Dalam salah satu esainya mengenai puisi Angkatan 45, atau dengan kata-katanya disebut sebagai “generasi saya sendiri”, Asrul Sani menulis:

“Kita harus sampai pada puisi ‘gigantis’ yang menyeluruh – sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi – yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi ini emosi hanya pendorong ‘perasaan’ yang dialami penyair untuk dirasakan penikmat.”

Puisi gigantis

Tulisan tersebut terdapat dalam esai berjudul “Deadlock pada Puisi Emosi-Semata”. Pada dasarnya, artikel tersebut mencoba mengkritik kecenderungan “generasi saya sendiri”, yang terlampau menekankan diri kepada emosi, lupa kepada unsur-unsur puitik yang lain. Asrul Sani menunjukkan bahwa Angkatan 45 pada dasarnya mengulang kesalahan yang diperbuat oleh Pujangga Baru. Jika Angkatan 45 terlalu sibuk dengan emosi-semata, maka Pujangga Baru deadlock melulu dalam masalah keindahan.

Akan tetapi apa yang dimaksudkannya sebagai puisi ‘gigantis’ tersebut? Apakah lantas kita bisa menganggap itu sebagai kecenderungan puitiknya? Soal ini kita bisa memeriksa kumpulan puisi Asrul Sani satu-satunya yang pernah diterbitkan, Mantera (1975).

“Mari kita ke Utara”//”Saudara, di sana bukan Utara.”//”Ah, kalau begitu anakku telah dibawa ke Selatan.”

Dari penggalan puisi “Kenanglah Bapa, Kenanglah Bapa” barangkali kita belum juga menemukan maksud yang gigantis tersebut. Meskipun begitu, puisi yang juga muncul dalam kumpulan Tiga Menguak Takdir (bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950) memperlihatkan corak yang mencolok berbeda dengan puisi rekan-rekannya. Jika Chairil kita patok sebagai pelopor Angkatan 45 dan Tiga Menguak Takdir sebagai (sesuai pengakuan mereka bertiga) pandangan hidup (atau tujuan takdir) angkatan Gelanggang (yang notabene sebagai cikal-bakal Angkatan 45), kita bisa menemukan kecenderungan Asrul Sani yang agak berbeda. Meskipun begitu, ironinya, ideologi angkatan ini sebagaimana kita kenali dari “Surat Kepercayaan Gelanggang”, justru dikemukakan oleh Asrul Sani seorang.

Untuk lebih jelasnya bisa dikatakan, Asrul Sani merupakan penggagas ideologi Angkatan 45, akan tetapi apa yang kita kenal mengenai angkatan tersebut barangkali justru tidak sebagaimana yang diangankan oleh sang penggagas. Ini pula yang kemungkinan mendorongnya menulis kritik mengenai angkatannya sendiri tersebut.

Perkara ini akan lebih bisa dimengerti, saya harap, pertama-tama jika kita juga bisa memahami pandangan Angkatan 45 atas angkatan sebelumnya, yakni Pujangga Baru. Dalam hal ini, terutama kita akan melihat pandangan-pandangan Asrul Sani, dan kemudian, bagaimana penulis ini memformulasikan gagasan mengenai apa yang harus dilakukan generasinya, dalam rangka mengoreksi Pujangga Baru. Dari titik inilah kemudian kita bisa melihat, dari ideologi Gelanggang yang dikembangkan Asrul Sani ini, kemana Angkatan 45 mengalir. Di dalamnya, tentu kita akan temukan Asrul Sani, dan di sini pun kita akan menemukan soal apakah Asrul Sani dengan karya-karyanya, terutama puisinya, mengikuti kecenderungan generasinya, ataukah ia berkelas kepala dengan gagasannya sendiri?

Memang benar, Sutan Takdir Alisyahbana sebagai salah satu ideolog Pujangga Baru, sangat menganjurkan untuk menengok ke Barat, kepada modernisme, kepada kebaruan. Akan tetapi, sosok yang kemudian dikenal sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” tidak lain adalah Amir Hamzah. Pada puisi-puisi Amir Hamzah, kita akan menemukan suatu dunia puitik yang tegang. Dengan kata lain, memang ada kehendak untuk kebaruan, namun ekornya terlampau kuat dan panjang, menjulur ke tradisi sendiri. Pandangannya yang cenderung ke Timur, juga secara bahasa cenderung ke bahasa Melayu, sering membuat Amir Hamzah bahkan dipandang sebagai seorang nostalgis.

Asrul Sani menulis satu puisi untuk penyair ini, “Sebagai Kenangan Kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh”. Rahsia kita hanya disembunyikan laut//Tiada mungkin di sana hati akan merindu lagi//Sayang engkau tiada kenal gelombang//Gelombang dari rahsia pencalang//Gelombang dari nahkoda yang tiada tahu pulang.

