MENGEMBANGKAN BUDAYA SANTUN

D. Zawawi Imron

Paling tak enak, konon, makhluk Tuhan yang disebut manusia. Pasalnya, kalau makan harus cari yang halal, kalau mau berpasangan harus nikah, dalam hidup keseharian pun harus memakai pakaian. Perhatikan kambing, kerbau, ular, kecoak dan binatang lainnya, tidak memakai pakaian tidak apa-apa.

Pendapat seperti itu tentunya boleh-boleh saja, kita tidak boleh marah, karena marah tidak bisa menyelesaikan masalah. Pendapat yang demikian itu, mungkin karena ia merasa hidup ini terlalu banyak rambu-rambu moral. Sehingga orang tidak bebas seenaknya seperti binatang. Kemudian ia merasa iri terhadap binatang yang bisa bebas berbuat apa saja. Harimau menerkam kancil tidak ada hukum yang akan mempermasalahkannya, kijang memacari adik kandungnya sendiri tetap sempurna sebagai kijang. Ayam suka bertarung dengan saudaranya sendiri, tidak akan pernah ada yang memecatnya berhenti menjadi ayam. Sebab memang begitulah sempurnanya peri kebinatangan.

Sedangkan kalau menjadi manusia, dari kecil sudah harus sekolah, harus pintar, harus jujur, harus sopan, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin kapal penyeberangan, harus bikin pabrik, harus demokratis, harus cantik, harus ganteng, harus santun dan puluhan ribu harus yang lain. Kayaknya hidup ini hanya untuk melakukan harus dan harus saja.

Padahal harus yang positif itu tak lebih dari tuntutan kepentingan manusia itu sendiri, agar hidup lebih nyaman dari pada bergaya semau gue yang tanpa keharusan untuk bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Harus itu mungkin semacam “perjanjian” manusia dengan kemanusiaannya sendiri agar manusia itu mampu menemukan bahagia yang sejati. Yaitu hidup sebagaimana layaknya manusia, tidak pinjam gaya yang telah umum dipakai oleh moyet dan gorila.

Jadi, dengan menghindari diri dari berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia?

Menjawab pertanyaan itu mungkin mudah, tapi mungkin pula susah. Kata-kata bisa saja meluncur memberi jawaban yang sementara bisa dianggap benar, tapi apa manfaatnya sebuah jawaban dengan kata-kata, kalau perbuatan saya masih juga berbeda dengan yang saya ucapkan. Itu bisa terjadi karena “lidah memang tidak bertulang.”

Berbicara kefasihan, meskipun kefasihan konkret dalam bentuk perbuatan yang jelas memuliakan manusia, dalam bidang kebudayaan kita tidak bisa meremehkan kefasihan estetik. Yaitu kefasihan dalam bahasa keindahan yang menunjukkan kemuliaan hati manusia, yaitu seni.

Kefasihan itu dimiliki oleh para seniman, yang berangkat dari hatinya yang indah. Kefasihan estetik adalah hasil dari proses kreatif para seniman untuk mengekpresikan dirinya (dalam hal ini pengalaman hidup lahir batin) dalam karya-karya yang sesuai dengan bakat-bakat pribadinya.

Proses olah pikir dan olah rasa seniman dalam membawa suara kehidupan, pada satu sisi adalah penghormatan dan rasa syukur sang seniman atas anugrah yang berupa bakat dan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Pada awal olah seni (proses kreatif) disadari atau tidak ada langkah yang ditempuh untuk menempuh jalan syukur. Syukur itu bentuk terima kasih yang dimaknai memanfaatkan rahmat Tuhan yang berada dalam diri. Tidak menghargainya, akan mengurangi nilai kreatif dan sekaligus menolak untuk kreatif, dan itu sama dengan menolak memihak kehidupan.

