GUSTI ORA SARE:
Relijiusitas Tumpuk dan Peran Intelektual Publik

oleh Akmal Nasery Basral

A man’s feet should be planted in his country,
But his eyes should survey the world.
– George Santayana (1863-1952)

1/
DENGAN sedikit permaafan yang bisa kita berikan pada era saat Santayana hidup yang masih sangat kental dengan hegemoni patriarkis pasca-Perang Dunia II, saya kira seandainya filsuf-penyair-novelis besar itu masih berada di tengah-tengah dunia sekarang saat kapitalisme ditunjam langsung pada serambi jantungnya oleh Gerakan OWS (Occupy Wall Street), tak sulit membayangkan Santayana akan dengan senang hati menggunakan frasa “a person’s feet” yang lebih gender sensitive dibandingkan menggunakan “a man’s feet”.

Ranah sastra Indonesia bisa menjadi saksi selama enam dekade terakhir bahwa salah seorang anak negeri yang paling konsisten dalam menerapkan ‘paradigma Santayana’ tersebut bernama Nurhayati Sri Hardini (lahir 29 Februari 1936), pemilik nama pena Nh. Dini. Begitu banyak telaah akademis, mulai dari skripsi, tesis, disertasi, paper ilmiah pada beragam fora dan simposia internasional, sampai kupasan populer di media massa, sudah dilakukan orang terhadap karya-karyanya.

Fokus telaah bisa bermacam ragam — sesuai dengan teori yang digunakan untuk menganalisis dan karya Dini yang dipilih — namun semua hasil telaah menunjukkan adanya satu benang merah yang jelas: sosok dengan pandangan dan pergaulan internasional yang lentur (lebih dari 20 tahun melanglang buana dan menetap di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda dan Prancis), namun tetap berpijak pada akar berpikir budaya Jawa yang kuat, khususnya nilai-nilai yang diajarkan langsung oleh ayah-ibunya.

Dan karena kredo menulis bagi Dini sudah dirumuskannya secara gamblang dalam buku pertamanya Dua Dunia (1956) bahwa ‘tulisan-tulisan saya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan’ (Dua Dunia, ix), maka saya tak akan melakukan pembacaan lebih dalam terhadap salah satu novel atau kumpulan cerpennya yang berlimpah itu.

Yang akan saya soroti adalah fragmen kehidupan Dini pada karyanya yang terbit awal tahun ini Pondok Baca Kembali ke Semarang — untuk selanjutnya disebut Pondok Baca – kendati dalam beberapa bagian nanti tak terelakkan adanya tautan dengan beberapa karya lainnya yang lebih dulu dikenal publik.

2/
PEMBACA seri Cerita Kenangan Sebuah Lorong di Kotaku (1978) dan Sekayu (1981) akan mudah jatuh simpati pada sosok gadis kecil, berkulit agak gelap, dan bicara pelad. Apalagi ketika seorang sepupu sang gadis kecil sering meledeknya dengan berkata, “Ah, kamu kecil, semakin hitam saja, dan semakin pelad,” katanya setiap kali keduanya bertemu. Menanggapi sindiran itu, sang gadis kecil hanya tertawa dan merasa sepupunya tak memiliki kemampuan yang pantas dibanggakan selain hanya mengolok-olok orang lain.

Sementara dalam Pondok Baca, Dini yang bercerita di depan guru dan anak-anak dari puluhan desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur, atas undangan PLAN Internasional, lebih lugas mengisahkan siapa sebenarnya “gadis kecil berkulit gelap dan bicara pelad” itu, seorang gadis yang sejak berusia 10 tahun sudah mulai menyemai cita-cita menjadi pengarang.

Nama anak itu Tumpuk, yaitu diriku sendiri …
Konon ketika aku masih berada di kandungan Ibu, ayah kami yang bekerja di Dinas Kereta Api, atau pada zaman pendudukan Belanda disebut NIS, dikeluarkan dari kantor. Alasan orang Belanda Kepala Dinas tersebut ialah karena Bapak menjadi anggota Perkumpulan Pencak Silat. Paguyuban itu dianggap sejajar dengan Taman Siswa serta lain-lain yang ’berbau semangat patriotisme’. Sewaktu aku lahir, tiba-tiba Bapak dipanggil supaya bekerja kembali, malahan gajinya dinaikkan. Ayah kami juga mempunyai kegemaran memelihara dan beternak burung perkutut secara kecil-kecilan. Bersamaan dengan kelahiranku itu pula, banyak orang etnis Tionghoa yang membeli burung perkutut dengan harga lebih tinggi dari harga di pasaran. Menurut ibu, dua hal tersebut berhubungan erat dengan kelahiranku. Bagi keluarga, aku si pembawa keberuntungan. Maka ibu memberiku nama kesayangan atau dalam bahasa Jawa paraban: Tumpuk. Berarti keberuntunganku bertumpuk-tumpuk, berlipat ganda. (Hal. 226).