Dari puisi ini, Asrul Sani bahkan tampak menunjukkan karakter lain Amir Hamzah: yakni sifatnya yang cenderung melankolis. Baris “Sayang engkau tiada kenal gelombang” bahkan menyiratkan Amir Hamzah yang teratur dan tertata, tanpa gejolak. Hal lain yang kemudian akan dikenal sebagai karakter Amir Hamzah, dan kemudian Pujangga Baru, tentu saja adalah kecenderungannya untuk berindah-indah.

“Seni yang dihasilkan oleh Pujangga Baru ialah seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai usaha yang menghasilkan keindahan,” demikian tulis Asrul Sani, yang menurutnya sangat dipengaruhi oleh kaum ’80 di Belanda. Keindahan ini, lebih lanjut, dibentuk melalui segala bunga kata, royal kepada perumpamaan, dan dengan mengemukakan segala yang puitis. Di sinilah Pujangga Baru terbentuk, menganggap keindahan sebagai puisi itu sendiri. Dengan istilah yang agak sarkas, Asrul Sani menyebutkan bahwa Pujangga Baru bagaikan menganggap sebuah kamar sebagai rumah.

Angkatan 45 ingin mengubah pandangan ini. Sebagai antipode atas “keindahan” yang dianut Pujangga Baru, mereka memperkenalkan dogma “emosi” yang hidup. Namun itulah yang kemudian dianggap Asrul Sani sebagai “meninggalkan suatu dogma untuk mengambil dogma yang lain.” Artinya, para penyair Angkatan 45 keluar dari kamar yang satu, lalu masuk ke ruang lain, dan menganggap ruangan baru tersebut sebagai rumah. Di sinilah ia merasakan pentingnya membuka jendela seluas-luasnya, dan berhenti menganggap penglihatan sebentar sebagai substansi.

Ahli waris dunia

Keyakinan ini ditulisnya dalam kalimat pembuka Surat Kepercayaan Gelanggang yang terkenal itu, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Jika kita mengikuti kritik Asrul Sani terhadap “angkatannya sendiri” dan Pujangga Baru di atas, kita akan segera sadar bahwa ideologi Gelanggang itu barangkali bukan milik Angkatan 45, melainkan milik Asrul Sani seorang. Asrul Sani-lah yang menginginkan keluar dari satu dogma, tanpa harus terkubur dalam dogma lain, dengan menjadikan dunia sebagai warisan sahnya sendiri.

Dari sinilah kita bisa melihat puisi-puisinya, kemudian cerita-cerita pendeknya, dan melihat sejauh apa ia bisa menafsirkan pemikirannya tersebut ke dalam karya sastranya.

Tampaknya benar, dalam puisi-puisi Asrul Sani kita tak menemukan keindahan dalam arti Pujangga Baru: kalimat yang berbunga-bunga maupun perumpamaan-perumpaan yang berlebihan. Dalam malam biru//Wajahmu di jendela//Senyuman lentera//Hatiku malam gelap. Perumpamaan yang dipergunakannya cenderung bersifat paralel (misalnya biru untuk warna malam atau senyuman bagaikan lentera di dalam gelap untuk hatiku). Bandingkan dengan puisi Amir Hamzah “Berdiri Aku” ini:

Dalam rupa maha sempurna//Rindu sendu mengharu kalbu//Ingin datang merasa sentosa//Menyecap hidup bertentu tuju.

Kita juga bisa melihat usahanya untuk tak jatuh ke dalam puisi emosi, sebagaimana dituduhkannya kepada Angkatan 45. Sekali ia pergi tiada bertopi//Ke pantai landasan matahari//Dan bermimpi tengah hari//Akan negeri jauhan. Demikian tulisnya dalam puisi “Anak Laut”. Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar yang juga bercerita tentang laut, “Senja di Pelabuhan Kecil”:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta// di antara gudang, rumah tua, pada cerita//tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut//mengembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Dalam puisi Chairil, kita merasakan keterlibatan penyair di dalam puisinya. Barangkali inilah yang dimaksud Asrul sebagai “emosi”. Sementara dalam puisi Asrul, ada kesan penyair membuat jarak.

Akan tetapi, apakah kita juga bisa menemukan puisi “gigantis” sebagaimana yang dianjurkannya? Pada dasarnya, sebagaimana diungkapkannya sendiri, ia tidak menolak “keindahan” maupun “emosi” dalam puisi. Tapi baginya, semua itu hanyalah unsur-unsur pendukung puisi, selain unsur-unsur lain yang menurutnya harus dilengkapi. Dengan cara itulah puisi akan menyeluruh, dan menjadi gigantis.

