Film tari (dance film) dalam pertumbuhannya telah menjadi film itu sendiri atau genre sinema secara umum. Seperti dalam beberapa karya di perhelatan Imajitari  2019 yang masuk ke festival, pendekatan-pendekatan film tari semakin keluar dari bentuk-bentuk yang  sangat artikulatif menghubungkan tari dan film, dan sudah memaknai tari sebagai bagian dari eksperimentasi film secara umum. Eksperimentasi film yang berangkat dari film tari ini, telah memandang tari sebagai sebuah bagian dari bingkai (frame) film itu sendiri, dan bukan lagi menari dalam sebuah panggung yang dihubungkan dengan kamera.  Pertumbuhan film tari yang telah menjadi  sinema itu sendiri juga melalui berbagai pendekatan film tari, yang menggunakan anasir lintas medium seni untuk mendapatkan impresi yang lebih luas tentang tari sebagai tubuh, bukan lagi berkutat pada tari sebagai sebuah ekspresi gerak semata.

Sebagai sebuah film eksperimental, satu di antara pertumbuhannya adalah film tari menjadi semacam koreografi yang diandaikan berdasarkan bingkai film, dan bukan lagi koreografi yang memaknai tubuh yang bekerja di atas panggung. Beberapa perkembangan teknologi pada fasilitas kamera dan editing, menjadi semacam pendekatan baru dari koreografi film tari sebagai sebuah cara kerja berdasarkan bingkai film. Koreografi pada film tari bisa jadi sebuah kerja editing dalam film, karena selain memandang tubuh sebagai sebuah bingkai, juga memandang gerak tubuh sebagai bingkai. Sebagaimana yang telah dikerjakan oleh Maya Deren di awal-awal proyeknya tentang film tari berdasarkan sekuen bingkai yang menjadi gerak tari, dalam film tari kontemporer yang melalui perkembangan sistem editing dan fasilitas kamera, kerja sekuen bingkai film yang cendrung cut to cut dalam menyusun gerak tubuh, dalam perkembangannya gerak tubuh atau tubuh itu sendiri menjadi semacam dasar satuan image digital yang bisa diolah seperti menggandakan (copy paste),  memperlambat (slow motion), memotong (cut) dan lain sebagainya, berdasarkan kemungkinan-kemungkinan baru dari perkembangan teknologi pada fasilitas editing dan kamera masa kini.

Film Counter Uniform: Sebuah Re-enactment tentang Protes Mahasiswa

Salah satu pemenang film tari di festival Imajitari 2019 adalah karya berjudul Counter Uniform (2018) Pantelis Makkas dari Yunani. Karya ini tentang sebuah gerakan protes mahasiswa di Yunani yang terjadi pada tahun 2008, yang berlangsung bentrokan dengan pihak kepolisian. Karya yang menggunakan pendekatan re-enactment karena menghadirkan ulang kejadian di masa lalu, dimana re-enactment yang ditekankan adalah dari segi tubuh-tubuh massa para mahasiswa pada peristiwa bentrokan demonstrasi. Sehingga sebenarnya karya ini tidak bermaksud menjadi semacam koreografi dokumenteris, karena yang coba dipindahkan dari karya ini adalah aspek re-enactment dari dramaturgi massa dan bentrokan. Hal ini terlihat pada karyanya, dimana performance dimainkan di dalam studio, dan kostum para performance juga tidak menggunakan pakaian mahasiswa dan pakaian para pihak kepolisian, sehingga yang memang ingin betul-betul yang akan dipindah adalah kebertubuhan dari pengertian massa dan bentrokan itu sendiri, atau semacam koreografi terhadap massa dalam peristiwa demonstrasi.

Karya Counter Uniform sendiri berupa adegan berdasarkan bidikan tunggal (single shot)  yang berdurasi 45 menit, dimana adegan berupa dua kelompok kumpulan orang yang saling berhadapan. Sebagaimana peristiwa demonstrasi, dimana satu kelompok awalnya saling berhadapan dan kemudian perlahan-lahan memulai sebuah provokasi bentrokan dan akhirnya kedua kelompok tersebut saling berbentrokan, dan kemudian perlahan reda, dan bingkai pada gambar memperlihatkan kedua kelompok tersebut membubarkan diri. Durasi 45 menit dalam karya Counter Uniform adalah bidikan tunggal yang di perlambat (sekitar 400 frame per detik) untuk mendapatkan intesitas dari gerak peristiwa protes dan bentrokan yang di re-enactment. Perlambatan tersebut juga menjadi semacam bagaimana sistem editing yang mengkoreografi tubuh-tubuh massa yang sedang berdemonstrasi. Waktu real dalam bidikan tunggal pada adegan Counter Uniform sudah tidak berlaku lagi, karena durasi menjadi berdasarkan gerak tubuh yang ingin coba diurai atau diintensitaskan melalui pelambatan gerak gambar melalui sistem editing. Dalam konteks ini, film tari Counter Uniform menjadi semacam menari bagi sebuang bingkaian kamera.

Dalam karya Counter Uniform, yang dire-enact adalah gerak tubuh para demonstran yang pernah berlangsung di Yunani pada 2008, sehingga ketika berfokus pada tubuh dan hal yang coporeal pada peristiwa demonstrasi, menariknya film tari ini tidak lagi membuat semacam justifikasi dokumenteris melalui kostum dan situasi ruangan dan artefak-artefak lainnya yang menandakan peristiwa demonstrasi. Karya sutradara Pantelis Makkas tidak lagi menggunakan hal-hal yang dokumentatif dalam me-re-enactment peristiwa demonstrasi karena memang berfokus pada tubuh massa, selain karya ini juga cukup dilakukan di sebuah studio, dan para penari yang berpenampilan mahasiswa dan penari jalanan pada umumnya, sehingga corporeal yang ingin dipindah atau dire-enactmen dalam karya ini adalah benar-benar tubuh massa.