Setelah menjelaskan arti nama kecilnya, Dini mengupas lebih jauh bagaimana proses berpikirnya ditempa sang ibunda. Proses berpikir yang akan menjadi fondasi utamanya sebagai pengarang.

… dalam mendidikku supaya tidak terlalu banyak bicara, Ibu menyuruhku diam. Kata ibuku, ”Berbicaralah di dalam hati! Itu juga disebut berpikir! Cobalah memikirkan apa yang akan kau kerjakan nanti di sekolah, atau di saat beristirahat, akan bermain apa bersama teman-temanmu. Itu namanya merencanakan apa yang akan kau kerjakan, apa yang akan kau buat!”
Jadi kusampaikan kepada hadirin anak-anak undangan PLAN di Kupang, bahwa di awal masa sekolah di Taman Kanak-Kanak itulah aku mulai belajar berpikir. (Hal. 227).

Lalu sebagai penutup ’dongeng’ 20 menitnya dari waktu setengah jam yang diberikan panitia, Dini menyimpulkan buah manis dari proses berpikir yang dilatihnya sejak kecil, terutama sebagai pembangkit motivasi bagi para pendengar ciliknya.

Seandainya si Tumpuk bukan pengarang terkenal, tidak mungkin dia akan diundang ke berbagai negeri, dan hari itu diundang ke salah satu kota di propinsi timur negeri Indonesia. (Hal. 228).

Perjalanan hidup Tumpuk, dalam versi sangat singkat itu, ternyata mendatangkan hasil pragmatis yang tak pernah didapatkan sebelumnya, baik dari Sebuah Lorong di Kotaku mau pun Sekayu, yakni berdirinya Lopo-Lopo (Pondok) Baca di 63 SD seantero Kupang, dan kunjungan balasan dari 8 orang guru SD asal kota itu untuk belajar penanganan Pondok Baca Beringin Indah, Semarang, taman bacaan yang dikelola Tumpuk dewasa: taman bacaan yang menjadi fokus bahasan dalam Pondok Baca.

3/
PONDOK BACA memiliki banyak pantulan prismatik dari kisah-kisah sebelumnya yang pernah diceritakan Dini. Pertama-tama karena lokasi awal pondok baca itu berada di Sekayu nomor 348, adalah lingkungan yang menjadi setting banyak kisah-kisah awalnya dalam seri Cerita Kenangan.

Meski Pondok Baca yang resmi berdiri pada 11 Maret 1986 itu menggambarkan jatuh bangun Dini dalam mendirikan sebuah taman bacaan secara fisik — mulai dari modal awal yang berasal dari uang perceraiannya dengan mantan suami Yves Coffin yang sangat sedikit, kurang dari 1/20 bahkan 1/30 dari jatah seharusnya yang diperkirakan Dini akan dia terima (“Sekali lagi aku diingatkan betapa lelaki yang pernah kupilih untuk menjadi bapak anak-anakku itu sangat pelit dan tidak jujur dalam hal pembagian ‘hak milik’, hal. 3. Kisah suami pelit ini pernah muncul, antara lain, dalam Dari Fontenay ke Magallianes); pengurusan surat izin ke kepolisian berkat surat rekomendasi Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dan istri Gubernur Suprapto; proses melengkapi koleksi pondok baca dari buku-buku yang dibeli sendiri serta hasil ‘mengemis’ dari penerbit-penerbit besar (“… dari 16 surat yang kukirim, aku menerima tanggapan hanya dari 4 penerbit”, hal. 9); jaringan perkawanan dengan sejumlah intelektual publik yang sangat banyak membantu berdirinya pondok baca seperti Romo Mangunwijaya, Jaya Suprana, dan Bondan Winarno (Bahkan Pondok Baca sejatinya didedikasikan bagi, dalam tulisan Nh. Dini sendiri pada kolofon buku: Bagi adik spiritualku Bondan Winarno); juga persahabatannya yang jauh lebih intens dengan lebih banyak nama-nama yang kurang familiar di telinga publik (hampir semuanya dinisbatkan Dini sebagai ‘adik spiritualku’, terutama Joanna, atau ‘kakak spiritualku’); dan tak kalah penting, perpindahan pondok baca ke tiga lokasi berbeda selama rentang 12 tahun sampai meletusnya Reformasi 1998 – namun kerisauan awal Dini bukan pada aspek-aspek pengelolaan fisik dan finansial dari pondok baca, melainkan pada praduga buruk masyarakat sekitar.