Karena itu mengembangkan diri secara kreatif, bagi pribadi masing-masing seniman merupakan tanggung jawab kekhalifaan sebagai makhluk mulia yang jauh lebih mulia dari makhluk Tuhan yang lain. Berbicara tentang pribadi, kreatifitas itu sendiri menuntut seseorang untuk menemukan (yang sesungguhnya mencari dengan kesungguhan) ekspresi yang merupakan representasi dari dirinya sebagai pribadi yang hadir ke dunia. Perjuangan kreatif memberi makna bagi hidup seperti ini penuh dengan aneka tantangan yang kesakitan. Domisili, sarana, rujukan, kawan dan lawan dialog kadang bisa menjadi hambatan, tapi tidak mustahil juga bisa mendorong lajunya kreatifitas. Semua itu akan menjadi romantika, bahwa sukses itu pada umumnya adalah milik orang yang sungguh-sungguh dan tabah untuk naik dari satu jenjang ke jenjang berikutnya sekaligus memberi harkat kepada umur dan kehadirannya.

Ketika karya seni itu berhadapan dengan masyarakat, sebuah karya kadang disalahfahami sehingga berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, dan bahkan pemasungan. Sebuah hasil kreatif yang dipersembahkan kepada masyarakat dan kemanusiaan ternyata harus dikuburkan. Namun, karya seni sebagai suara kebenaran estetik dan sebagai suara kemanusiaan sebagian sulit untuk dikubur. Karya sastra yang dilarang justru lebih banyak dibaca orang dengan digandakan memakai fotokopi. Sebuah karya sastra yang dilarang semakin menarik dan menggoda untuk dibaca. Berbeda dengan lukisan dan patung kalau dibakar dan dihancurkan bisa tamat riwayatnya. Sang seniman tentu merasakan kepedihan. Tapi ada pula yang arif bisa menikamati kekecewaan, karena sebagai manusia kreatif ia tidak mau memberhalakan kesedihan. Dari sini kekecewaan dan kepedihan bisa menjadi landasan kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.

Kebebasan dan pemberian ruang yang luas kepada karya-karya kreatif adalah penghargaan kepada kemanusiaan. Dalam iklim berkeseniman yang sehat, biarlah sang seniman itu sendiri melakukan pencekalan bagi dirinya, karena ia sendiri yang tahu untuk berbuat dan tidak berbuat. Kearifan kemanusiaan serta kedekatan kalbu seorang seniman dengan Tuhan yang berupa kecerdasan spiritual, akan melahirkan karya-karya yang bukan hanya menyenangkan tetapi mencerdaskan dan mencerahkan.

Meskipun seniman itu manusia kreatif, tidak berarti di luar kesenimanan tidak ada kemuliaan dan keindahan. Para penemu di bidang pendidikan, kedokteran, teknologi, dan lain-lain, termasuk Pak Mudjair yang menemukan ikan laut yang bisa diternakkan di darat, adalah kreator-kreator yang pantas dihormati. Semua sektor dan semua profesi tentu mulia, asalkan bermanfaat bagi kemanusiaan. Penghargaan kepada profesi lain seperti itu menunjukkan sikap dewasa, bahwa sang seniman dapat membebaskan dirinya dari godaan arogansi.

Dari sini diperlukan kerendahatian para seniman, bahwa kesenimanan itu adalah salah satu sektor dari pengabdian kepada kemanusiaan. Kerendahhatian seperti ini akan menghapus kesalahfahaman antara seniman dengan masyarakat dan antara seniman yang satu dengan seniman yang lainnya. Ketika nurani dikembangkan dalam keindahan rasa kemanusiaan, musuh seorang terasa banyak, dan teman seribu terasa sangat sedikit.

Kemanusiaan akan terasa indah bila dalam merumuskannya tidak selalu dengan kata-kata. Perbuatan-perbuatan santun yang membuat diri dan orang lain merasa enak dan nyaman meskipun itu dilakukan seorang bisu, akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata.

Maka, tidak heran kalau pada zaman dahulu kala, dikisahkan ada filsuf yang pergi mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu lembah ke lembah yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, dengan obor di tangan baik siang maupun malam. Setelah ada seseorang bertanya, apa yang ia cari, ia lalu menjawab: “Saya sedang mencari manusia.”