FA Sitted in FA dan Flickering Glades: Tubuh dalam Koreografi Editing

Karya lain yang masuk di perhelatan Imajitari 2019 lainnya adalah karya FA Sitted in FA (2019) karya sutradara  Leoandro Navall dari Argentina. Karya ini benar-benar memaknai perkembangan teknologi editing, dan menggunakan sarana bingkai film sebagai lahan pertunjukan tari. FA Sitted in FA adalah karya seorang penari perempuan yang sedang menari menggunakan objek kursi, namun bahan dasar gambar dari seorang penari yang menari dengan objek kursi ini diurai berdasarkan kaidah-kaidah editing dan bingkaian film. Tubuh-tubuh sang penari diurai berdasarkan fasilitas penggadaan dalam sistem editing, sehingga dalam satu bingkaian dalam beberapa adegan bisa memuat bagian tubuh dan gestur penari yang sama yang direptisi. Pendekatan  penggandaan bagian tubuh penari dalam karya ini, bukanlah penggandaan melalui fasilitas copy paste, namun lebih pada semacam logika cermin cembung dan cekung, sehingga ketika tubuh pada satu bingkai memuat sistem editing dalam satu ada dua, bahkan tiga kaidah cembung, sehingga tubuh yang dihadirkan akan terpantul secara otomatis, dan membentuk objek-objek bagian tubuh yang tidak utuh dan terpisah satu sama lain. Pantulan-pantulan tubuh dalam logika bingkai yang membentuk gambar

Koreografi karya FA Sitted in FA ini, adalah bagaimana tubuh diurai melalui sistem editing berdasarkan kaidah cermin cembung dan cekung menjadi sebuah koreografi yang tak terduga, seperti bagian tubuh kaki yang terpisah tiba-tiba muncul di atas bingkai, dan kemudian kepala pada sisi bingkai lainnya, sehingga meski sang penari dalam rekaman dasarnya adalah benar-benar menari, namun pendekatan editing karya yang berasal dari Argentina menjadi semacam sebuah tarian berdasarkan kaidah-kaidah sinematik yang eksperimentatif tertentu. Bingkai film benar-benar menjadi  sebuah panggung yang, karena tubuh benar-benar diurai berdasarkan komposisi dalam satu bingkaian.

Karya lainnya yang menggunakan sistem editing pada Festival Imajitari 2019 adalah Flickering Glades (2019) karya Claudio Marcotulli dari Amerika Serikat. Karya ini berangkat dari para sekelompok anak muda semacam melakukan tarian ritual ala India di sebuah lapangan. Pada bingkaian film terlihat sebuah kotak transparan panjang yang melintasi bingkaian film secara vertikal dan horisontal, dan kemudian gambar yang terlintasi garis tersebut seakan membentuk impresi gambar yang mempertebal dari gestur tarian tersebut. Karya asal Amerika Serikat ini, merupakan koreografi berdasarkan impresi dari sistem editing dan bingkaian film yang membentuk kemungkinan impresi tubuh secara berbeda. Impresi tubuh pada karya ini, benar-benar menjadi tubuh secara digital yang bisa koreografikan berdasarkan bingkaian film.

Dari FIlm Tari menuju Sinema Eksperimental Digital

Pada perkembangannya model-model eksperimental pada film tari menjadi sebuah eksperimen sinema secara umum, sehingga beberapa karya film tari yang hadir pada perhelatan festival Imajitari 2019, bisa dibaca sebagai karya sinema eksperimental pada umumnya. Perkembangan ini menjadikan film tari tidak lagi berkutat pada pengertian tari semata, atau mendokumentasikan tari pada kamera film, namun lebih pada perkembangan film tari yang benar-benar memanfaatkan editing, bingkaian film, kemungkinan-kemungkinan sinematik lainnya sebagai pendekatan koreografi. Film tari yang pada perkembangannya menjadi sebagai sinema eksperimental, hubungan-hubungan antara tari dan film menjadi begitu cair, dan koreografi tidak lagi menjadi semacam tubuh dipanggung yang direkam melalui kamera, namun lebih tari yang berada dalam bingkaian film.

Sebagai sinema eksperimental, film tari di era digital juga  telah berkembang memandang pengertian tubuh itu sendiri menjadi sebuah pendekatan, karena dalam era film digital pengertian tubuh yang siap digandakan, dipilih, diperlambat dan seterusnya, yang berbeda dalam pengertian tubuh di masa sinema analog. Koreografi di era film tari digital menjadi semacam kerja editing, dimana tubuh dalam pindaian digital pada teknologi film kekiniaan, menjadikan kerja-kerja film tari bisa jadi bukan saja bidang sektoral yang hanya dilakukan oleh para koroegrafer tari semata, namun dalam perkembangannya film tari telah menjadi kerja-kerja para seniman eksperimental pada umumnya. Cairnya lintas disiplin pada film tari ini bisa terlihat benar pada karya-karya yang hadir di Festival Imajitari 2019, dimana sebagian karya sudah menjadi sebuah kerja-kerja yang tidak lagi berkutat pada tarian-tarian di atas panggung, namun di era film digital ini kerja koreografi lebih pada mengurai tubuh pada pendekatan editing dan bingkai film.

Ditulis oleh Akbar Yumni (programmer Imajitari 2019)