Status pernikahannya yang pernah menjadi istri orang asing, tinggal lama di luar negeri, lalu kembali menetap di kampung halaman dan membuka usaha yang tak punya keuntungan ekonomi, membuat telinga Dini dari hari ke hari kian terbiasa menerima sayatan gunjing luar biasa tajam:

Apa maksudnya tinggal di kampung ini lagi? Wah, jangan-jangan perpustakaannya berisi buku-buku kafir!
Tak perlu kutulis di sini kalimat-kalimat kasar lain yang mengiringi kecurigaan itu. Orang-orang bernaluri jahat dan tanpa pendidikan selalu memiliki imajinasi dan dugaan-dugaan serta kata-kata hinaan yang jauh di luar jangkauan pikiran orang biasa. Semua itu kudengarkan saja dengan dada setengah tertekan. (hal. 22)

Setelah problem praduga bisa diatasi, muncul hal lain yang tak pernah dipikirkan Dini akan dilakukan para bocah anggota pondok baca: menganggap tempat itu sebagai ruang pertemuan yang hiruk pikuk dan tak bisa membaca lebih dari 4-5 halaman buku dengan tenang, serta sebagai tempat “menunggu” jemputan orang tua di malam hari (kadang-kadang pada jam 7 malam, sementara harusnya pondok baca tutup pada jam 6 sore). Resiko perpanjangan waktu satu jam itu selain berakibat membengkaknya konsumsi listrik karena penggunaan 10 batang neon besar, namun yang lebih serius bagi Dini yang disiplin menggunakan waktu adalah … berkurangnya waktu untuk menonton film silat di video (yang bisa berpuluh-puluh episode untuk satu judul) atau tayangan kesukaannya di televisi!

Menyangkut tiga lokasi pondok baca yang selalu harus berpindah karena satu dan lain hal masalah (dari Sekayu ke Griya Pandana Merdeka, kembali ke Sekayu sebelum pindah lagi ke Perumahan Beringin Indah sampai akhir cerita) di mana pada setiap tempat diceritakan dengan sangat rinci kebahagiaan dan kemalangan yang terjadi – saya kira mungkin karena itulah Putu Wijaya pernah menyebut Dini sebagai pengarang dengan “kebawelan yang panjang” – yang lebih menarik adalah bagaimana Dini menyiapkan setiap kepindahan tanpa melupakan tradisi Jawa seperti membawa segenggam tanah dari tempat asal, semangkuk beras, rempah-rempah serta akar jamu-jamu Jawa, dan senthir atau lampu minyak yang harus tetap menyala sejak dari tempat awal keberangkatan sampai di tempat tujuan yang baru.

Entah apakah sebuah kebetulan belaka atau memang ada hubungan sebab-akibat yang niscaya, ketika senthir di pangkuan Dini sempat padam dalam perjalanan kepindahan dari Sekayu ke Pandana (akibat naik mobil Colt L-300 tanpa AC sehingga jendela harus dibuka), pada satu hari nahas yang terjadi berbulan-bulan kemudian Kali Garang meluap meluluhlantakkan Jawa Tengah bagian utara dan menghanyutkan sebagian besar kampus IKIP Semarang, termasuk sebagian fondasi rumah Dini dan pondok baca Pandana ambrol dihajar air yang mengamuk, terjun bebas ke dalam sungai yang terletak jauh di bawahnya.

