Banjir, sampah, macet, masalah parkir, volusi iklan di jalan, dan Pilkada merupakan masalah kota yang banyak melanda kota-kota masa kini di Indonesia. Sejak tahun 2015, Kala Teater fokus pada masalah-masalah kota seperti ini di Makassar, dalam rangkaian proyek yang mereka sebut sebagai “Kota dalam Teater”. Pertunjukan mereka kali ini, yang berlangsung di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, Makassar, 26-28 Desember 2017, mengambil fokus lain: masalah bunuh diri, orang gila dan reklamasi pantai Losari di Makassar dalam tiga nomor pertunjukan: “Jangan Mati Sebelum Dia Tiba”, “Gila Orang Gila” dan “Beri Aku Pantai yang Dulu”.

Ini merupakan pengalaman kedua saya menonton kerja penyutradaraan Shinta Febriany. Sebelumnya: “Adam Tanpa Huruf Kapital”, di mana Shinta masih bekerja bersama Sanggar Merah Putih, dan ini merupakan pengalaman pertama Shinta menyutradarai pertunjukan. Sebagai seorang penyair, Shinta tampak melakukan praktik keluar dan masuk antara teks dan tubuh, dalam penyutradaraan yang dilakukannya. Teks cenderung diperlakukan sebagai medan narasi yang tidak lagi diperankan, melainkan sebagai ungkapan performatif itu sendiri, bagian dari performatif tubuh maupun ruang. Hal yang khas dalam pertunjukan ini, Shinta memindahkan isu feminisme ke ruang internal yang personal. Ini merupakan ruang khas yang dirawat Shinta hingga pertunjukannya dalam proyek “Kota dalam Teater”. Isu-isu eksternal urban, dalam teritori tertentu, tetap dibawa ke ruang internal. Seolah-olah ada ruang internal yang perlu dirawat dan dibocorkan ke publik. Ruang internal ini kadang menjadi sangat autis, namun intim, hingga tidak mudah teridentifikasi oleh penonton. Menghasilkan semacam “teater kamar”.

Pentas “Adam Tanpa Huruf Kapital”, sanggar Merah Putih, 2004. Foto: afrizal malna

Pentas “Kampung Terapung” Language Theatre, 2016. Foto: afrizal malna

Dalam pertunjukan yang terdiri dari 3 nomor ini, terjadi sebuah jalinan halus antara ruang internal dan eksternal, terutama karena tema kota yang masih bisa dikenali oleh penontonnya. Jadi, kalau penonton belum menggeser posisi resepsinya yang tunggal, dan tetap bertahan meresepsi teater sebagai representasi medan pemeranan, pertunjukan Kala Teater akan banyak memunculkan masalah komunikasi hingga kemungkinan keduanya gagal untuk bisa salaing bertemu. Sebuah saran agar penonton aktif menggeser posisi dalam menonton: hindari penjelasan katalog, bahkan judul pertunjukan sebelum menonton. Dan baru membacanya setelah pertunjukan usai. Bahwa kita tidak sopan untuk memesan sebuah pertunjukan yang melulu bisa kita pahami dan ikut mengkerdilkan teater.

dramaturgi puisi dan arsip

Hubungan antara teater dan puisi memang belum banyak teramati dalam beberapa kerja penyutradaraan yang dilakukan penyair sebagai kerja “dramaturgi puisi”. Hal yang kini bisa kita lihat pada Language Theatre (Sumenep), Kampung yang Terapung, 2016, dengan sutradara Mahendra yang juga penyair, atau Rokateater (Sumenep), Masegit, 2016, dengan sutradara Shohifur Ridho’I yang juga penyair. Namun, Bandar Teater Jakarta, yang meng- gunakan prosa dan lukisan (Suradara: Malhamang Zamzam; dramaturg: Ugeng T. Mukidjo) dalam pertunjukan mereka (Dancing Queen, 2017), juga memperlihatkan sejenis “drama- turgi puisi” dalam membingkai batas-batas kerja performatif aktor dalam membuat adegan: aktor tidak bekerja membuat deskripsi yang representatif melainkan yang metaforik. Dalam penyutradaraan “Adam Tanpa Huruf Kapital” yang dilakukan Shinta Febriany, kerja ini berlangsung antara tubuh lelaki dengan tepung terigu, dan tubuh perempuan dengan gelembung busa-busa sabun; dalam kerja penyutradaraan Malhamang Zamzam, berlangsung antara Musolini dan genangan air; Mahendra: antara petani berkopiah, bersarung, namun telanjang dada, dengan antene TV di kepala mereka; Shohifur Ridho’i: Jamuan Terkahir Yesus yang diubah menjadi “Jamuan Kiyai dan santri-santrinya” dengan seluruh lauk-pauk binatang yang telah ting- gal sebagai tengkorak tulang-belulang.

