting tidak hanya di Pasar Jaya, tapi di seluruh Indonesia di tahun 1930 sampai 1970-an, seperti di Bukit Tinggi, gedung bioskop berdiri paling indah dari gedung-gedung yang lain. Apalagi di kota-kota besar seluruh Indonesia, seperti Medan atau Surabaya, bioskop menjadi pusat kehidupan publik yang sangat penting, karena film menjadi hiburan bersama. Inti masalahnya adalah film ditantang menunjukkan apa bedanya menonton di bioskop atau di rumah.

Tontonan di rumah karena VCD/DVD bajakan yang beredar cepat dan luas, sebesar apa pengaruhnya?

JS: Besar sekali karena lemahnya Low Invoicement. Di sisi lain mau menumbuhkan perfilman Indonesia dan era globalisasi informasi, tetapi di sisi lain tidak ada penindakan. Kalau harus membeli tiket bioskop kemudian ditambah biaya transportasi dan keadaan cuaca serta keamanan di perjalanan yang buruk, lebih baik nonton VCD/DVDbajakan di rumah sama tetangga, beli kacang goreng dengan harga Rp5.000. Semua karena masalah ekonomi. Untuk masyarakat, yang penting sudah bisa nonton film terbaru, terlepas dari kualitas gambar dan suara, itu soal kedua.

Apakah mungkin menghidupkan kembali bioskop kelas bawah? Dan apakah ini pernah dilakukan oleh gabungan pengusaha bioskop Indonesia?

JS: Di sini ada masalah kompleks. Biaya operasional bioskop menengah ke bawah yang besar adalah listrik. Bioskop di Cianjur, Tasikmalaya, biaya listriknya sama dengan bioskop di Senayan City, Hollywood, Pondok Indah, dan daya listriknya pun sama. Enam puluh persen biaya bioskop buat listrik, itu pertama. Yang kedua, kami sudah upayakan, adalah soal distribusi film-film itu sendiri. Kalau harus menunggu film terbaru sebulan bahkan berbulan-bulan, masyarakat tidak mau lagi nonton. Kalau di Thailand, film baru serentak dimainkan di seluruh bioskop dari kelas atas sampai bawah. Menurut saya, infrasturkturnya harus diperbaiki, Low Invoicement benar-benar ditegakan.

Siapa yang dapat membantu pendistribusian film agar bioskop kelas menengah tetap maju?

JS: Yang dipercaya oleh pemerintah adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Regulasi yang dikeluarkan harus diikuti Undang-undang. UU Perfilman No.8 th 1992 sudah tidak relevan. Tetapi pemerintah sampai sekarang tidak pernah serius memperjuangkan perubahan-perubahan UU yang sudah tidak relevan tersebut. Itu yang dipermasalahkan oleh teman-teman kita dari MFI (Masyarakat Film Indonesia). Sistem harus dibentuk, dasarnya yaitu undang-undang yang harus diperbaiki. Tapi semangat untuk memperbaiki itu kurang. Padahal saya pernah memasukkan Draft di DPR yang katanya akan dibahas pada tahun 2008. Kenapa tidak relevan? Karena hak pendistribusian film masih di tangan produser, pemilik film, importir. Masih ada masalah distribusi bersama pemerintah yang menegakkan hukum bersama pengusaha bioskop. Seharusnya, sarana dan prasarana bioskop di daerah dapat diperdayakan.

Apa pentingnya menghidupkan kembali bioskop pinggiran?

MK: Yang penting adalah keberagaman produk itu sendiri, kemudian segmentasi produk dari segi harga, lalu menumbuhkan penonton dengan jumlah signifikan tiap-tiap ragam film. Bioskop pinggiran dapat hidup jika jenis dan harganya sesuai. Perlu ditanyakan ke dunia film, apakah produknya begitu sempit ragamnya sehingga tidak ditonton oleh kelas C, lalu apakah harganya dapat dibuat bersaing dibandingkan dengan alternatif lain? Orang beli lebih mahal untuk DVD daripada membeli tiket bioskop, tapi bisa di rumah saja. Jadi, dunia film harus bisa meningkatkan daya saing mereka dari segi harga dan segi keberagaman produk.

Mengenai jumlah bioskop, apakah benar ada monopoli di bidang bioskop?