Akibatnya, Dini kembali pindah ke Sekayu, sebelum dua tahun kemudian pindah ke lokasi baru di Beringin Indah. Kali ini dalam proses kepindahannya, senthir di pangkuan tak padam, dan, believe or not, tak ada musibah yang menimpa pondok baca di lokasi baru itu, kecuali dampak dari Reformasi Mei 1998 yang bersifat nasional.

4/
PADA Pondok Baca juga terbaca sisi lain dari keluarga inti Dini, khususnya kronik hubungan Dini dengan kedua anaknya (Marie Claire) Lintang dan (Pierre Louis) Padang hasil perkawinannya dengan Yves Coffin.

Banyak pembaca akan menduga bahwa hubungan Dini dengan putrinya adalah hubungan mulus tanpa banyak debat. Namun dalam kenyataannya — pada dua bagian di Pondok Baca yang memaparkan kedatangan Lintang dan suaminya Jessie ke Indonesia selama dua pekan, serta kunjungan balasan Dini ke Windsor, kota tempat Lintang tinggal di kawasan Ontario, Kanada, atas tanggungan biaya adik spiritualnya Johanna – pembaca akhirnya menyadari diri mereka keliru karena komunikasi yang terjadi di antara keduanya tak selancar itu. Dan Dini dengan gamblang menjelaskan apa penyebabnya:

Jessie, menantuku, justru banyak menengahi ‘perbedaan-perbedaan’ pendapat yang bagaiamanapun juga kadang terjadi antara anakku dan aku. Kuperhatikan, Lintang tidak bersikap demikian jika berhadapan dengan Dao, sahabatnya.
Meskipun begitu, aku senang bertemu kembali
dengan anak sulungku. Tuhan menunjukkan, bahwa dia sudah lepas dariku dan mempunyai sifat yang lebih mirip ayahnya daripada seperti yang kuinginkan. Kuterima kenyataan ini, karena aku menyadari, bahwa aku tidak ‘membikin’ anak seorang diri. Kalau Lintang memiliki sifat ayahnya, mungkin aku harus menganggapnya sebagai hal yang biasa. (hal. 50).

Sedangkan pada kunjungan Dini ke Windsor yang berujung dengan pertengkaran hebat Dini-Lintang tentang berat bagasi yang diizinkan maskapai penerbangan menjelang kepulangannya ke Indonesia, Dini menulis:

… Kusadari menantuku berupaya keras untuk membikin diriku santai. Namun kurasakan anakku kurang ramah dari hari-hari sebelumnya.
Malam itu, aku tetap menciumnya sebagai ucapan selamat malam. Ya, memang dia begitu, mau apa lagi! Persis seperti ayahnya …
Malam itu aku berbicara setengah mengadu lama kepada Yang Maha Esa: anak sulungku banyak berubah, sifatnya semakin mirip dengan ayahnya. Aku mohon maaf kepada Tuhan karena ‘mencela’ sifat demikian. (hal. 154).

Seperti apakah ‘sifat semakin mirip ayahnya’ yang dimaksudkan Dini ada pada diri Lintang? Dengan mengecualikan sikap ‘pelit’ sang mantan suami yang sudah disebut pada poin 3 di atas, salah satu deskripsi tentang sifat itu tersaji dalam karya Dini sebelumnya Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri (2008).
Argenteuil berkisah saat Dini bukan saja tak mengikuti penugasan suaminya sebagai Konsul Jenderal Prancis ke Detroit, Amerika Serikat, bahkan mengajukan gugatan cerai, yang awalnya sangat berat dia lakukan. Keberanian Dini muncul setelah kedua anaknya mendukung. Lintang yang saat itu baru berusia 15 tahun memberikan komentar yang sangat dewasa: “Hati-hati, Maman, kalau kamu yang meninggalkan rumah tangga, jangan-jangan kelak kamu disalahkan oleh Pengadilan. Papa itu lelaki yang pintar menggunakan suasana demi kepentingannya…”

Apakah sifat “pintar menggunakan suasana demi kepentingannya” itu merupakan maksud khusus pernyataan Dini terhadap sifat Lintang yang semakin mirip ayahnya? Tentu hanya Dini yang tahu persis.