Pentas “Ommelanden: Batas Runtuh” Teater Ghanta, 2017. Foto: afrizal malna

Kerja dramaturgi puisi ini menggeser kerja representasi dalam membuat adegan menjadi kerja performatif. Kalau dalam puisi, kata tidak mewakili pengertian, melainkan sebuah blocking dalam syntaksis puisi; dalam teater, tubuh tidak bekerja dalam ruang paralel antara kata dan pengertian kata yang mengkonstruksi tubuh. Dramaturgi ini mulai menjadi isu yang samar-samar muncul dalam FGD Temu Teater, di Yogyakarta, 2017. Dramaturgi yang juga mau melihat aktifisme puisi yang memang luas umum dilakukan generasi muda dan merupakan salah satu viral dalam dunia online.

Kerja penyutradaraan Shinta Febriany kali ini dilakukan dalam ruang berbeda: aktor bekerja di Makassar, sementara Shinta bekerja di Yogyakarta. Artinya, Shinta menyutradarai pertunjukannya di luar teater. Mereka menggunakan WhatsApp video sebagai media komunikasi. Jarak ini membuka banyak kemungkinan untuk terjadinya kolaborasi yang massif antara aktor dan sutradara, juga untuk terjadinya intervensi yang tidak terduga. Meftahuddin Palannari, salah seorang aktor Kala Teater, juga menjelaskan bagaimana aktor sejak awal sudah tidak lagi bekerja dengan naskah sebagai latihan mereka, namun ikut terjun ke lapangan, mencari narasumber untuk mereka wawancarai, dan melacak riwayat narasumber ke ranting-rantingnya (bersama aktor lain: Nirwana Aprianty, Wiwin D, Nurhidayah, Arwan Irawan). Jadi aktor bergesekan langsung dengan medan penelitian. Hal yang juga dilakukan Ari Pahala untuk aktor-aktornya dalam kerja Teater Komunitas Berkat Yakin di Metro Lampung, seperti yang pernah dipaparkan Ari Pahala dalam FGD Temu Teater di Yogyakarta, September 2017.

Teater riset yang menjadi spektrum kerja pertunjukan Kala Teater, berbeda dengan kerja Teater Garasi dalam pertunjukan “Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi”, 2016 (sutradara Yudi Ahmad Tajudin), yang menggunakan arsip korban tragedi 65, dan bekerja lebih memerankan riwayat dengan berbagai irisan peristiwa. Kerja teater arsip yang dilakukan Taufik Darwis dalam pertunjukannya “Membeli Ingatan”, alih-alih memberi ragam lain kerja dramaturgi yang berbasis riset ini untuk generasi teater masa kini di Indonesia. Taufik bekerja dengan arsip-arsip dari lima kelompok teater di Bandung yang menjadi sampling pertunjukannya. Membagi arsip ke dalam kategori: arsip tubuh, arsip teks dan arsip suara. Menggunakan model pelayanan kafe sebagai platform dramaturginya. Arsip dipindahkan dari memori sejarah ke ruang transaksi yang berlangsung dalam kafe. Yus tiansyah Lesmana dalam pertunjukan Teater Ghanta, (Ommelanden: Batas Runtuh, 2017), juga menggarap sejarah ruang post-kolonial di Jakarta, cenderung memproduksi kerja lintas media antara seni rupa dan seni pertunjukan sebagai platform yang berdampingan dalam pembacaan dua tatapan. Dua ruang tatapan ini diantarai dengan aktivisme setiap penonton dipotret sebagai tiket masuk ke pertunjukan, mirip menggunakan plalform pembuatan visa atau passport.

Pentas “Yang Fana Adalah Waktu. Kita Abadi” Teater Garasi, 2016. Foto: afrizal malna

multiple platform

Tiga nomor dalam sebuah pertunjukan yang dilakukan Kala Teater dalam proyek “Kota da- lam teater”, bekerja mirip multiple platform tentang wacana-wacana kota. Kerja yang kini populer dalam managemen digital atau bisnis online. Platform ini memungkinkan menjadi tema kuratorial yang dikerjakan oleh grup teater maupun sutradara berbeda, mem- perluas wilayah jaringan kerja untuk proyek “Kota Dalam Teater” ini dengan tema yang sama: bunuh diri, orang gila dan reklamasi pantai di Makassar.

