APA tolak ukur kanon sastra Indonesia? Bagaimana menentukan layak tidaknya sebuah novel disebut sastra?

Bagi Mikael Johani, salari satu pembicara dalam acara Bincang Tokoh Abdullah Harahap di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jumat (27/10) lalu, pertanyaan itu tak punya jawaban.

Ia lalu menduga-duga bahwa yang namanya kanon sastra Indonesia itu merupakan makhluk jadi-jadian yang tak pernah ada karena tak jelas apa parameternya. Misalnya saja perdebatan tentang karya Abdullah Harahap yang tak pernah dianggap sebagai sastra.

Padahal kanon sastra barat mengakui kisah macam ini sebagai gothic fiction. Kategori ini populer sejak pengarang Horacle VValpole menulis kisah The Castle ofOtranto.

Tutur bahasa yang sederhana dan cerita yang terlalupop dianggap menjadi ramuan pas untuk mengategorikan novel Abdullah sebagai picisan. Diperkuat lagi dengan konten yang dianggap berbau pornografi.

Bahkan, cerita bersambung berjudul Budak dan Budak di majalah Mayapada sempat dibawa ke pengadilan karena dianggap mengumbar pornografi. Untungnya, waktu itu HB Yassin, kritikus sastra senior, membela Abdullah.

HB Yassin menganggap cerita itu sebagai karya sastra. Argumennya sederhana, bahw a konten yang dianggap porno itu hanya bumbu untuk memperkuat karakter.

“Kalau itu dihilangkan, karakter tokoh dalam cerita tak akan kuat,” kata Abdullah Harahap yang ditemui pada kesempatan yang sama.

Di masa kini, novel karya Sekar Ayu Asmara yang ber-genre horor juga bernasibsama. Padahal di toko buku, Mikael mencontohkan, novel-novel Sekar Ayu Asmara diletakkan pada bagian sastra.

“Dan cerita horornya punbagus. Tak seperti novel horor sekarang. Tapi apakah kita pernah mendiskusikan buku Sekar sebagai sastra?” tanyanya.

Bagi Mikael, masalah pe-ngotak-ngotakan ini. terjadi karena ada nya politik yang terjadi dalam dunia sastra. “Ada dominasi tokoh-tokohtertentu yang menentukan mana sastra mana bukan,” ujarnya.

Namun kini, upaya apresiasi karya Abdullah mulai marak. Ditandai dengan penerbitan buku kumpulan cerpen Kumpulan Budak Setan pada Februari 2010 lalu. Tiga penulisnya, Ugoran Prasad, Intan Paramadhita, dan Eka Kurniawan berusaha memaknai kembali unsur-unsur sastrawi yang tak disangka (atau tak seharusnya ada) dalam karya sastra kaki lima Abdullah.

Upaya memopulerkan karya Abdullah juga tengah bergeliat. Antara lain dengan mencetak-ulang novelnya, yang dilakukan penerbit Gramedia.

Buku baru yang ditulisnya tahun 2000 berjudul Misteri Sebuah Peti Mati, juga akan rilis tak lama lagi.
Dalam penerbitan ini, ejaan dan kosakata turut disempur-nakan. Salah satu upayanya dengan menghadirkan Eka Kurniawan menjadi editor dalam buku Misteri Perawan Kubur.

“Fungsinya lebih teknis saja. Disesuaikan dengan zaman. Tapi tentu dengan kesepakatan dengan Pak Abdullah,” ujar Eka.

Akhirnya, untuk menjadikan tulisan ini tak berpihak, satu catatan Mikael agaknya perlu ditambahkan, bahwa novel horor Abdullah pun pada akhirnya juga punya sisi gelap.

Di satu sisi kisah-kisah itu disukai publik, di sisi lain juga selalu dicaci. Fenomena ini mirip dengan kisah horor yang ada sekarang.

Film-film seperti then, Suster Keramas, dan Mati di Ranjang (yang punya kesamaan unsur horor, seks, dan komedi) dianggap menjerumuskan film Indonesia ke dalam kematian.r/M-4)

Diambil dari Media Indonesia