Berbeda saat menjelaskan hubungan ‘roller coaster’-nya dengan Lintang yang menghabiskan belasan halaman buku, hubungan Dini dengan anak lelakinya Padang lebih susah ditebak jika hanya mengandalkan Pondok Baca. Sebab meski Padang pernah datang ke Indonesia bersama tunangannya Anne, dan mereka berdua ditemani Dini berkeliling Semarang dan Yogyakarta (termasuk menginap di padepokan Bagong Kussudiardjo di Bantul), Dini hanya membutuhkan dua halaman (hal. 235-237) untuk menjelaskan kedatangan Padang dan perjalanan mereka, tanpa ada satu pun cuplikan dialog langsung di antara keduanya, atau antara Dini dengan Anne.

Padahal dalam Argenteuil, Padang yang saat itu berusia 8 tahun terasa tak kalah ‘matang’ dibandingkan sang kakak Lintang ketika mendukung perceraian sang ibunda dengan ujarannya: “Tidak apa-apa, Maman,” … “Dia mungkin papa yang baik; tapi sebagai laki-laki, sebagai suami, hemmmm, menyebalkan ya…”

Dengan kata lain, pembaca setia Dini kehilangan jejak pertumbuhan Padang dalam Pondok Baca. Peran Padang menyusut hanya sebagai sebuah nama, sebuah figuran, yang tak mendapatkan kepercayaan Dini bahkan hanya untuk mengucapkan sebuah dialog penting yang bisa menjadi penanda bagi pembaca untuk memindai sedekat/sejauh apa hubungan ibu-anak itu sebenarnya.

Tentu untuk penjelasan yang lebih pasti tentang hal ini pun, hanya Dini yang tahu persisnya: adakah hal itu karena memang hubungan Dini dengan Padang relatif sepi dari ‘perbedaan pendapat’ dibandingkan dengan Lintang? Ataukah karena faktor Anne, tunangan Padang (“wanita muda berparas cantik, berambut warna tembaga, pandai bicara beberapa bahasa, termasuk bahasa Jepang”) yang kurang pandai berkomunikasi, sekaligus mengambil hati Dini – tidak seperti Jessie suami Lintang — sebagai calon mertua? Atau karena sekadar impresi Dini bahwa kedatangan Padang dan tunangannya tak memiliki kesan mendalam sehingga, di luar kebiasaannya menulis, tak dielaborasi panjang lebar?

Yang lebih privat lagi dari hubungan ibu-anak, adalah hubungan rahasia Dini (yang tidak terlalu rahasia di buku-bukunya) dengan seseorang yang selalu menimbulkan keingintahuan para pembaca di seluruh dunia: seseorang yang disebutkan Dini sebagai “Kapten-ku”.

Dalam Pondok Baca, nama ini juga muncul meski hanya satu kali. Satu kali yang sangat penting tersebab Dini meletakkan nama itu dalam konteks kekecewaannya terhadap ketidakadilan yang dia terima sebagai pengarang dibandingkan profesi lain (misalnya dosen) dalam sebuah forum yang sama.

Orang lain menerima puluhan bahkan ratusan kali dari apa yang kuterima dari pihak yang sama. Tapi kegembiraan dan kebahagiaannya menerima jumlah itu pasti tidak tertandingkan dengan pengalaman-pengalaman tanpa bentuk uang yang pernah kuhayati. Secepat kilat pikiranku melayang kepada Kapten-ku. (Hal. 215).

Tersebutnya “Kapten-ku” membuat Pondok Baca langsung terpaut secara erat dengan Dari Fontenay ke Magallianes, yang menggambarkan perselingkuhan bergelora dengan sang kapten akibat tekanan hidup bersama suami Prancisnya yang kikir dan membosankan.

Ibarat sebuah jalan setapak di hutan lebat pegunungan, informasi ini bak batu pijakan yang mengantarkan pembaca pada batu pijakan lain lebih solid yang kali ini berjudul Argenteuil.

Di saat Dini memilih tak ikut suaminya ke Detroit dan bekerja sebagai dame de compagnie (Inggris: governess) bagi kakak salah seorang sahabatnya, Dini mendengarkan kabar kematian kekasihnya Maurice, a.k.a. Bagus, yang disampaikan oleh Angele kakak Bagus.

Jika inisiatif Angele untuk mengabarkan Dini perihal kematian adiknya sudah merupakan sinyal penting tentang betapa dalam, serius, dan terbukanya hubungan mereka, sesungguhnya hal itu belum apa-apa dibandingkan dengan tindakan Dini selanjutnya yang untuk mengunjungi rumah pertanian tempat Bagus dilahirkan. Untuk pertama kalinya Dini melihat dengan mata kepala sendiri ‘jejak-jejak cinta’ Bagus kepadanya yang tersebar di seluruh rumah. Sebuah peristiwa yang sangat romantis sekaligus begitu pedih.