Orang yang bertanya jadi tertunduk. Ia mulai introspeksi, pantaskah dirinya mengaku manusia? Berdasarkan perilakunya sehari-hari, orang itu merasa malu mengaku, bahwa dirinya manusia. Itu pada zaman dahulu kala. Pada zaman modern ini, setiap manusia perlu bertanya kepada dirinya sendiri, manusiakah diriku ini?

Kita sekarang mencoba bertemu sekelompok besar manusia yang disebut rakyat. Mereka kebanyakan hidup di pedesaan, dengan pikiran dan cara hidup yang sederhana. Tidak mustahil kalau mereka banyak yang miskin. Merekalah yang kalau ada peringatan hari kemerdekaan, ada panitia yang menanamkan pohon pinang yang dianggap layak jadi tontonan.

Pohon pinang yang dilincinkan seperti betis Ken Dedes serta diberi pelumas itu di puncaknya digantung dua buah kopiah, dua buah sarung, empat kerudung wanita, dan entah berapa lembar kaos oblong serta kaos singlet. Siapa pun boleh memanjat pohon itu, tapi yang paling banyak adalah orang miskin yang ingin mendapatkan benda-benda yang disukainya. Karena sangat licinnya, baru setengah meter naik sudah meluncur ke tanah lagi. Para penonton lalu bersorak kegirangan. Untuk sampai ke puncak pohon pinang itu dibutuhkan perjuangan berjam-jam, lalu kemudian orang-orang miskin itu meraih salah satu barang yang diidamkannya.

Begitulah kebiasaan di beberapa tempat di negeri kita selama berpuluh tahun yang entah kapan dimulainya. Tapi itulah kira-kira gambaran kesulitan orang miskin dalam meraih rejeki dan kesejahteraan yang dikemas menjadi tontonan gratis. Nonton betapa sulitnya jadi rakyat miskin.

Berpikir dengan disiplin ilmu model apa saja, kemiskinan itu memang tidak merdu didengar, apalagi dialami sendiri. Artinya, orang yang sekadar melihat orang miskin tidak akan sama pengalaman pahitnya dengan si miskin itu sendiri. Meskipun kadangkala, seorang yang tidak miskin menyaksikan orang miskin kalbunya tergetar oleh rasa terenyuh atau haru. Susah yang dirasakan orang miskin bisa berlipat ganda, bayangkan kalau anak-anak dan istrinya sehari makan dan sehari tidak, sementara orang menagih utang bergantian. Merekalah yang perutnya sakit seperti penuh dengan pecahan gelas-gelas kaca. Usaha mendapatkan penghasilan sudah diupayakan ke sana ke mari, tapi terganjal oleh sistem dan struktur sosial yang kuat.

Maka, betapa pentingnya kita mencerahkan kalbu agar punya simpati dan empati terhadap kemiskinan. Penghayatan jiwa kemanusiaan yang dalam, dilukiskan Sutardji Calzoum Bachri, yang tertusuk padamu berdarah padaku. Penghayatan kemanusiaan bahwa derita seorang anak manusia hakikatnya adalah kesakitan seluruh umat.

Apresiasi terhadap kemiskinan itu, setiap saat bentuknya bisa berbeda. Perangkat-perangkat afeksi, seperti kalbu dan syaraf-syaraf perasaan tentu harus dipasang baik-baik sehingga terasa bahwa dalam bagian yang hakiki dari ruh ada kelenjar yang jatuh. Yaitu kelenjar kemanusiaan atau kelenjar persaudaraan, bahwa antara diri dengan orang lain baik yang miskin maupun yang kaya ada benang persaudaraan yang menghubungkan keduanya. Itulah jiwa-jiwa yang terpadu dalam kemanusiaan yang dicerahkan dengan percikan sinar Ilahi.

Pendekatan jiwa kepada kaum miskin itu perlu kelanjutan pendalaman spiritualitas agar apa yang kita miliki menjadi siap untuk selalu membuat orang miskin dan orang lain tersenyum, karena di dalam diri telah kental spirit seperti yang dilukiskan ucapan penyair Al-Ma’ary: “Janganlah hujan membasahi ladangku kalau tidak menyiram seluruh bumi.” Manusia yang sehat rohaninya akan berupaya menjadi agen perpanjangan dari kasih sayang Tuhan.

