Asikin Hasan

*) Pengamat seni rupa

BIENNALE Seni Lukis dan Triennale Seni Patung memang pernah memberikan sumbangan sangat berharga bagi dunia seni rupa. Dua tradisi yang dimulai dari Dewan Kesenian Jakarta ini menginspirasi munculnya beberapa bienale di daerah, dan bienale swasta belakangan ini. Hanya sayangnya, setelah dua kali terselenggara—pertama 1986, dan terakhir 1998—Triennale Seni Patung tak terdengar lagi denyutnya. Pun tak ada yang mempertanyakan keberadaan tradisi tiga tahunan itu. Apakah ia sudah mati? Mungkinkah DKJ lupa? Atau cuma menidurkannya sesaat? Wallahualam.

Beruntung Biennale Seni Lukis masih hidup, meski sempat tersendat-sendat beberapa masa, dengan pelbagai perubahan isi di sana-sini dari waktu ke waktu. Biennale Seni Lukis/Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pertama berlangsung pada 18 Desember 1974, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Cita-cita luhur yang melatarbelakanginya, antara lain, mencoba memaparkan keanekaragaman dan perkembangan seni lukis modern—kalau bisa tergambar juga perkembangan sampai ke kawasan terjauh Indonesia. Sebuah gagasan yang terlalu bersemangat memang. Sebab, seperti tilik Claire Holt, peneliti seni Indonesia dari Universitas Cornell, daya hidup seni modern hanya tumbuh di segitiga emas: Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Kenyataan ini mungkin benar, bahkan sampai sekarang peta tersebut agaknya belum banyak berubah.

Biennale pertama mengumpulkan lebih dari 80 pelukis, dengan menampilkan lebih dari 200 lukisan dari beberapa lapis generasi, mulai dari sisa-sisa anggota Persagi hingga pelukis muda yang kemudian terlibat dalam ”Gerakan Seni Rupa Baru”. Pada akhir pameran panitia menetapkan lima karya terbaik versi dewan juri yang mengawal bienale tersebut. Ini agaknya mengadopsi metode Venice Biennale, yang telah dimulai pada 1895. Pertimbangan penilaian dewan juri menyangkut keindahan, orisinalitas, hadirnya unsur pembaruan atau perkembangan baru. Prinsip-prinsip tersebut mencerminkan semangat modernisme. Dan, mudah menimbulkan pelbagai tafsir.

Belakangan otoritas dewan juri digugat oleh peserta bienale itu sendiri, karena dinilai memihak lukisan dekoratif, dan mengabaikan karya eksperimental dari para pelukis muda. Keributan pecah dan pernyataan ”Desember Hitam” berisi sikap protes kaum muda dimaklumatkan. Pernyataan ini tak lain kumpulan kekecewaan kaum muda yang mengeras atas kaum tua selama ini yang dianggap sok kuasa atas hulu-hilirnya seni rupa, sebagaimana tecermin dalam putusan dewan juri. Maklumat ini terus meluas, menginspirasi munculnya ”Gerakan Seni Rupa Baru”, yang dimotori oleh para perupa muda dari segitiga emas, sebagian adalah peserta pameran tersebut. Dan, kalah.

Tradisi dwitahunan DKJ jalan terus, tak terpengaruh oleh pelbagai protes. Tapi bienale demi bienale berlangsung monoton, dan sebagian peserta yang diundang adalah pelukis yang sama pada bienale-bienale sebelumnya. Karya yang dipamerkan juga hampir tak ada beda dengan sebelumnya. Bienale telah terjebak dalam sebuah rutinitas, dan tak lagi bersesuaian dengan cita-cita awalnya untuk menemukan karya bermutu dan baru. Memasuki Biennale VII (1987), kejenuhan makin dirasakan pihak penyelenggara, dan dengan tegas dalam buku pengantar pameran mengeluhkan merosotnya kualitas karya. Beberapa pelukis pemenang bienale dinilai tak lagi menampakkan kreativitas berarti. Dua tahun berikutnya, Biennale VIII (1989) dengan pola yang sama tetap berlangsung. Kali ini diikuti 43 pelukis. Empat di antaranya dinyatakan sebagai pemenang. Pameran berlangsung dingin tanpa gairah, tanpa protes.

Setelah menunda beberapa tahun, pada akhir 1993 DKJ mengumumkan Biennale Seni Rupa Jakarta IX, Pameran Seni Rupa Kontemporer. Kali ini memang terasa agak lain. Seni lukis tak lagi menjadi satu-satunya pilihan. Isu pameran digeser ke arena yang lebih luas, mengikuti gejala rerupa yang hidup di kalangan generasi baru. Pembentukan dewan juri diganti dengan penunjukan tim kurator. Dari sinilah tradisi kurator dalam pengertian yang baru—memaknai ruang pamer, dan menuliskan dasar-dasar sebuah pameran— mulai bergulir. Maka, kurator pun menjadi ”sasaran tembak” baru dalam Biennale IX, terutama bagi mereka yang berseberangan dengan konsep kuratorialnya.

