oleh Karen Hardini

Jadikan setiap tempat sebagai sekolah,
dan jadikan setiap orang sebagai guru – Ki Hadjar Dewantara

Baris kata dari Ki Hajar Dewantara ini barangkali cocoklogi dengan fenomena yang lekat pada komunitas belajar anak-anak di Jembatan Edukasi Siluk (JES) di Siluk, Imogiri, Bantul. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2016 dengan konsep belajar terbuka dekat dengan alam. Aktivitas ini dilaksanakan tepat berada di bawah jembatan dengan konsep tata ruang terbuka dan nyaman untuk proses belajar. Jembatan Edukasi Siluk didirikan oleh Kuat, seorang seniman yang berasal dari Yogyakarta. Kuat memiliki latar belakang sebagai  seorang pelukis membuat aksi Kuat mendapat dukungan dari banyak pihak, khususnya para rekan sesama seniman.

Menariknya, komunitas JES sebagai ruang kreatif yang non-profit bagi anak-anak. Menelaah perihal ruang kreatif di Yogyakarta, tidak asing lagi untuk publik membaca geliat kreativitasnya. Ruang kreatif ini senyatanya mampu menghadirkan hal-hal yang tadinya biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Bagaimana tidak? Kolong jembatan ini telah menjadi ruang interaktif untuk mengasah kreativitas dan karya-karya gambar dilahirkan anak-anak di JES. Kolong jembatan  dijadikan ruang kreatif senyaman dan seartistik mungkin untuk anak-anak belajar menggambar, dan juga ruang pameran tahunan dengan tajuk “Pameran Sewu Lukisan Anak”. Karya khas anak-anak Siluk ini tampil dalam bingkai kolong jembatan yang hadir sebagai galeri alternatif dan senyatanya ruang belajar anak-anak JES mampu mendobrak kemapanan ruang belajar yang ideal hari ini.

Pada sisi tembok penyangga kolong jembatan ada yang memantik perhatian saya, terdapat mural pada dinding bawah jempatan dengan ukuran besar bertuliskan “Ojo Isin Tumindhak Becik”, tulisan tersebut sudah barang tentu mampu menambah daya positif yang tinggi bagi anak-anak dan seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas edukasi tersebut. bagaimana tidak? Mural yang besar dan makna tulisan dalam bahasa jawa tentunya terasa makin dekat itu seakan menambah perasaan Greng lokasi belajar tersebut.  Salah satu kegiatan berkreasi anak-anak yaitu kelas menggambar yang dibimbing oleh seniman Yuswantoro Adi. Dalam kelas melukis anak-anak dibimbing menghasilkan karya dan sekaligus dapat dikatakan sebagai sebuah upaya mendorong anak membaca situasi, perasaan dan kreatif sejak dini untuk dituangkan dalam karya gambar, tentunya semau mereka. Komunitas ini memfasilitasi kegiatan menggambar anak seperti; kertas, kuas, pensil, kerayon, dan cat air/akrilik dengan cara tukar barang bekas. Ketika kelas melukis dilakukan, anak-anak hanya diminta membawa tiga buah botol bekas dan kemudian mereka dapat menggambar dengan fasilitas yang sudah disiapkan oleh pengelola.

Konsep tukar botol bekas tersebut dilakukan sebagai upaya menumbuhkan kesadaran cinta lingkungan terhadap anak dengan tidak membuang sembarangan, dan juga botol tersebut difungsikan sebagai media berkarya seni rupa 3 dimensi (prakarya) bagi anak-anak, dilain sisi juga dijual untuk kemudian dibelikan kembali alat-alat yang menunjang proses berkarya. Kamunitas ini juga telah berhasil menyelenggarakan pameran bertemakan “Sewu Lukisan Anak Jembatan Edukasi Siluk” setiap tahunnya. 1000 lukisan diciptakan oleh 30 anak dalam satu tahun berkarya. Pameran dilakukan sebagai upaya besar dalam mengapresiasi karya anak-anak, sekaligus menanamkan membelajaran apresiasi bagi diri anak dan tentunya dilaksanakan juga di kolong jembatan.