Dalam memandang kemanusiaan itu ada ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.” Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup. Tapi kenapa ada orang miskin? Ialah karena ada orang-orang yang mengambil lebih banyak sampai banyak orang lain tidak mendapat bagian rejeki; atau karena tidak ada keadilan di bidang sosial dan ekonomi. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Untuk itu perbaikan nasib rakyat miskin atau menghormati rakyat miskin harus menjadi agenda utama pemerintah dan harus mendapat dukungan yang tulus dari orang-orang yang hidupnya lebih beruntung. Dukungan tersebut tidak hanya dukungan moral, tetapi berupa berupa tindakan-tindakan konkret yang benar-benar membuat orang miskin bisa menolong dirinya sendiri. Tindakan menyantuni orang miskin itu pasti selaras dengan substansi kepahlawanan.

Feodalisme yang membagi manusia menjadi “orang besar” dan “orang kecil” (wong cilik) jelas bertentangan dengan persamaan hak dan melanggar kesantunan; kebiasaan terlambat hadir kalau ada pertemuan dan undangan, serta berlonggar-longgar dalam menghargai waktu, jelas tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan asas disiplin; kebiasaan makan-makan di tengah keluarga miskin ketika hari duka ditinggal mati salah seorang anggota keluarganya akan semakin menyengsarakan orang miskin; kado dan upeti yang dipersembahkan kepada atasan bisa melestarikan budaya sogok, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menyegarkan tradisi santun itu adalah bagian dari perjuangan kebudayaan.

Kearifan kata-kata juga bisa berupa dongeng atau cerita rakyat lainnya. Dongeng — kegiatan sastra bertutur yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris — sinkron sekali dengan alam pedesaan dengan angin yang mendesir. Di malam hari, tikar digelar di halaman rumah bersamaan dengan munculnya bulan purnama. Kemudian nenek atau kakek mendongeng yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta. Pada saat itu terjadilah proses rekatan kekerabatan yang sublim yang bisa semakin menghaluskan perasaan dan rasa kasih sayang. Selain itu, dongeng sangat membantu rasa sayang kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan bila dongengnya berupa fabel yang mengisahkan kehidupan binatang.

Rasa kemanusiaan saya jadi sedih oleh dongeng “Si Kancil” binatang yang dianggap tokoh cendekia padahal ia penipu yang tidak berjiwa. Banyak orang bersimpati pada kecerdikan Kancil, tapi empati saya justru kepada binatang yang ditipu Kancil. Ternyata kecerdikan Kancil bisa digunakan untuk mencelakakan sesama binatang. Anehnya, tipu daya seperti itu sesekali dilakukan juga oleh cendekiawan manusia. Kenyataan telah bicara, beberapa cendekiawan kita ada yang telah mengkhianati hati nuraninya sendiri dengan berbuat merugikan negara dan rakyat.

Dalam wacana budaya, kalau kita kreatif memahami tradisi, kearifan itu dapat mengingatkan kita pada kehidupan masa kini kita. Dalam sebuah Lontara (kitab sastra Bugis-Makassar) terdapat dialog antara penguasa dengan rakyat sebagai berikut:

Karaeng Bajo: “Engkau telah angkat kami sebagai rajamu. Kami bersabda dan engkau tunduk-patuh. Kami adalah angin dan engkau adalah kayu.”

Paccalaya dan Kasuwiyang Salapanga menjawab: “Engkau adalah angin dan kami adalah daun kayu. Akan tetapi, hanya daun kayu yang telah menguning sajalah yang engkau turunkan. Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang kami. Jika engkau menginginkan barang kepunyaan kami, engkau membelinya dengan harga yang patut dibeli.”

Perhatikan kalimat, “hanya daun kayu yang menguning sajalah yang engkau turunkan,” menunjukkan betapa manusia dituntut santun walaupun terhadap tumbuh-tumbuhan. Sejalan dengan itu, agama juga mengingatkan bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah menjadi khalifah yang merawat bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi: “… Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu sebagai pemakmurnya,…” (Q.S. Hud, 11 : 61).