Namun bahkan dengan hamparan fakta seterang itu, pembaca Dini yang berhati-hati tetap akan mengajukan satu pertanyaan yang muncul otomatis di bibir mereka: Apakah dengan begitu Maurice/Bagus adalah sosok yang selama ini disebutkan Dini sebagai “kaptenku”?

5/
DIBANDINGKAN dengan karya-karya Dini lain yang tak terlalu luas cakupan kiprah sosialnya, Pondok Baca merupakan pengecualian penting yang menunjukkan bagaimana Dini bukan hanya pengarang yang puas menulis dari menara gading. Dini melangkah lebih jauh dalam kiprahnya mengelola pondok baca, sebelum kemudian juga aktif pada Rotary Club Kunthi Semarang, memasuki status yang pernah disebutkan Ralph Waldo Emerson (1803-1882) sebagai “intelektual”: seseorang yang meski sudah diperkaya dari pengalaman masa lalu, namun tak terikat hanya oleh buku-buku karyanya karena tindakan terpenting selanjutnya adalah: aksi nyata di masyarakat.

Dan itu terlihat saat kunjungan Dini ke sejumlah kota di Australia, ketika dia menyebarkan proposal RC Kunthi untuk pengadaan air bersih di salah satu desa di Jawa Tengah. Salah satu RC di Australia menyatakan tertarik dengan proposal itu dan mewujudkan kerjasama dengan RC Kunthi di desa Gondorio.
Tanpa persistensi Dini untuk melobi RC-RC di Australia – yang sebetulnya tak berkait dengan tujuan utamanya saat itu ke Benua Kanguru sebagai seorang pengarang – proyek air bersih di Gondorio mungkin tak pernah terwujud sama sekali. Dalam konteks ini, jika pola hierarki intelektual publik yang pernah diperkenalkan Alan Lightman akan diterapkan, maka setidaknya Dini termasuk ke dalam kategori intelektual publik tingkat 2.

Predikat sebagai intelektual publik ini patut disebut karena pada periode itu juga mulai berkembang citra lain tentang Dini di kalangan wartawan dan para pengundang lain bahwa Nh Dini selalu menetapkan tarif, hal yang tak lazim bagi dunia kepengarangan tanah air. Dini bukannya tak menyadari hal itu.

Di masa itu aku mengetahui bahwa para wartawan menyebutku sebagai pengarang ‘yang pasang tarif’. Kata mereka, konon aku adalah satu-satunya pengarang yang setiap akan diwawancarai atau diundang mengikuti sesuatu kegiatan selalu bertanya atau meminta honorarium.
Aku tidak malu dibicarakan orang demikian. Bagiku sudah sewajarnya jika aku meminta imbalan jasa. Tidak haram, karena aku bekerja secara jujur dan menggunakan kemampuanku sendiri, tanpa merugikan orang lain. Menulis merupakan pekerjaan tunggal bagiku … Di Indonesia siapa pengarang yang mendapatkan nafkah hanya dari hasil tulisannya? Biasanya para penyair atau penulis di Indonesia mempunyai profesi tetap. Di tahun 80-an dan 90-an, semakin banyak perempuan yang menjadi pengarang. Biasanya mereka adalah wartawati atau karyawati sesuatu majalah, juga istri para lelaki jutawan maupun yang mempunyai pekerjaan sangat mapan.
Di Indonesia, kukira aku sendirian sebagai perempuan pengarang penuh. Di forum internasional disebut full time woman writer. Tapi sudah merupakan janjiku kepada Tuhan, bahwa aku hidup bersama Pondok Baca. (Hal. 32-35).

Yang juga menyakitkan bagi Dini adalah kepicikan (sebagian) akademisi kampus yang mengaitkan kemampuan seorang pembicara dengan gelar formal yang dimiliki. Apalagi jika kepicikan seperti itu ditunjukkan terang-terangan di muka publik untuk merendahkannya. Menghadapi hal seperti ini Dini biasanya akan menghadapi secara lugas dan frontal pula.