Pengelola dan pemuda Desa Siluk bersama-sama menjadikan kolong jembatan menjadi sebuah ruang pamer yang megah dan layak untuk ditonton. Tata ruang yang dibumbui cita rasa estetik tentu berhasil diimplementasikan oleh Tim JES. Kolong Jembatan yang tadinya biasa-biasa saja bahkan kumuh dapat menjadi luar biasa dan artistik.  Pada pameran anak-anak, karya terpasang seluruhnya dengan tata ruang pamer memenuhi langit-langit bawah jembatan. Karya tertempel dengan bantuan sketsel kayu mulai dari tembok penyangga jembatan, turun ke bawah sampai di bibir kali, hingga ke batas besi jembatan bagian atas. Lokasi bawah jembatan dijadikan tim menjadi semenarik mungkin, baik bagi para orang tua, anak-anak, maupun pengunjung lainnya. Lukisan anak-anak juga dipamerkan sekaligus di jual kepada pengunjung dengan hasil penjualan dapat dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berkarya. Pengelola JES menyadari bahwa kreativitas yang muncul tidak selalu berasal dari keadaaan kondusif dengan fasilitas serba memadahi.

Daya kreatif justru sering muncul dari suatu kebutuhan yang mendesak, yang membuat orang berfikir keras untuk memenuhinya, bertindak kreatif untuk seni, anak-anak, dan Pendidikan. Fenomena keruangan belajar anak-anak pada JES ini tentunya wujud dari bentuk transit dan transisi dari konsep ruang belajar dengan situasi serba ada, sebut saja sekolah formal atau nonformal dibawah naungan lembaga tertentu, yang kemudian hari ini muncul gagasan baru yaitu ujud dari hadirnya ruang belajar di kolong jembatan, sekaligus menjadi galeri alternatif bagi anak-anak. Disini pula anak belajar, mengolah rasa, berkreasi, mengapresiasi dan juga berpameran. “hasil penjualan akan kita kembalikan pada anak-anak kembali berupa alat-alat gambar dan kebutuhan mereka belajar, sehingga anak semakin bersemangat untuk berlajar dan berkarya” tutur Mas Kuat. Di tahun 2020 pengelola sekolah sungai JES mendapat support yang luar biasa dari berbagai kalangan, yang oleh karenanya pembelajaran dan pameran di tahun 2020 dilaksanakan tak jauh dari lokasi jembatan, yaitu lahan yang berada tepat diatas jembatan yang berjarak tidak kurang dari 100 meter sebelah Utara dari jembatan.

Aktivitas seni semacam ini dalam sebuah proses pendidikan menjadi hal yang saling berkelindan, ia turut andil dalam proses berkelanjutan pertumbuhan kecerdasan anak seperti; menulis, membaca, dan berhitung. Setiap anak pada dasarnya menyukai seni menggambar. Menggambar sebagai Bahasa kedua, oleh karenanya anak-anak akan menggambar apa yang ia pahami dan ia lihat, begitu pun seni-seni yang lain adalah pintu yang membuka cakrawala pemahaman, dan juga mengkonstruksi pemikiran anak. Tentunya menjadikan anak menjadi kreatif, ekspresif, penuh penghayatan dan melatih kepekaan menjadi muara dari proses berkesenian ini yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Hadirnya JES barangkali adalah sekolah rakyat yang merakyat, lekat dengan alam, belajar kreatif tanpa sekat, kolong jembatan ini menjadi wahana pendidikan berkesenian anak-anak, karena belajar bukan saja dapat dilakukan di sekolah atau gedung-gedung apik, bukan juga harus didapatkan dari seorang pengajar/guru disekolah formal. Ilmu dapat didapatkan dari mana saja, oleh siapa saja, dan dalam kondisi apa saja.

Sumber Bacaan

Marianto, Dwi. (2017). Seni dan Daya Hidup: dalam Perspektif Quantum. Yogyakarta: Scritto Books.

Pamadhi, Hajar. (2012). Pendidikan Seni. Yogyakarta: UNY Press.

Read, Herbert. (1970).  Education Through Art. London: The Shenval Press.

Ki Hadjar Dewantara. Cetakan (2011). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Tamansiswa.

 


Karen Hardini lahir di Kebumen, 1996. Menyelesaikan studi S1 pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2019. Saat ini tengah menempuh studi  S-2 di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Aktif menulis jurnal-jurnal akademik berbasis tradisi dan pendidikan, menjadi pengajar seni rupa anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta. Hingga saat ini masih aktif dalam berbagai kegiatan seni, diskusi, pameran, komunitas, juga sebagai pengajar bimbingan Art For Children di Taman Budaya Yogyakarta, serta aktif meneliti dan menulis terkait seni rupa/seni anak-anak, tradisi, dan pendidikan. Juga menulis kuratorial pameran.