Dalam hemat saya, apa yang kemudian terjadi, puisi-puisi Asrul Sani justru tampak bagaikan puisi yang kepenuhan. Hasratnya untuk menyeluruh, membuat tak satu unsur pun di dalam puisinya yang menonjol. Lihatlah pada puisi “Kau Begitu Sawo Mateng, Cintaku!” ini: Aku cinta kau//karena kau begitu sawo-mateng cintaku//Sekali aku boleh belai rambut//Kemudian kausuruh aku minta diri. Tak ada perumpamaan-perumpamaan yang penuh imajinasi selayaknya Pujangga Baru, juga tak ada aku lirik yang menggelora, berdarah daging, serupa puisi “generasi saya sendiri”.

Sejenak, kita coba menoleh pada puisi berikut: Ini cerita manusia//yang punya kelampauan di hari ini//dan pandang keakanan punya batas//dalam ruang kaca jendela//Semoga akan berlaku segala mau//dan ia bebas dari timpaan nasib//seperti Oedipus dari Theba//mengawini ibu membunuh bapa (dari puisi “Buangan”).

Hasrat menyeluruh ini juga membawanya kepada kecenderungan untuk naratif. Ada upaya menjadikan puisi seperti prosa, yang diharapkan bisa menampung ide-ide secara bulat. Akan tetapi alih-alih menjadi puisi naratif atau prosa liris, puisinya malah menemukan bentuk yang tidak kemana-mana. Dalam puisi di atas, misalnya, daripada menceritakan apa yang terjadi (bukankah ia menulis baris ini cerita manusia?), malahan ia memberikan baris seperti Oedisipus dari Theba (dengan kata lain, jika ingin tahu cerita yang ingin disampaikannya, cukup tahu cerita Oedipus dari Theba saja).

Barangkali memang bukan pada tempatnya puisi menanggung beban menyeluruh serupa kehendaknya. Dalam puisi, bukankah kadang-kadang sebuah cacat dan kesederhanaan barangkali merupakan keistimewaannya? Barangkali menyadari hal ini, kita tak pernah melihat Asrul Sani menjadi lebih produktif dalam puisi, dan namanya sebagai penyair jauh di balik bayang-bayang nama seangkatannya. Namanya malah melambung sebagai penulis esai, dan kualitasnya terdapat di dalam cerpen-cerpennya.

Beri aku rumah

Kumpulan cerita pendek Asrul Sani satu-satunya, Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat terbit tahun 1972.

Pembaca tentu masih ingat mengenai perumpamaan kamar yang dianggap rumah ketika Asrul membicarakan Pujangga Baru. Juga mengenai berpindah dari satu kamar dan masuk kamar lain, dan kamar baru itu pun dianggap rumah dalam membicarakan Angkatan 45. Secara eksplisit, Asrul mengungkapkan hasratnya untuk membangun “rumah” yang sesungguhnya, yang substantif. Rumah yang menyeluruh. Tema ini pun bahkan muncul beberapa kali dalam cerita-cerita pendeknya.

Contoh terbaik tentu saja barangkali cerita pendek berjudul “Beri Aku Rumah”. Cerita ini berkisah mengenai seorang tamu yang dideskripsikan sebagai “seorang yang tak punya rumah, seorang prajurit yang tak punya pasukan”. Sepanjang cerita diisi oleh dialog antara sang tamu dan yang dikunjungi perihal mencari rumah untuk bernaung. Yang dimaksud rumah tentu saja bukan sekadar rumah harfiah, maknanya lebih bisa dipahami dari kutipan berikut ini:

Guru-guru besar itu tidak dapat memberikan apa-apa kepada saya. Sedangkan yang saya kehendaki dari mereka sebetulnya banyak. Itulah pengetahuan yang menyeluruh. Yang holistik. Pemahaman yang tak sepenggal-penggal dan pandangan yang tak sepintas. Hasrat ini dalam cerita pendek tersebut, tak hanya menjadi tema sentral dialog kedua tokohnya, namun bahkan mempengaruhi strategi literer pengungkapannya.

Cerita dibuka dengan dialog antara narator dan kamu: Ada sebuah ceritaku untukmu. Perhatikan kalimat yang datang di beberapa baris kemudian: Lebih baik kau minum kopimu dahulu selama ia masih panas, menyiratkan bahwa dialog ini bersifat langsung dan bukan dalam makna “kamu” yang fiktif (misalnya pembaca). Bagian kedua berisi cerita sang narator mengenai datangnya seorang tamu. Dahulu kami sekolah bersama-sama dan diam sekamar. Kalimat ini, dengan tekanan pada kami, memperlihatkan keterlibatan kamu sebagai pendengar. Jadi di sini ada tiga tokoh.