Pada suatu waktu, di saat aku sedang menggelar sajian ceramah di Kongres Nasional Geriatri, aku mendengar bisikan seorang hadirin yang bertanya kepada seorang dosen di sampingnya, apa gelar perguruan tinggi yang kumiliki. Melirik dan menanggapi raut muka si penanya, aku mengerti bahwa dia kecewa … Penyajian makalah kuhentikan, kunyatakan permintaan maaf kepada hadirin karena aku harus menanggapi sesuatu yang kuanggap penting. Lalu pandanganku spesial kutujukan ke arah sang dosen dan si penanya, kataku,
“Ya, Mbak, benar, saya tidak mempunyai gelar universiter apa-apa. Tapi kalau terpaksa saya harus memuaskan Anda, saya mempunyai huruf yang bisa dianggap gelar, ialah Nh singkatan dari Nurhayati. Anda tahu apa arti nama tersebut? Artinya adalah tubuh yang diberi cahaya, atau hayat yang dikaruniai wahyu oleh Yang Maha Kuasa. Saya tidak bersekolah bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar seperti Drs, Dra, Ir, atau SH. Tetapi buku hasil karangan saya yang diterbitkan sudah berjumlah lebih dari sepuluh judul. Saya yakin, pasti melebihi jumlah tesis atau hasil penelitian yang diterbitkan para sarjana di mana pun di Indonesia …” (Hal. 211-212).

Pada satu acara lain yang diselenggarakan oleh sebuah bank terkenal, Dini yang menjadi narasumber bersama seorang dosen melihat sendiri meski mereka berdua bicara pada forum yang sama, dan kepada audiens yang sama, Dini hanya menerima honor 1/3 (sepertiga) dari honor yang diterima sang dosen. Terhadap kenyataan ini, Dini menyimpulkannya dengan singkat, dan tak bisa lebih tepat lagi:

Ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan masyarakat kepada kepengarangan yang kuhayati (hal. 213).

6/

SEKIRANYA Pondok Baca ini seorang manusia, maka inilah sifatnya yang paling menonjol: seorang manusia yang tak henti-hentinya menyebutkan kebesaran Tuhan dan menautkan apa pun hal-hal baik yang dialaminya sebagai buah dari pengorbanan kedua orang tuanya di masa silam. Pondok Baca adalah seorang manusia yang saleh. Dan itu sudah dieksplisitkan seterang-terangnya oleh Dini sejak bagian Pendahuluan:

… hidupku selalu penuh perjuangan mencari nafkah dari bulan ke bulan. Tapi aku mapan dalam perjuangan tersebut, karena aku merasa diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, aku semakin yakin, bahwa aku tidak sendirian. (hal. 20).

Atau saat perbedaan pendapatnya dengan Lintang, yang datang ke Indonesia bersama suaminya Jessie, sudah begitu tinggi sehingga Dini mencurahkan perasaannya yang kesal, dengan wajah cemberut, kepada sahabatnya Johanna, yang menanggapi dengan berkelakar agar hati Dini tak tawar bahwa lebih baik sifat Lintang mirip bapaknya daripada mirip tetangga, maka Dini menulis:

Dia benar. Bagaimana pun juga, kusyukuri kedatangan anakku kali itu. Di mana-mana, teman dan lingkungan telah membantuku memanjakan anak sulungku bersama sahabatnya. Untuk ke sekian kalinya kunyatakan bahwa Yang Maha Kuasa melimpahiku dengan karuniaNya.

Atau setelah pertemuannya dengan sahabat lama Bulantrisna Djelantik:

Tuhan sungguh maha pemurah. Melalui tangan teman dan relasi, Dia mengkaruniakan hidup nyaman dan yang pada waktu itu, kukira akan kunikmati cukup lama. (Hal. 101).

Bahkan untuk seekor anak kucing kecil kumal yang terus mengeong lemah akibat menggigil kedinginan, yang kemudian dipeliharanya dan diberi nama Ipus, Dini mengungkapkannya dengan sangat relijius:

Pada musim hujan di tahun ke-4 sejak masa tinggalku di Sekayu, Tuhan ‘mengirimiku’ seekor kucing. (Hal. 51).

