Barangsiapa tidak melawan kelampauan, maka dia akan hancur.

(Gafar, dalam Lewat Djam Malam (1954))

Masa lalu adalah ingatan. Sekerumunun bayang-bayang yang selalu mencoba datang. Dalam alur waktu yang terus berulang, masa lalu hadir dalam kesendirian, kadang dalam kehebohan. Di suatu siang, dalam pendar cahaya proyektor yang samar, saya melihat sekumpulan film dengan potret-potret bangsa pribumi, lengkap dengan upacara-upacara ganjil dan penyakit cacar serta pesnya. Film-film yang lebih pantas disebut showreel itu, dibuat oleh para pembuat film Belanda dalam sebuah ekspedisi mengenai ‘tanah jajahan’.

Showreel ini merupakan sedikit dari showreel-showreel yang bisa diselamatkan oleh kaum kolonial Belanda. Lima tahun setelah Lumiere memutar filmnya yang sangat monumental (1895), orang-orang Hindia Belanda telah berhasil menyaksikan keajaiban seni film. Tetapi memerlukan waktu sekira 20 tahun bagi bangsa Hindia Belanda untuk membuat film sendiri.

Film-film Hindia Belanda (yang kemudian diakui sebagai Indonesia) sebelum perang merupakan hasil dari perasaan takjub atas kehadiran media baru ini. Dalam film-film pra-perang ini, bangsa Indonesia (yang terutama digerakkan oleh keturunan Belanda, keturunan China, dan beberapa orang Minang) masih mencoba-coba medium ini. Sebagai bagian dari kesenian yang muncul dari kesenian bazaar alias kesenian pasar, film hadir di tengah masyarakat kolonial yang terfragmentasi baik dari segi kelas maupun sosial/budaya.

Di tengah kehadiran media baru ini, bentuk-bentuk tradisi ‘lama’ masih bertahan dan mengalami masa kejayaan. Tradisi-tradisi ini berkembang di ibukota Jakarta, di tengah proses tawar-menawar nilai-nilai baru dan lama (uang, pendidikan, politik etis, dll). Bentuk-bentuk seni rakyat seperti opera stambul, sandiwara, dll masih bertahan hingga tahun 1930-an ketika film kemudian mulai merangkak mengambil alih keadaan.

Film-film zaman ini dimaknai sebagai media baru (dari segi bentuk), tapi secara naratif tidak memberikan bangunan yang kuat di penduduk pribumi. Pola-pola naratif yang dibangun oleh film-film Indonesia pra-perang adalah pola-pola lama. Tak beda dengan opera stambul atau pun sandiwara, film-film pra-perang menyajikan cerita-cerita dari legenda, dongeng, atau cerita-cerita terkenal yang sudah mengalami perubahan carut-marut di sana-sini.

Meski pengaruh film Hollywood segera menyerbu penduduk pribumi, tapi pola naratif sandiwara tak tergantikan. Bahkan pembuat-pembuat film zaman ini mengambil cerita Hollywood untuk kemudian dipoles sana-sini untuk memberikan hiburan bagi jiwa-jiwa nestapa pribumi. Salah satu film box-office zaman itu, Terang Boelan (1937) merupakan adonan dari berbagai pengaruh pasar, yang dikemas dengan pola naratif sandiwara yang telah dimiliki dan dihayati penonton Indonesia (nyanyian, pemandangan yang indah, melodrama/happy ending, cinta). Film-film ini tidak menampilkan cerita masyarakat kolonial dengan gaya ‘realis’ seperti yang kita kenal. Hampir semua film pra-perang adalah film-film fantasi, persis novel-novel angkatan Balai Pustaka dalam sastra.

Ketika Jepang menduduki Indonesia kemudian dipaksa keluar oleh Sekutu, Indonesia memasuki fase yang sangat kritis, ie. pembentukan nation-state Indonesia. Tahun 1945 hingga akhir tahun 1950-an bisa dikatakan merupakan masa di mana nation diyakinkan dan ditegakkan, sementara film sebagai salah satu alat penting sebuah nation, mulai meformasi diri untuk membentuk apa yang disebut sinema nasional (kalau ada). Di masa inilah, orang-orang seperti Usmar Ismail, Asrul Sani dan Djamaludin Malik mulai bekerja.

Kehadiran Asrul Sani bisa dikatakan begitu khas. Ia menjadi satu-satunya eksponen, ‘Angkatan 45’ yang masih berkarya di tahun-tahun kritis itu. Chairil Anwar meninggal di tahun 1949, sementara Rivai Apin hampir tidak berkarya lagi setelah bergabung ke Lekra. Penulis prosa seperti Idrus dan Achdiat Kartamiharja bisa dibilang hilang dari peredaran. Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin inilah, Asrul Sani membuat Tiga Menguak Takdir dan membuat sebuah manifesto yang (terlalu) bersemangat, Surat Kepercayaan Gelanggang. Eksponen yang lain memilih jalannya sendiri-sendiri.