Artistik oleh Iqbal Naspa, Ale Deep dan Anggi Purnamasari. Nomor pertunjukan pertama yang diberi judul “Jangan Mati Sebelum Dia Tiba”, berlangsung dalam sebuah lorong sempit di Gedung Societeit. (Hal pertama telah terjadi: posisi penonton telah digeser dari kenya- manannya). Bangunan peninggalan Belanda ini merupakan salah satu situs post-kolonial kota Makassar. Tua, tidak terawat, dan memori waktu yang tercekik oleh perubahan kota. Lorong dengan ketinggian khas sebuah arsitektur yang memberi sirkulasi untuk jalannya udara, sebelum munculnya teknologi pengubah suhu udara dalam ruangan (sebelum kota dibanjiri AC).

Sejumlah tali gantungan berjejer di atasnya. Memunculkan kesan sebuah ruangan ekseku- si massal. Sebuah lampu merah menyorot di ujung lorong, seolah-olah sebuah tatapan kekuasaan yang sedang mengintrograsi penonton. Tatapan tunggal yang menumental ini bergeser oleh irisan baru. Lima orang aktor (Meftahuddin Palannari, Nirwana Aprianty, Wiwin D, Nurhidayah, Arwan Irawan), mengenakan kostum hitam dengan desain berbeda satu sama lainnya, masuk dan berdiri menatap lampu merah, mengambil alih tatapan tunggal itu menjadi sebuah ruang baru tentang kematian melalui bunuh diri.

“Jangan Mati Sebelum Dia Tiba” Kala Teater, 2017, foto Armin Hari

Kerja koreografi dimulai dengan gerak-gerak sederhana, seperti menghafal alphabet dalam tubuh. Masih berada dalam garis-garis lorong gedung yang membekap. Kemudian tumbuh lebih kompleks: gerak anatomi tubuh dalam spekturm beberapa modus bunuh diri, langkah maju ke depan dan ke belakang, lontaran-lontaran kalimat yang membuat teritori batas hidup yang sudah tidak bisa ditanggung oleh seseorang.

Dan: bunuh diri.

Pertunjukan tumbuh sebagai sebuah fashion bunuh diri.

Fashion bunuh diri ini kemudian digoyahkan kembali, di mana ke lima aktor menggunakan instalasi tali gantungan itu sebagai permainan: memunculkan rasa asing, tetapi juga sekaligus rasa intim terhadap tali gantungan itu. Mengubah makna seram yang telah terberi ke tali gantungan, menjadi imij tali sebagaimana dengan bentuknya yang bulat cembung dan menggantung tak berdaya tanpa leher.

Lorong lain dengan dinding kanan-kiri yang sudah ditutup kain hitam. Sebuah bidang putih dengan pintu tertutup pada bagian lorong ini dibiarkan menjadi tatapan penonton. Bagian atas lorong dalam pertunjukan sebelumnya (Jangan Mati Sebelum Dia Tiba), yang dipenuhi instalasi tali gantungan, dalam ba- gian lorong yang lain ini dibuat berbeda. Judulnya: Gila Orang Gila. Kini lantai lorong yang menjadi tatapan penonton. Lantai dipenuhi pakaian bekas tersusun rapi. Memori ten- tang tubuh terepresentasi sebagai “jiwa yang lepas” melalui penempatan susunan pakaian bekas di lantai.

Lima aktor masuk dengan kostum tubuh-urban sehari-hari, bergerak seperti sebuah adegan fashion dengan lantai catwalk yang justru dipenuhi susunan pakaian bekas. Mer- eka menebar berbagai cara menggoda ke penonton. Tatapan genit, mengundang, atau tiba-tiba memutuskan tatapan dengan ketus. Perubahan karakter-karakter sedih, gembira, romantik sebagai denyut waktu. Sementara tubuh mereka kian terhimpit oleh pakaian bekas di lantai, yang satu persatu mulai mer- eka pindahkan ke tubuh mereka sendiri. Lantai bersih dari pakaian bekas, namun tubuh ke lima aktor justru mulai terjepit oleh berlapis-lapis pakaian yang memenuhi tubuh mereka. Ini mirip dengan salah satu karya performance art Melati Suryodarmo untuk tujuan dan pencapaian performatif berbeda.

“Gila Orang Gila” Kala Teater, 2017. Foto: afrizal malna

Nomor ini sebuah aksi performatif untuk penonton bisa mengamati tubuh yang menjadi disorder sebagai celah hitam dari efek-efek civilisasi kota. Musik yang dalam nomor sebelumnya menggunakan musik digital yang dikompos Uki Fathi, dalam nomor ini menggunakan kendang Bugis Makassar dengan tabuhan khas, dimainkan Andi Fadel Anugrah. Dalam nomor ini penonton dibawa ke irisan latar bipolar antara kultur urban dan kultur lokal. Kerja transformasi teks berlangsung lebih kompleks antara elemen tubuh, pakaian, karakter dan kendang Bugis Makassar. Namun premisnya terpegang dengan konstan melalui elemen-elemen ini dalam mengalirkan logika pertunjukan.