Satu peristiwa yang penting disebut dalam ekspresi relijisiutas Dini adalah pengurus komunitas Buddha Sangha Teravada memintanya untuk menulis buku tentang Bhante Girirakkhita, Ketua Walubi yang juga Wakil Presiden Sangha Teravada, yang saat itu sedang gering. Usai wawancara pertama yang berlangsung di pondok sederhana di perbukitan Tigawasa yang sulit didaki dekat Singaraja, Bali, Bhante Giri berujar, “Saya senang kita bisa bertemu, Mbak Dini.”

Dadaku bagaikan disiram air sejuk yang telah tersimpan lama di dalam genthong … Batinku dipenuhi kekayaan baru. Pantas jika Pengurus Sangha Teravada merasa perlu menyimpan secara hitam-putih riwayat tokoh ini. Dia adalah manusia langka. Bagiku dia ‘terpilih’ untuk menjalani tugas istimewa … Bhante Giri mempunyai sifat rendah hati, sederhana dalam segala hal. Pas sebagaimana ajaran Buddha Gautama. Bhiku yang ‘bertingkat’ Mahatera, sikap kepala tetap datar dengan pandangan mata menunduk, dia pantas dicintai seluruh lingkungannya. Perbincangan bersama Bhante Giri … membuka mata hatiku tentang betapa dekatnya ajaran Buddha dengan ajaran Kejawen yang kudapatkan dari kedua orangtuaku … (Hal. 233-234).

Telah disebutkan sebelumnya, bagaimana Dini selalu bersifat tegas menyangkut imbalan yang layak bagi kepengarangannya, baik sebagai pembicara mau pun penulis. Namun dalam proyek penulisan buku Bhante Giri ini terlihat sisi lain Dini yang mungkin akan mengejutkan bagi orang-orang yang sebelumnya menganggap dia sebagai ‘pengarang pasang tarif’.

Sekali lagi aku ditanya, berapa honorarium yang kuminta … Dalam hati aku sudah memutuskan sejak awal pertemuan, bahwa tidak sepantasnyalah jika aku meminta upah berbentuk uang untuk jasaku menulis riwayat hidup bhiku tersebut. Alasanku ialah karena ini berhubungan dengan kepentingan spiritual. Menyangkut agama.
Kukatakan hal itu kepada Pengurus (Sangha Teravada – ANB). Tapi aku mohon supaya disediakan dana guna tabungan Pondok Baca. Aku juga minta supaya mereka membiayai semua keperluan guna melaksanakan wawancara di mana pun itu berlangsung. Dengan sendirinya itu termasuk sarana-sarana bepergian, penginapan dan pengeluaran untuk makan. (Hal. 234).

Adapun menyangkut peran kedua orang tuanya, sudah disebutkan di awal pembahasan ketika Dini bercerita kepada anak-anak di Kupang, bahwa ibunya yang melatih agar mengurangi bicara, dan lebih banyak berpikir. Namun dari siapakah Dini, si Tumpuk kecil, mendapatkan keyakinan awal bahwa garis hidupnya kelak sebagai pengarang?

Di dalam Pondok Baca, ayahnya lah orang pertama yang menyebut Tumpuk sebagai ‘pengarang’ (hal. 131), hal yang sudah dijelaskan Dini lebih panjang lebar dalam Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979).

Akhirnya, meski judul Pondok Baca mengacu secara spesifik pada periode setelah Dini kembali pulang ke Indonesia pada 1980, khususnya dalam mengelola pondok baca yang berdiri resmi pada 11 Maret 1986 sampai Era Reformasi, namun sejatinya buku ini juga merupakan ikhtisar penting dari perjalanan hidup Dini yang panjang. Sebuah perjalanan jatuh-bangun, pedih-tawa, cinta-duka, modern-tradisional, akrab-renggang, yang dirumuskannya dalam sebuah alinea singkat yang ngelangut:

Aku menjadi manusia yang sekarang ini bukan hanya disebabkan karena diriku saja. Perbuatan ibu dan bapak merupakan pangkal awalnya, karena hidup selalu didasari oleh ‘sebab dan akibat’. Berkat merekalah aku menjadi apa yang sekarang, bersifat dan berpengetahuan menuruti dharma dan ajaran mereka. Gusti ora sare, kata kami orang Jawa. Tuhan tidak tidur. Dan aku tumbuh serta belajar menjadi manusia diiringi penghayatan ungkapan ini. (Hal. 132)

Cibubur, 11.11.11.