Di tahun 1954, Asrul Sani mulai mengenal medium film dengan menulis skenario/dialog Lewat Djam Malam, sebuah film tentang ‘perjuangan nasional’ yang kelak tema ini akan banyak mewarnai karya Asrul Sani sewaktu masih muda. Pada tahun 1959, ia menulis skrip Titian Serambut Dibelah Tujuh, sebuah interpretasi atas novel Hamka, yang bercerita tentang pertentangan generasi muda dan tua Islam. Dalam film Pagar Kawat Berduri, beliau menyutradarai dan membuat dialog-dialognya. Di tahun 1969, ia membuat film Apa yang Kau Tjari, Palupi?, yang konon merupakan salah satu capaian terbaiknya.

Asrul Sani dididik sebagai generasi terakhir Indonesia yang mendapatkan pendidikan Belanda. Ia berasal dari keluarga NU di Sumatera Barat, sebuah daerah yang tidak menjadi basis penting organisasi Islam ini. Ia sekolah drama di Belanda dan belajar film di Universitas Southern California, hasil ‘konsesi’ politik Amerika Serikat.

Dalam film-film pertamanya, Asrul Sani banyak mengungkap tema-tema perjuangan dan sosial. Asrul Sani memang tidak terpisah dari zamannya. Saat Asrul Sani bersemangat membuat film-film bertema perjuangan, rekan-rekan seprofesinya melakukan hal yang sama.Tema-tema ini sangat jauh berbeda dengan film-film sebelum perang yang fantastik alias tidak realistis. Seperti yang telah dibahas di atas, estetika film praperang adalah estetika hiburan, senang-senang: gambar indah, casting cakep, cerita sudah diketahui umum (karena dari legenda/dongeng sandiwara), maka tak perlu lagi tema-tema berat dengan karakter yang spesifik. Yang dijual adalah efek, gambar indah, dan sensasionalisme.

Bisa diduga bahwa karena berasal dari tradisi lisan, skenario bukanlah hal penting dalam film-film Indonesia sebelum perang. Cerita tak lagi penting bagi penonton karena semua orang toh sudah tahu. Bahkan bisa dipertanyakan, adakah skenario-seperti yang kita kenal sekarang- dalam film-film sebelum Asrul ?

Sebagai perintis dan penulis skenario terbaik yang dimiliki film Indonesia, Asrul Sani bisa dianggap ‘yang tidak hancur melawan kelampauan’. Melihat skenario-skenario yang telah beliau tulis, sangat kelihatan bahwa Asrul Sani adalah pembaru bagi zamannya. Ia menulis skenario dengan sistem narasi modern, dengan tema-tema yang dipillih secara saksama (dan personal), dengan pengembangan karakter yang khas dan cara penceritaan yang mengalir.

Pada tahun-tahun awal karirnya sebagai penulis skenario, Asrul Sani memang

[dengan terlalu] bersemangat mendasarkan skenarionya pada sebuah gagasan/konsep. Filmnya selalu hadir dengan gagasan. Dengan gagasan, ia membuat skenario dengan gaya bercerita modern. Dalam studi film, skenario-skenario Asrul Sani sangat mengikuti apa yang disebut narasi klasik Hollywood. Dalam narasi klasik Hollywood, logika dibangun di atas drama tiga babak Aristotelian (pembukaan, persoalan, penyelesaian/penutup). Sistem narasi ini ditandai terutama oleh karakter individual, ruang dan waktu yang jelas, sebab dan akibat yang jelas, cita-cita protagonist menggerakkan plot, konflik yang dibangun atas dasar motivasi psikologis, dan penutup. Unsur-unsur ini hampir bisa dikatakan tidak ada dalam film-film Indonesia praperang (bahkan mungkin sekarang).

Bukan sebuah kebetulan, bahwa Asrul Sani adalah eksponen Angkatan 45 yang menganggap dirinya sebagai pewaris kebudayaan dunia atau dalam perdebatan selanjutnya disebut, beraliran humanisme universal. Hal ini berasal dari tradisi politik etis Belanda yang kemudian menemukan dirinya dalam pemerdekaan diri-sendiri sebagai individu. Ide yang semata-mata liberal ini merupakan inti dasar dari tradisi narasi klasik Hollywood. Tak heran, dalam film-film bernarasi klasik, film digerakkan oleh karakter (character driven). Film-film Asrul Sani tidak bisa tidak merupakan cermin dari gejala ini.