Tim kurator mencoba membatasi riset terhadap seni rupa era 80-an, terutama untuk memberi titik api pada pameran. Ketika itu sejumlah pentolan perupa era 80-an yang dipinggirkan di Tanah Air—karena karyanya dipandang eksperimental dan belum mantap—mulai dilirik sejumlah lembaga seni rupa mancanegara. Sejumlah kurator asing melihat ini sebagai realitas sesungguhnya yang kelak akan memperkaya perkembangan baru seni rupa kontemporer. Apalagi melihat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Pada masa itu pula sejumlah perupa era 80-an mulai diundang memamerkan karyanya dalam peristiwa penting seni rupa internasional di Australia, Eropa, dan Jepang.

Istilah perupa, dan bukan pelukis, pada Biennale IX ini juga menandai perubahan pada isi pameran. Istilah ini tepat untuk menggambarkan seni rupa era 80-an, yang menghadirkan pelbagai media: lukis, patung, gambar, obyek, instalasi, video, dan seni rupa pertunjukan. Sebuah seni rupa yang meninggalkan batas-batas konvensional yang selama ini terasa mengekang kreativitas perupa itu sendiri. Kurator menggambarkan seni rupa era 80-an sebagai generasi seni rupa pasca-pemberontakan. Mereka, menurut kurasi pameran itu, tak lagi menentang modernisme, sebagaimana dilakukan generasi era 70-an, melainkan meninggalkannya.

Sepanjang sejarah seni rupa kontemporer Indonesia, Biennale IX paling menarik perhatian publik. Dan, merupakan loncatan ke arah perubahan besar, mengangkat wibawa bienale sebagai forum yang pantas berjajaran dengan bienale lainnya di mancanegara. Kurasi Biennale IX mengidentifikasi karya-karya yang dipamerkan sebagai seni rupa pasca-modern menimbulkan perdebatan sangat menarik.

Forum ini oleh para perupa dan tim kurator tak lagi dilihat sebagai pameran biasa, tapi sebuah arena pertempuran pelbagai gagasan yang menimbulkan percikan-percikan api nan indah. Siapa berani menampilkan gagasannya semaksimal mungkin, dialah yang akan menjadi bintang. Instalasi ”Pengalian Kembali”, oleh kuratornya dengan jitu ditempatkan di sebuah gedung galeri yang akan dirobohkan di Taman Ismail Marzuki, sangat menarik perhatian. Karya inilah terutama yang memberikan cahaya pada Biennale IX. Dan, dianggap berhasil menggambarkan alegoris pemerintah Orde Baru.

Sayangnya, pembaruan berarti pada Biennale IX tak berlanjut pada bienale selanjutnya. Kepengurusan DKJ berikutnya, bahkan mengembalikan bienale ke semangat seni lukis, memasukkan unsur pasar, dan menyusupkan balai lelang ke ruang pamer, membuat bienale menjadi lesu dan aneh. Demikianlah Biennale X dan Biennale XI.

Biennale Jakarta 2006 atau Biennale XII mencoba menempuh dua jalur sekaligus. Menjelajahi sejauh-jauhnya riwayat seni rupa modern Indonesia, dan merapat sedekat-dekatnya dengan perkembangan seni rupa masa kini. Pertama, membaca kembali perkembangan seni lukis dengan versi Biennale XII, bekerja sama dengan Museum Seni Rupa, Galeri Nasional, dan sejumlah galeri pribadi. Kedua, mencoba melihat realitas seni rupa era 90-an, lanjutan dari generasi 80-an, sebagaimana ditampilkan dalam Biennale IX. Pameran ini juga dihasratkan menjadi internasional, melibatkan sejumlah perupa mancanegara, dan sejumlah perupa asing yang kebetulan menetap dan tengah berkarya di Indonesia.

Kini di depan mata kita Jakarta Biennale 2009 atau Biennale XIII makin tegas menyatakan diri sebagai perhelatan seni rupa internasional. Selain perupa lokal, sejumlah perupa dari pelbagai negara diundang mengikuti pameran yang berlangsung di beberapa galeri serta ruang publik seperti mal dan taman. Kini Biennale Jakarta setara dengan bienale lainnya di mancanegara. Layar telah terkembang. Ke laut lepas kita berlayar.

(Dikutip dari Majalah TEMPO. Edisi 16 Februari 2009)