JS: Masyarakat terjebak dalam suatu publikasi imej, ketika film Slamet Raharjo ditolak oleh 21. Imej itu tumbuh di pikiran orang-orang bahwa 21 memonopoli. Saya mengatakan monopoli itu penguasa di bawah satu tangan dalam suatu bidang usaha. Apakah bioskop bisa dimonopoli? Yang keliru, produser film lokal maupun impor adalah juga pemilik bioskop. Karena mereka (21) terlanjur sebagai importir juga, maka dibilang 21 memonopoli. Tapi sekarang mereka tidak berani melakukan praktek seperti itu. Sekarang, film Indonesia sudah mendesak film luar, karena sudah ada lebih dari 40 film per tahun. Yang kedua, masalah segmentasi pada suatu masyarakat. Misalnya, film Indonesia dengan kualitas rendah lebih laku di kelas bawah, sedangkan yang kualitasnya bagus lebih laku di kelas atas. Tapi walau terkadang kelas bawah yang lebih laku tidak kondusif, peminat film lokal sudah banyak (atas maupun bawah). Film Nagabonar misalnya, saat masih baru beredar, VCD/DVD bajakannya juga sudah beredar. Kalau itu diberantas, kelas bawah juga paham asal filmnya sama. Pemerintah harus memberikan dukungan, misalnya dengan memberikan subsidi agar pasar film berkembang sehingga produser lebih luas juga pasarnya.

Menurut Anda, apakah sekarang saat yang tepat menghidupkan bioskop pinggiran?

JS: Bisa, asal kita duduk bersama. Ada regulasi, dalam artian pemerintah harus peduli. Produser duduk bersama dengan pemilik bioskop serta pemerintah daerah. Dispenda-dispenda kita libatkan badan pusat statistik untuk mendata berapa penonton itu berapa juta setahun dan berapa pajak yang didapat. Dengan jumlah statistik tersebut, ada peluang untuk membuat bioskop lagi. Ini belum dikaji dan dianalisis secara baik dan profesional. Saya yakin, ini waktu yang tepat, karena ada kebangkitan secara perlahan tapi pasti film nasional kita kedepan. Di bidang teknologi, bioskop-bioskop kita pun tidak perlu lagi proyektor mekanik, sehingga lebih menguntungkan.

MK: Lebih telat daripada tidak pernah. Kita harus menjaga film agar masanya tidak naik-turun. Tergantung tujuan kita, kalau kita mau menjangkau masyarakat kelas bawah dan kita anggap film penting bagi mereka, maka harus dihidupkan bioskopnya asal ada produknya. Kalau produknya tidak beragam, ya tidak bisa dinikmati. Di samping itu, yang harus diperhatikan: pasarnya ada atau tidak.

Bioskop di daerah, misalnya Jawa Tengah tetap ada walaupun filmnya lama. Apakah masih ada sensasi menonton di bioskop daripada di rumah?

MK: Saya bisa melihat ada perubahan zaman, dulu bioskop tidak ada saingan. Jadi, menonton bersama-sama di bioskop –di mana orang merasakan kebersamaan– adalah suatu sensasi yang luar biasa. Pada tahun 1930 sampai ‘70an gedung bioskop dianggap gedung yang luar biasa. Sekarang, saya tidak tahu apakah ada sensasi atau tidak, karena sudah ada saingan.

Kenapa bioskop pinggiran di pusat kota Jakarta terlihat tidak laku?

MK: Ada pergeseran di dalam pusat-pusat kota. Kedua ada alternatif prasarana, ada tempat-tempat yang lebih nyaman daripada pergi ke bioskop. Bioskop di dalam mall lebih nyaman daripada bioskop yang berdiri sendiri. Kenapa? Tentu ada masalah di kota Jakarta, karena sekarang berpergian ke mana-mana makin sulit. Uang habis untuk transportasi, itu salah satu faktor juga.

Apa akar masalah sehingga bioskop tutup?

Abduh Aziz (AA): Ada beberapa masalah yang struktural, yaitu adanya persaingan antara televisi, VCD/DVD. Akibatnya, produksi film berkurang. Persoalannya, ketika pasokan filmnya terhenti karena angka produksi film yang berkurang, bioskop pun satu persatu mulai berguguran.

Masyarakat lebih memilih menonton film melalui VCD/DVD. Apakah ini akan berakibat turunnya jumlah bioskop, terutama bioskop pinggiran?

AA: Sebuah analisa menyatakan, sensasi menonton di bioskop bersiat permanen, sebab menonton film di TV dengan langsung di bioskop akan sangat berbeda sensasinya. Tetapi, persoalannya kemudian, pasokan film terbatas ditambah kondisi bioskop yang tidak nyaman, akhirnya berkurang juga.

Apakah mempengaruhi tema-tema perfilman Indonesia yang akhirnya penontonnya ‘hanya’ kelas atas?

AA: Otomatis begitu. Kalau pasarnya terbatas, hanya kelas menengah ke atas, maka temanya juga. Dalam posisi ini, film Indonesia rugi besar. Katakan film Rudi Sujarwo ‘Mendadak Dangdut,’ ingin mendidik penonton kelas bawah. Itu tidak bisa dilakukan sekarang karena bioskopnya tidak ada.

Nilai bioskop biasa-biasa saja karena sudah tidak ada privasi dan dihidupkannya kembali bioskop pinggiran juga tidak banyak gunanya?

AA: Pertama, kita melihat film itu sebagai apa? Kalau film sebagai profit, bioskop pinggiran tidak relevan. Kalau film sebagai alat pendidikan atau pencerahan, ini jadi relevan. Menghilangnya bioskop pinggiran, maka berkurang juga tema-tema film. Bioskop menjadi civil-center ketika ada komunitas karena sebuah gedung bioskop menjadi saksi pertumbuhan sebuah generasi. Pengetahuan, romantika, pengalaman hidup, tercetak pada suatu gedung bioskop. Ada diskusi antara anggota komunitas setelah film diputar. Jika kita bandingkan dengan Australia yang punya Australian Film Commition, mandat mereka jelas, yaitu menyediakan akses untuk publik dengan menyaksikan film bermutu. Di sana, itu kewajiban negara. Tidak heran kalau masyarakat kelas C Indonesia menonton sinetron karena tidak ada yang memperhatikan kelompok ini. Padahal, harusnya ini yang lebih diperdayakan.

Walaupun jumlah bioskop sedikit, tetapi jumlah film di Indonesia sudah 40 judul lebih setahun?

AA: Daya dukung industri kita masih bisa berdebat. Masalahnya, logis tidak sih, Indonesia dengan 200 juta penduduk, tiba-tiba sebuah film yang ditonton 2 juta orang itu dikatakan box office? Sekarang sulit sekali produser kita mencapai angka itu. Kalau membicarakan bioskop pinggiran bukan hanya semata-mata bukan hak mereka mendapatkan akses film, tetapi bagaimana cara menghidupkan ekonomi film sesungguhnya.

Bioskop menjadi mahal setelah dimonopoli 21, tiket mahal yang tidak masuk akal?

AA: Ada segmen masyarakat yang butuh kenyamanan. Tapi, keberadaan bioskop 21 tidak harus membatasi kebutuhan yang lain.

Ketika ada kebijakan tarif perbedaan harga, apakah sudah berhasil menarik penonton lebih banyak?

AA: “Nomat” (nonton hemat) penuh terus. Intinya, pasar akan mencari tarif yang sesuai. Tetapi, apakah tarif tersebut sekarang ini sudah menjawab keragaman film yang ada? Jika tarifnya murah tapi keragaman film tidak muncul, pada akhirnya kembali ke genre horor? Jadi, the whole package tidak hanya harus dipikirkan dari bioskop, tetapi juga kualitas filmnya. Yang mendesak, dengan kenaikan jumlah film tapi keberadaan bioskop tidak menyebar, itu satu soal. Negara harus peka terhadap kebutuhan industri yang sedang berkembang. Pemerintah harus berpikir jika ada peluang. Di Papua tidak ada bioskop, tapi screening dengan harga tiket Rp50.000 penuh. Artinya, di sana ada pasar! Jika negara peduli, maka pengusaha bioskop dapat memulai mengelola di daerah-daerah. Kalau dikelola dengan baik, akan banyak manfaat selain ekonomi.

Berapa sisa bioskop pinggiran, dan kenapa identik hanya menayangkan film-film tidak bermutu? Bukankah ini pelecehan bagi orang-orang kecil, seolah-olah mereka hanya mau menonton film itu?

AA: Karena mereka sulit mengembangkan bioskop terkait dengan pasokan film yang ada, wajar kalau mereka survive dengan cara seperti itu. Tetapi, karena tidak ada perhatian terhadap posisi strategis bioskop pinggiran, mau tidak mau mereka menayangkan film-film tersebut atau gedung dibongkar untuk tempat yang lebih ekonomis.

Bioskop sudah tidak populer karena dipengaruhi gaya hidup masyarakat dan semakin banyaknya pilihan lain untuk hiburan. Apakah karena tidak ada keseriusan pemerintah dalam hal pembajakan film lokal dan film Indonesia bermutu sangat sedikit?

AA: Dibutuhkan sebuah internasi negara dalam pengertian mengembangkan Perfilman Indonesia. Kalau membicarakan profit investor atau produser, tentu saja lebih memilih tema yang profit.

Lalu, bagaimana prospek menghidupkan kembali bioskop pinggiran?

AA: Prospek ada, hanya pasar kita belum tergarap. Kota besar memiliki infrastruktur yang lengkap, sedangkan di kota-kotakecil tidak ada. Padahal, mereka juga punya potensi pasar. Saya cuma takut, pasar ini dibidik oleh modal asing. Mereka lebih milih tema yang profit. Saya ingin melihat daya beli di daerah-daerah. Kita belum pernah meriset konsumen VCD original dan bajakan di daerah, serta bagaimana negara bisa menstimulasi pengusaha-pengusaha untuk tertarik dalam bisnis ini