Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun ini hendak melakukan percobaan bentuk dalam pelaksanaan tradisi tahunan Pidato Kebudayaan DKJ. Tradisi tahunan yang sempat hilang dalam percakapan publik tersebut, kita tahu, dihidupkan kembali pada 2013 dengan menampilkan Karlina Supelli dengan format pidato tunggal yang disampaikan dengan bantuan seni panggung yang mencakup seni video, infografik, dan musik, serta penataan panggung untuk mengoptimalkan penyampaian buah pikiran sang cendekiawan.

Setelah itu, secara berturut-turut, kemasan serupa juga dilakukan untuk penyampaian gagasan dari Hilmar Farid (2014) dan Nirwan Arsuka (2015). Tahun ini, DKJ memutuskan untuk melakukan lagi perubahan, kali ini dalam format dasarnya: dari penyampaian pidato tunggal, menjadi penyampaian gagasan bersama dari beberapa orang cendekiawan yang kami pilih sebagai suara-suara terkini bagi keadaan terkini kebudayaan Indonesia. Kami menyebut bentuk tersebut sebagai “Forum Pidato Kebudayaan”.

Pilihan bentuk tersebut tersebab gagasan bahwa saat ini lebih diperlukan sebuah forum bagi gagasan-gagasan kebudayaan yang tidak berupa wahana suara yang tunggal. Forum ini juga lebih diarahkan untuk memantik diskusi dan penggalian wacana lanjutan setelah acara, dalam bentuk yang mirip dengan Polemik Kebudayaan pada 1935-an, ketika para cendekiawan di masa Hindia-Belanda seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Poerbatjaraka, Ki Hadjar Dewantoro, dan banyak lagi, melontarkan gagasan-gagasan tentang “Indonesia” dan visi tentang orientasi kebudayaan bagi bangsa baru tersebut.

Indonesia pada 2016 tampaknya mengalami situasi persimpangan kebudayaan kembali. Revolusi demokrasi tahap lanjut pada 1998 telah membuka sebuah era yang dipenuhi tawaran-tawaran aneka kelompok dalam masyarakat mengenai bagaimana seharusnya “Menjadi Indonesia” pada abad ke-21 ini: ada yang menawarkan visi berwatak liberal, ada yang menawarkan visi agamis, visi sosialistik, visi pragmatik, bahkan ada juga yang militeristik dan/atau berwatak fasis. Kadang, tawaran-tawaran itu dibarengi kekerasan-kekerasan bahasa, ruang, psikologis, hingga fisik.

Dalam situasi persimpangan yang tersebut, sebuah upaya metodis dan sistematis bisa dimulai untuk membangun sebuah Polemik Kebudayaan baru yang hendak membayangkan sebuah masa depan Indonesia yang lebih baik pada abad ke-21. Upaya metodis itu bisa dimulai dengan penciptaan sebuah wahana (atau platform) percakapan gagasan yang demokratik, dinamik, dialektik, dan berkelanjutan.

Untuk mengawali, kami mengadakan sebuah forum gagasan yang tak lagi berbentuk mimbar tunggal, tapi mimbar pemantik diskusi lanjutan yang menampilkan dua pembicara yang menawarkan dua perspektif awal yang khusus, sesuai kedalaman pengetahuan masing-masing. Dengan harapan, bentuk Forum Pidato Kebudayaan ini akan berlanjut menjadi sebuah rangkaian diskusi berporos pada pertanyaan “Setelah Polemik Kebudayaa: Di Mana, Ke Mana Indonesia?”