Secara teologis, memakmurkan bumi bukan sekedar mencari makan. Hakikinya, tindakan itu adalah sebagai bentuk persahabatan antara manusia dengan alam. Bahkan dalam budaya Minangkabau, alam bukan hanya sahabat, tapi “alam terkembang jadi guru.”

Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa terpenuhinya kebutuhan pokok hidup manusia. Upaya memakmurkan bumi atau tanah air yang didasari dengan kesadaran terdalam akan menjadi proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Soal teknologi pacul dan bajak diganti dengan traktor di era teknologi ini menunjukkan adanya hasil dialog yang menunjang kemajuan dan kebudayaan yang kreatif sebagai jawaban atas tantangan zaman yang semakin modern. Dengan demikian, teknologi bisa menjadi sarana untuk bersyukur dan bersujud kepada Tuhan.

Dialog berkesinambungan itu tentunya melibatkan berbagai sektor atau bahkan semua sektor. Tidak kurang pentingnya adalah sektor pendidikan yang jelas arahnya. Karena itu, dibutuhkan daya kreatif dengan membuka wacana-wacana baru yang berorientasi ke masa depan. Orientasi ke masa lalu tanpa melihat ke depan bisa membuat anak-anak kita tampil kadaluarsa sebagai aktor yang terlambat hadir dan tidak visioner.

Di sinilah diperlukan pendidikan untuk membawa anak cucu kita kepada pemberdayaan dan keberdayaan baru. Adanya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 terbukti telah membawa bangsa kita kepada wawasan baru dan modern. Berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pengelolaan serta penyelenggaraan negara kita selanjutnya tidak lain adalah berkat adanya pendidikan modern itu.

Sekarang tidak ada desa yang tidak punya sekolah. Bahkan untuk satu desa sudah ada lebih lima sekolah dasar atau yang setingkat. Lembaga pendidikan SMP, SMA, sekarang sudah bisa ditemukan hampir di semua ibukota kecamatan.

Namun model pendidikan kita agaknya masih juga kelanjutan dari sisa-sisa pendidikan kolonial yang telah direvisi di sana-sini. Anak didik di pedesaan diajar seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir. Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak-anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya, sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri. Yang anak petani enggan memegang cangkul dan membajak, serta anak nelayan tidak ada gairah terjun ke laut untuk menerjang ombak dan menentang angin. Sebagian dari mereka merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, atau jadi TKI ke luar negeri yang siap dianiaya atau dihina oleh majikan. Dalam kurikulum memang ada muatan lokal, tetapi sampai sekarang pengajar yang kompeten di bidang itu sulit ditemukan.

Aneh yang lain ialah kenyataan hasil dari pendidikan kita. Pada sekitar zaman kemerdekaan, menurut catatan Eka Budianta, jumlah sarjana masih sangat sedikit, sekitar 45 orang. Tapi kita mampu menegakkan kedaulatan, mengusir penjajah, mampu memenangkan diplomasi sehinggga menjadi bangsa yang terhormat. Zaman itu memang tidak mulus, di sana-sini ada pertentangan sesama kita, antara lain seperti “Peristiwa Madiun,” munculnya DI-TII dan lain-lain. Tetapi relatif bisa diatasi.

Sekarang kita sudah punya jutaan orang sarjana, yang sebenarnya harus bisa mengatasi semua krisis yang melanda negara dan bangsa kita akhir-akhir ini, baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya, di antara kita hanya pandai bertengkar dan saling-cakar sesama kita sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. Di samping itu, pembakaran hutan, korupsi, penggundulan bukit yang menimbulkan banjir, semua itu dilakukan oleh orang-orang yang terdidik. Kenapa ada orang terdidik ternyata hanya pandai mendatangkan malapetaka? Lalu apa guna sekolah-sekolah dan perguruan tinggi itu didirikan kalau kita hanya pandai merusak, bertengkar, menghujat, mencacimaki pemimpin, dan berbuat kekerasan? Padahal kalau hanya untuk saling-cakar dan bermusuhan saya kira orang tidak perlu sekolah. Kenapa pada era banyak sarjana keberutalan dan kekerasan makin marak?