Tema bunuh diri maupun tema orang gila, keduanya sama-sama provokatif. Tema yang sudah dramatik sebelum dibawa ke pang- gung pertunjukan oleh Kala Teater. Kerja penyutradaraan tampaknya cukup menyadari hal ini: dua nomor yang tampak cukup sibuk mencari celah lain ke arah kerja koreografi untuk meredam efek provokatif kedua tema. Kala Teater dalam pertunjukan mereka memi liki skala untuk mengukur resiko-resiko verbal dari teater yang berangkat melalui riset. Mereka menggunakan 203 responden dalam riset untuk ke dua tema ini, dan satu tema lagi sebagai penutup pertunjukan “Beri Aku Pantai Yang Dulu”.

esai-esai di antara hilangnya sebuah horison Nomor ketiga berangkat tentang isu reklamasi pantai Losari di Makassar sebagai bagian dari tata kota yang bermasalah. Penonton dalam beberapa menit, dibiarkan menatap rekaman video tentang matahari tenggelam di pantai Losari. Tatapan lampu merah pada nomor pertama, alih-alih tergantikan oleh tatapan matahari dalam proses tenggelemanya senja dan alam menuju malam. Sudah ribuan tahun horison matahari tenggelam itu biasa dihadapi masyarakat Makassar. Horison ini kini tiba-tiba menghilang oleh sebuah rancangan kota yang tergesa-gesa menguburnya dan sedang berubah menjadi sebuah rangkaian kondominium. Lima orang aktor dengan kostum kemeja putih dalam ukuran besar, seperti ikan terbang (salah satu jenis ikan yang ada di pantai Losari) yang panik, karena tiba-tiba sebuah bangunan raksasa berdiri di laut.

“Beri Aku Pantai Yang Dulu” Kala Teater, 2017. Foto: afrizal malna

“Kita terlalu melihat hidup dari sisi kita sebagai manusia. Kota menjadi mesin ekonomi yang sombong atas alam. Eko system laut rusak. Hak bumi atas karakter laut dengan teluk untuk melengkung telah kita hancurkan. Mata kehidupan nelayan telah dirampas. Habitat mirkro biologi di laut dan ikan-ikan telah kita rusak.”

Begitu kira-kira bisa disimpulkan suara-suara responden yang bertebaran melalui alat perekam suara, dan menjadi tokoh utama dalam nomor terakhir pertunjukan. Suara-suara responden itu seperti esai-esai yang melayang-layang di atas udara pertunjukan. Namun terjebak dan tetap terkesan masih sebagai latar pertunjukan, hanya karena penggunaan platform sound system yang masih mono. Suara mereka terjebak dalam ruang linier, tidak terdistribusi ke titik-titik ruang yang lain sebagai pelebaran isu yang dibutuhkan. Durasi yang harus dipenuhi oleh suara-suara responden itu, juga ikut mem- provakasi durasi adegan yang menjadi ber- lebih pada pilihan bentuk yang diproduksi menjadi terlalu banyak. Cenderung membuat fokus menjadi goyah. Koreografi dalam nomor ini tampaknya lebih membutuhkan gra- dasi untuk memantulkan kerja gravitasi antara suara dan visual, daripada memproduksi bentuk yang terlalu banyak dan membuatnya menjadi cerewet.

Apakah bertambah banyaknya orang gila dan peristiwa bunuh diri merupakan sebuah spektrum civilisasi kultur urban, yang dalam konteks Makassar, tertanam sebagai kekerasan atas alam yang mengubah teluk menjadi kondominium? Riset dan puisi (pertunjukan juga mengkurasi beberapa pui- si terkait karya Alfian Dippahatang, Faisal Oddang, Ibe Palogai dan Mariati Afkah) jadi bagian dari kerja dramaturgi pertunjukan, selain dramaturgi ruang: dua lorong dan teater arena untuk nomor terakhir. Menggarap tiga ruang yang cukup rumit untuk kerja lighting dalam satu terminal.

Pertanyaan hubungan spektrum tema bunuh diri dan orang gila (sebagai beban internal) dengan reklamasi pantai (sebagai tekanan eksternal) membawa kerja performatif Shinta Febriany dalam pertunjukannya ini sebagai sebuah teater esai yang subversif atas performance ruang kota yang bekerja melalui arsitektur kekerasan. (Versi pendek tulisan ini dimuat dalam majalah Tempo, edisi 1 Januari 2018).