Bagian ketiga, dalam bentuk paragraf dialog-dialog panjang, merupakan kisah si tamu yang diceritakan kepada narator. Sekali di D. pernah saya berkenalan dengan seorang nyonya. (Sang narator mempergunakan panggilan “aku”, sementara “saya” dipergunakan oleh sang tamu). Dari dialog mereka, kita segera tahu bahwa sang tamu adalah seorang mahasiswa. Cerita ini ditutup dengan pembukaan tabir: karena mahasiswa itu ialah aku sendiri.

Dari sini kita bisa berasumsi bahwa kamu di pembuka cerita juga adalah aku sendiri. Dengan begitu, jelas cerita ini sesungguhnya merupakan monolog interior yang mempergunakan tiga-diri yang berbeda. Subyek yang dikenali melalui diri “kamu”, “aku”, sekaligus “ia”. Sebuah strategi literer untuk menjadikan subyek (yang adalah tema cerita ini) menyeluruh, holistik. Bisa dibilang istimewa sebab bahkan penulisannya mendahului “Yang Lain” karya Jorge Luis Borges (cerita terjadi tahun 1969, diterbitkan tahun 1975), yang kurang lebih menggarap subyek yang sama.

Kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya cerita-cerita pendek Asrul Sani merupakan cerita pendek ide. Gagasan yang dituangkan ke dalam bentuk cerita. Jika kita melihat puisi-puisinya, kita juga mungkin menyadari adanya beban ide dalam puisi-puisi tersebut, yang apa boleh buat, memang menjadi lebih menarik ketika itu diungkapkannya ke dalam bentuk cerita pendek.

Cermati tulisannya dalam esai “Dua Hasil Realisme Italia”: Pengarang-pengarang sekarang, tidak lagi menggambarkan tokoh pahlawan sebagai tujuan, tetapi sebagai alat. Lebih lanjut, sekiranya kita hendak memasukkan anasir “pikiran” ke dalam kesusastraan sekarang, maka adalah pikiran ini pikiran yang menjawab dalam suasana masyarakat di mana menggeletak filsafat-filsafat akademis yang kandas, di mana berbagai teori kehilangan harganya benar.

Memang benar, tulisan tersebut tengah mengetengahkan ramalan Concourt bersaudara atas kesusastraan abad ke-20. Akan tetapi, anutan tersebut tampaknya juga dipegang oleh Asrul Sani. Namun segera ia mengingatkan dalam esainya yang lain: Seniman sudah menjadi hanya-intelek, intelek ini kemudian beroleh kecenderungan menjadi orator (“Richard Wright: Seniman Yang Jadi Intelektual”). Asrul secara tidak langsung menyarankan suatu kesadaran bahwa “kesenimanan” dan “kepujanggaan” itu terlalu kecil untuk masalah dunia yang begitu besar.

Demikianlah dalam cerita pendek “Bola Lampu”, Asrul tak hanya mengisahkan perjaka yang tergila-gila kepada lampu (dan lupa kepada “lampu” yang lain), namun pada dasarnya berkisah mengenai pertarungan gagasan idealis dan materialistis, serta ejekan yang menggelora akan idealisme Platonis. Seorang idealis lain bisa kita temukan dalam “Sahabat Saya Cordiaz”, namun tentu saja cerita pendek ini melampaui sekadar itu. Ini cerita pendek mengenai identitas, pada pada titik tertentu, juga bisa dikatakan sebagai (lagi-lagi) cerita mengenai “rumah”: Bangsa saya banyak sudah yang menjadi orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk menjadi orang Spanyol.

Satu hal yang jelas, cerita-cerita di dalam buku ini, pada umumnya berkisah di masa seputar Revolusi Kemerdekaan. Ini penting dikemukakan untuk melihat watak “menyeluruh” dalam karya-karyanya. Dibandingkan dengan cerita-cerita bertema sejenis dari penulis lain (misalnya karya-karya Idrus atau Pramoedya), Asrul Sani biasanya tidak memusatkan ceritanya pada karakter atau sosok tertentu, namun pada suasana yang melingkar. Dalam “Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat”, kita menemukan banyak karakter yang ambil bagian sama-rata. Demikian pula dalam “Oktober 1945”.

Memang di sana ada tokoh utama, tapi yang pokok terutama adalah apa yang terjadi di sekitar tokoh utama. Dengan cara seperti inilah, dalam cerita-ceritanya, beragam aspek bisa ditemukan. Sikap narator yang menjaga jarak dengan subyek cerita (bahkan dalam cerita yang mengisahkan aku-diri), menjadi lebih berhasil ketimbang apa yang ia lakukan dalam puisi-puisinya. (Eka Kurniawan – Penulis Novel dan Cerita pendek)