Hal itu menjadi pertanda, bahwa pendidikan untuk membentuk manusia-manusia yang santun itu sangat penting. Kesantunan dan budi pekerti itulah yang akan membuat atmosfer kehidupan terasa tenteram dan segar dengan manusia-manusia yang adil dan beradab. Semua tindakan manusia itu berasal dari kalbu. Kalau kalbunya keras, hati nuraninya dangkal dan rasa kasih sayang kepada sesama sudah tidak ada, maka kekerasan tidak akan bisa dikendalikan.

Ingat pembunuhan wartawan Udin, wafatnya Munir, tawuran antar-pelajar dan kekerasan massal lainnya yang sering diberitakan di koran dan televisi, semuanya itu membuktikan nyata bahwa kekerasan itu ada, dan manusia yang haus darah saudaranya sendiri juga benar-benar ada. Itulah “disharmoni sosial” akibat adanya benturan kepentingan yang melonjak menjadi konflik. Ketegangan psikilogis yang menyebabkan disorientasi mental dan hilangnya rasa santun.

Akhir-akhir ini telah terjadi proses pendangkalan spiritual dan moral. Kehidupan beragama, misalnya, memang tampak semarak dan berkibar. Sekarang ada baju “takwa.” Bahkan, naik haji sudah diminati banyak birokrat dan artis. Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah ada mushalla. Dari sudut esktrinsik formal, yang demikian itu sangat positif. Hanya saja, kalau hal ini tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai dengan tunjamnya sujud jiwa kepada Sang Pencipta, serta upaya membersihkan hati, semaraknya kegiatan agama itu belum menyentuh esensi agama. Yang justru terjadi adalah pendangkalan ruhani. Dalam kondisi seperti itu, agama dan Tuhan terkadang hanya dijadikan sebagai bendera kebanggaan. Cara beragama yang cenderung ekstrinsik ini akan gagal mendapatkan makna hidup yang hakiki. Karena itu semaraknya kehidupan beragama harus disertai dengan penghayatan spiritual yang mendalam dan kedekatan kalbu dengan Allah.

Informasi yang menyerbu lewat aneka media — termasuk sebagian tayangan televisi yang tidak bermutu — kepada manusia-manusia yang jiwanya tidak tegar dan tidak punya daya tangkal, bisa membuat orang mengabaikan hati nuraninya sendiri (Alexis Carrel). Tidak mustahil bahwa hal itu akan sangat mendongkrak proses pendangkalan ruhani yang pada puncaknya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang ruhaninya kering kerontang. Menyadari pendangkalan itu sebagai “bahaya” barangkali sudah saatnya. Secara idealistik, kita punya nilai-nilai luhur, akan tetapi, sebagian orang menguasainya hanya sebatas omongan dan belum bergairah dalam melaksanakannya. Akhirnya, kemanusiaan menjadi indah dalam ucapan, lukisan, dan nyanyian, dan jarang ada dalam kenyataan.

Menyadari bahaya dan ketimpangan hidup seperti itu kita perlu kembali merawat hati nurani dan akal budi untuk menata masa depan yang lebih indah. Dengan akal budi itu kita memuliakan manusia dan kemanusiaan. Manusia yang punya nurani dan akal sehat perlu mencermati terhadap siapa-siapa yang memenuhi kebutuhan dirinya. Ketika kita makan nasi, pikiran jernih akan menelusuri secara seksama, nasi itu berasal dari beras, dan beras itu ada karena ada petani yang menanam padi. Ketika kita makan lauk ikan tongkol, kita akan dituntun oleh akal sehat untuk berterimakasih kepada para nelayan yang bertarung di atas perahunya melawan ganasnya gelombang di tengah laut. Ketika kita memakai baju, pikiran jernih akan menggiringnya untuk mengakui jasa para petani kapas dan tukang tenun atau orang yang bekerja di pabrik tekstil.

