oleh Taufik Darwis

Secara santai dan penuh candaan, Engkar Kamila di dalam diskusi Telisik Tari: Mengapa Ada Balet di Indonesia?  (6/12/2019) menceritakan bagaimana perbedaan situasi dan kondisi dirinya dengan anak-anak lain dalam belajar balet saat umur 10 tahun di LPKJ (sekarang IKJ) atas ajakan Julianti Parani. Tuturan Engkar di dalam diskusi seolah memilki kesimpulan bahwa ada perbedaan yang tegas antara Balet dan Tari Topeng Betawi sejak dulu, yaitu soal citra kelas sosial. Dan citra ini digambarkan melalui pengalamannya ketika harus berjalan kaki atau naik bajai ketika hendak belajar balet, sementara orang lain tinggal melangkah keluar dari mobil Mercy dan BMW (mobil pribadi).

Balet adalah tarian orang Belanda, pokonya yang mancung-macung adalah orang Belanda.  Agak minder sendiri sebagai orang Betawi yang harus ikut (belajar) tarian mahal, tapi atas izin ibu (Julianti Parani) saya dihormatin banget. Itu bangganya jadi orang Betawi tuh di situ. Kalau sekarang waktu bisa diputer, lebih baik saya terus belajar balet, biar saya bisa keluar negri. Ya mungkin saya bisa jadi orang Belanda.

Balet lebih dulu dipelajari Engkar dari pada Tari Topeng Betawi. Atau tepatnya, Engkar mampu menari Topeng Betawi tidak melalui sistem pendidikan seperti belajar Balet, tapi dengan cara mengikuti pementasan-pementasan Tari Topeng Betawi pimpinan Haji Bokir. Kadang ketika di dalam pentas Topeng Betawi, Engkar diminta untuk memperagakan suatu gaya di dalam Balet. Beberapa penonton menyebut tubuh Engkar seperti plastik, bisa dilipat-lipat. Engkar terus belajar balet sampai akhirnya harus berhenti karena terus terkena sakit.

Melalui tuturan pengalaman Engkar, Balet seperti tidak sekedar tarian tapi juga sebuah komoditas. Dengan gaya jenaka khas Lenong Betawi, Engkar membantu saya mengidentifikasi jalinan wacana yang ada disekitar keberadaan Balet di Jakarta, seperti ras, kelas, identitas kultural, dan identitas nasional.

Foto : Eva Tobing

Seperti yang disebutkan di buku programnya, Komite Tari DKJ melalui platform Telisik Tari dengan tajuk Ballet in Batavia pada tahun ini ingin menyoal dinamika kehadiran Balet di Indonesia, dengan membaca relasinya dengan tari tradisi Indonesia, termasuk menempatkannya dalam konstelasi seni tari di Jakarta. Platform ini melibatkan kerja kolaboratif antara pakar, pemerhati, dan pelaku tari.  Telisik Tari dibuat untuk memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan. Selain memproduksi buku biografi Farida Oetoyo;  riset kesejarahan Balet di Indonesia oleh Pusat Studi Urban Pascasarjana-IKJ;  diskusi  Mengapa Ada Balet di Indonesia,  Komite Tari juga membuat program workshop intensif dan pertunjukan berbasis intervensi dramaturgis, Danton Sihombing menyebutnya sebagai rekayasa akulturasi antara Balet dan Tari Betawi.

Melalui perspektif dari pengalaman Angker, saya akan mencoba menelisik diskursus yang ingin ditawarkan Komite Tari dari rekayasa akulturasi tersebut. Terutama presentasi  pertunjukan dari pertemuan (workshop) Andrew Peter Greenwood, maestro balet Inggris, dengan siswi tari Betawi SMK 57. Dan pertemuan Atien Kisam, seniman tari Betawi, dengan para penari balet di Jakarta. Bagi saya pertemuan dan hubungan tersebut berpusat pada distribusi pengetahuan dan keterampilan antara koreografer dan penari dalam modus pertukaran koreografi dan tubuh yang secara relatif dapat diidentifikasi. Pernyataan yang sering diungkapkan adalah, bahwa Balet merupakan tarian yang melawan hukum gravitasi, sedangkan Tari Topeng Betawi seperti tari Jawa Barat lainnya, selalu tidak bisa lepas dari tanah, dari bumi. Baik penari dan koreografer yang terlibat sama-sama ada di dalam hubungan disiplin, yaitu hubungan disiplin Balet dan Tari Topeng Betawi.

Pertanyaan kemudian adalah, jika kisah pengalaman Engkar Karmila yang menunjukan bahwa baik Balet dan Tari Betawi mempunyai wacana ras, kelas, identitas kultural ,dan identitas nasional dan sesungguhnya juga sangat performatif (bila kita kembali pada tuturan pengalaman Engkar), wacana apa yang ingin dieksplorasi dan diproduksi dari platform ini? Apakah Komite Tari ingin mengeksplorasi dua kecenderungan yang secara umum dapat diidentifikasi dan mendistribusikannya kepada publik luas, lalu melihat kemungkinan pencampurannya? Ya saya kira memang begitu, mengingat apa yang telah diungkapkan Rusdy Rukmarata dalam lecture performance­ nya, bahwa Balet di Indonesia adalah balet sambel matah.

Paradigma atas pencampuran budaya relatif sering dilihat sebagai  pertemuan dari dua atau beberapa entitas yang stabil. Tapi justru karena paradigma tersebut, kita tidak bisa melihat bahwa pencampuran itu selalu sudah ada. Jadi, kesan bahwa ada beberapa budaya yang terpisah secara tegas itu merupakan masalah. Bukankah Balet dan Tari Topeng Betawi sendiri di Jakarta sudah bergerak sedemikian rupa seturut perubahan kota? Bukankah percobaan untuk menghasilkan balet rasa Indonesia dengan menggabungkan balet dengan tari tradisional atau repertoar cerita rakyat Indonesia sudah lama berlangsung.

Foto : Eva Tobing

Identitas dari “ini adalah balet” dan “ini adalah tari betawi”, atau semata-mata  “ini adalah pencampuran”, tidaklah absolut. Karena pasti ada agensi aktif (kuriositas, pengembangan, penyesuaian dan penemuan) dari Andrew Peter Greenwood, siswi tari Betawi SMK 57, Atien Kisam dan penari Balet di Jakarta di dalam praktik tarinya masing-masing.  Karena misalnya, Atien Kisam relatif sudah biasa menggunakan panggung besar seperti Graha Bhakti Budaya. Atau dalam kata lain, tari Betawi juga sudah lama bergerak.

Saya cukup mengerti bahwa wacana yang paling ingin dibagi oleh program Telisik Tari kali ini mungkin dibatasi pada bagaimana perbedaan dan bagaimana mengelola perbedaan dari teknik atau prinsip-prisnip dasar Balet dan Tari Betawi. Tapi dari strategi dan keputusan-keputusan dalam mempresentasikan hasil workshop intensif bagi saya membuka potensi bagi produksi wacana yang lain, justru karena saya tidak bisa menemukan bayangan peristiwa performatif dari pengalaman Engkar. Bukan untuk mengharapkan representasinya, tapi peluang produksi pengetahuannya, bahwa mungkin selalu ada subjek seperti Engkar dalam usaha pecampuran atau penggabungan dalam menemukan identitas Balet Indonesia. Jadi bagi saya, tetap ada pertarungan dan pergeseran makna di antara modus pertukaran dari platform ini yang perlu diurai. Bahwa perlu ongkos yang tidak murah untuk membuat menu steak sambel matah.

Maka dari itu, bagi saya, pertemuan dan hubungan antara Andrew Peter Greenwood, siswi tari Betawi SMK 57, Atien Kisam dan penari Balet di Jakarta sudah sangat strategis untuk melihat medan pertukaran dan pencampuran tapi justru dengan menyejajarkannya dan memperlihatkan perbedaanya.  Kita juga bisa dengar kesan-kesan kecil dari proses yang sudah berlangsung dari hubungan penari dan koreografer dengan disiplin tari yang berbeda. Andrew menyebutkan, “i have to responsibility to make something new, but respect their tradition. Which is nice problem. The dancers will definitely create an of the stands unity with respect of differences. It’s very important today”.  Atien Kisam menyebutkan, “Jadi kita bikin desain gerak berdasarkan potensi penari, bukan saya sebagai koreografer harus memaksakan seperti saya”.

Foto : Eva Tobing

Di luar wacana dua disiplin tari yang berbeda dan niatan untuk mendapatkan hasil pencampuran dari dua ketegori ini, ada proses yang sama-sama tidak memaksakan untuk menjadi balet Indonesia dan tari Betawi rasa Eropa. Logika dari kesan dua koreografer ini memang sederhana, tapi logika ini justru dapat melahirkan serangkaian anomali yang tidak ada dalam sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa tari balet dan tari Betawi, atau bahkan tidak ada dalam kategori pencampuran keduanya. Bukan balet sambel matah dan bukan juga tari Betawi bolognese. Serangkaian anomali yang diproduksi lewat dua pertemuan di dalam relasi koreografer dan penari sangat membuka kemungkinan untuk melahirkan identitas tari yang sangat spesifik. Karena bukan lagi soal antara balet dan tari Betawi, tapi identitas dan dinamika subjek penari dan koreografer yang berproses. Jadi apakah penting dari ada atau tidak adanya balet Indonesia?