Film-film Asrul Sani selalu merupakan film yang bercerita. Hal ini tak pelak merupakan hasil pergulatan dan pergaulannya di tahun-tahun itu. Mengutip A Teew, Asrul Sani adalah sebuah generasi yang “…digetarkan oleh dunia tempat mereka hidup, dunia yang sarat dengan puisi, atau sering pula mereka terpesona oleh pertentangan menyedihkan antara yang tradisional dan yang modern dalam segala pernyataannya.” Dalam perkembangan selanjutnya, tema-tema perjuangan ini semakin disikapi dengan gaya pesimis dan bahkan sinis. Gaya dan sikap personal Asrul Sani semakin kelihatan. Meski ia tidak menulis skenario secara langsung, tapi mengadaptasi dari karya tulis orang lain, ia selalu memasukkan gaya personalnya dalam skenario-skenarionya. Bukan hanya dari pilihan tema, tapi juga karakter dan bahasa yang digunakan.

Asrul Sani sangat menyukai konflik-konflik psikologis dengan protagonist kebanyakan kelas menengah berpendidikan baik (guru, kyai, wartawan, penulis, kapten, dll). Dalam dialog-dialog yang disusunnya, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia yang sangat ekspresif. Dalam film-film perjuangan yang ditulisnya, bahasa yang digunakan cenderung bercorak propagandis dan pedagogis (atau dalam bahasa ‘agama’: dakwah). Hal ini saya kira berasal dari tradisi sastranya yang kuat dan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja merdeka. Dalam menulis puisi, Angkatan 45 termasuk dirinya percaya bahwa bahasa adalah alat ekspresi dan buah pikiran sang pengucap. Angkatan ini meneruskan apa yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (Pujangga Baru) dengan ‘menghancurkan’ kaidah dan bentuk baku bahasa yang menjadi tradisi Balai Pustaka.

Apa yang dilakukan Asrul Sani terhadap puisi, sama dan sebangun dengan apa yang dilakukannya pada film. Baginya, film adalah alat ungkap dan ekspresi personal. Dalam hal ini, Asrul Sani adalah pengarang (auteur) bagi karya-karyanya karena setiap karya adalah ekspresi pembuatnya. Ini merupakan perubahan besar dari pandangan generasi sebelumnya yang memandang film sebagai sarana ketakjuban. Bagi Asrul Sani, film adalah medium ekspresi. Dalam bahasa Jean-Luc Godard, ia tidak membuat film politik, tetapi ia membuat film secara politik.

Sekarang ini, anak-anak muda Indonesia kembali pada fase ketakjuban atas media. Perubahan dunia yang begitu cepat, perkembangan teknologi, dan banjirnya ide dari belahan dunia mana pun membuat anak-anak muda Indonesia kembali memaknai film sebagai sesuatu yang lebih bersifat permukaan (cool), daripada esensi. Tanpa mengurangi penghormatan bagi para pembuat film yang konsisten, estetika generasi ini adalah estetika kebingungan. Film-film Indonesia bergenre drama atau horror dibangun atas legenda-legenda dan dongeng-dongeng yang sudah melekat erat dalam sejarah mental Indonesia. Sayangnya, karena sudah tahu ceritanya, ia bersifat Srimulat. Cerita tidak penting, yang penting lucu, seram, cool, atau fantastik. Dan ini merupakan kemunduran yang sangat memprihatinkan. Generasi ini memang tidak bergulat untuk menegakkan sebuah nation atau memperjuangkan ideologi (karena satu-satunya pergulatan adalah bagaimana bisa terbenam dan menjadi cool di tengah kapitalisme ini).

Generasi ini kadang dianggap tidak bisa bercerita karena kata-kata generasi ini telah direbut oleh lagu-lagu pop dan ringtone handphone. Perasaan-perasaan dan kegelisahan generasi ini telah diambil alih dengan sangat baik oleh para copy writer dan vj tivi-tivi internasional.

Tetapi generasi ini dilimpahi oleh hal-hal yang tak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya: teknologi yang lebih bagus dan murah, pasar yang lebih terbuka, referensi sekolahan yang lebih canggih, tampang cakep dan kece, dengan cerita yang tanpa batas. Maka pelajaran penting dari seorang Asrul Sani adalah keberaniannya untuk konsisten, untuk menceritakan dirinya-sendiri. Tanpa bisa menjadikan film sebagai medium ekspresi dan alat bercerita, niscaya generasi ini akan kehilangan sejarahnya sendiri. (Veronica Kusuma)