Jika pikiran jernih yang kita kembangkan di dalam otak dan kalbu, pastilah akan tumbuh pengakuan dan penghargaan terhadap andil-andil orang-orang yang berjasa terhadap diri kita. Nanti akan berkembang apresiasi yang menjurus kepada ketajaman dan pendalaman spiritual, bahwa sebenarnya petani yang padinya jadi nasi yang kita makan, nelayan yang ikan hasil tangkapannya jadi lauk-pauk di atas hidangan kita, serta petani kapas, tukang tenun, dan buruh pabrik tekstil yang karyanya menjadi pakaian yang melindungi tubuh kita, nurani kita pasti akan mengakui bahwa mereka punya andil terhadap kesejahteraan hidup dan kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang yang berjasa. Atau katakanlah pahlawan dalam narasi kecil. Tetapi kalau setiap hari kita mendapatkan jasa dari petani, nelayan, tukang tenun, dan lain-lain, pada hakikatnya mereka adalah pahlawan dalam narasi besar juga, yang jasanya tidak kalah dengan mereka yang jasadnya dikubur di taman pahlawan. Bayangkan, kalau para petani mogok tidak bercocok tanam, semua orang akan lapar, kalau nelayan tidak melaut, hidangan kita akan hambar. Kemudian para pahlawan yang lain silakan terus pikirkan dan cari sendiri.

Dari penghayatan rohani yang menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita itu, menjadi semakin jelas, betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain. Maka sangat sehat kalau ada pendapat bahwa setiap manusia beriman itu bersaudara. Bahkan Nabi Muhammad bersabda: “Tidak beriman seorang kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”

Dari sinilah persaudaraan kemanusiaan perlu semakin dikembangkan, karena sesama manusia bukan hanya berasal dari satu Bapak satu Ibu (Nabi Adam dan Ibu Hawa) tetapi satu sama lain memang saling membutuhkan sehingga perlu saling menghargai serta saling menyantuni.

Akhlak saling mengerti yang bisa dilanjutkan menjadi saling-menghargai dan saling-menghormati terutama dalam pergumulan politik menjadi kunci ketentraman dan keamanan negara kita ini. Berbuat sesuatu yang menyenangkan orang lain adalah tindakan santun yang essensinya adalah kepahlawanan. Tidak mungkin membangun kehidupan yang tenteram dengan saling-mencurigai, saling-fitnah serta kebuasan seperti yang terdapat pada kehidupan binatang.

Yang bernama manusia adalah makhluk yang punya keterbatasan dan kelemahan. Kita harus mampu membaca dan mengerti kelemahan orang lain. Tidak kalah pentingnya ialah mengerti kelemahan kita sendiri. Siapa tahu yang mencekal dan memasung kita bukan orang lain, tapi keterbatasan dan kemalasan yang tidak terasa telah lama berurat dan berakar dalam diri kita.

Dalam pemahaman kemanusiaan, seorang yang berjiwa jernih tidak akan menyakiti orang lain. Jiwa yang jernih dan akal yang sehat tidak akan memberi ruang bagi benih dan virus-virus kejahatan untuk berkembang biak. Tugas kita sehari-hari ialah melawan angan-angan dan keinginan untuk merugikan dan menyakiti orang lain. Ketika kerusakan sedang merebak, tidak ikut latah berbuat onar sudah termasuk manusia yang baik. Kita nyalakan obor nurani, kita cari manusia dalam diri kita, sehingga tidak punya waktu untuk membenci sesama dan berbuat kezaliman. Sudah saatnya kita kembali menjadi bangsa yang santun.

Kita lahir di Indonesia, minum air Indonesia

menjadi darah kita

Kita makan beras, sagu, dan buah-buahan Indonesia

menjadi daging kita

Kita mereguk udara Indonesia

menjadi nafas kita

Kita bersujud di atas bumi Indonesia

Bumi Indonesia adalah sajadah kita

Nanti bila tiba saatnya mati, kita akan dikubur

dalam pelukan bumi Indonesia

Daging kita yang meleleh

akan bersatu dengan bumi Indonesia

Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air

Tak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa

Batang-batang, Madura, 23 Nopember 2007

D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Sejak tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dilanjutkan belajar di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep.

Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Lalang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenekmoyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenekmoyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi Anteve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995.

Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta).